Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kekerasan & kepausan

Sejarah tentang paus dari masa ke masa. kekerasan kerap terjadi terhadap paus. sering paus bentrok dengan raja. malahan kini imbauannya seolah tak di dengar lagi. (ln)

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Paus, berapa batalyon dia punya?" -- pertayaan, konon diucapkan oleh Stalin. SRI Paus, tentu saja, tak punya pasukan. Di abad ini kehadiran tokoh yang duduk di atas cathedra Petri atau "tahta Petrus" di Vatikan itu lebih merupakan kehadiran kerohanian. Justru karena ia tak mengancam dengan tentara dan bedil itulah percobaan pembunuhan yang dilakukan terhadapnya pekan lalu dirasakan secara luas sebagai kekerasan paling tak masuk akal di masa terorisme internasional sekarang. Itu tak berarti bahwa kekerasan terhadap Paus adalah sesuatu yang baru dalam sejarahnya yang hampir 2000 tahun. Orang yang disebut sebagai pendiri Gereja, Petrus, murid Yesus langsung, adalah Paus pertama yang mengalaminya. Menurut seorang pencatat tarikh, di masa Kaisar Nero di Roma Petrus "disalibkan dengan kepala ke bawah". Ia sendiri meminta diberlakukan demikian, sebab, menurut kisah Kristen, ia tak merasa layak disalibkan tegak seperti Yesus. Tak semua paus tentu seperti Santo Petrus. Juga kekerasan terhadap pemimpin tertinggi Gereja Katolik itu tak selalu sama motifnya. Di akhir tahun 795, misalnya, di masa sebelum Borobudur didirikan di Jawa, para pemimpin Gereja memilih seorang paus yang ternyata tak disukai penduduk Roma. Mereka menuduhnya menyeleweng, dan April 799 mereka menyerangnya. Ia dipenjarakan di sebuah biara -- setelah diperlakukan dengan buruk. Untung Paus itu, Leo III, dapat melarikan diri dan mendapatkan pertolongan raja besar Jerman Charlemagne. Raja ini mengembalikan Leo III ke Tahta Suci. Sebagai balasannya, ia memperoleh sesuatu yang kemudian jadi lambang bagi raja-raja Eropa berabad-abad kemudian sebuah mahkota yang diletakkan oleh tangan Paus di kepalanya, sebagai tamJa kekuasaannya disahkan Tuhan. Charlemagne sendiri, menurut seorang pencatat sejarah, tak menyukai hal itu. Dan pada gilirannya banyak raja Eropa memang memperoleh kesulitan karena upacara penobatan seperti itu menunjukkan, bahwa Tahta Suci di Roma dengan demikian jadi sumber kekuasaan lain yang harus diperhitungkan. Terutama di Abad Pertengahan Eropa. Dalam kekuasaan yang besar sekali hak dan wibawanya seperti itu, tak urung para paus terlibat dalam bentrok politik dengan raja. Dan kekerasan tak terelakkan. Yang paling dramatis ialah ketika Paus Bonifacius VIII bertahta, di zaman ketika di Indonesia Majapahit baru berdiri. Dipilih di tahun 1294, Bonifacius VIII disebut oleh seorang ahli sejarah sebagai "yang paling angkuh, otokratik dan ambisius dari para paus di Abad Pertengahan". Gambaran ini tak sepenuhnya adil, jika diingat bahwa paus yang satu inilah yang membangun Universitas Roma, memperluas perpustakaan Vatikan dan penuh pengabdian kepada Gereja. Namun memang Bonifacius VIII bukan penguasa yang manis. Bahkan dia juga yang menggeser Paus Celestinus V yang baru saja lima bulan di Tahta Suci -- lalu memenjarakan orang tua berumur 80 tahun itu sampai mati. Yang menarik, Bonifacius VIII sendiri kemudian mengalami nasib yang hampir sama. Tapi lawannya bukanlah seorang paus lain, melainkan seorang raja Prancis. Hubungan Tahta Suci dengan Philip IV memang sudah buruk. Penguasa Prancis itu menarik pajak dari milik dan personil Gereja, guna menghadapi perang melawan Inggris. Tapi klimaksnya terjadi kemudian, justru waktu hubungan antara Prancis dan Roma membaik. Yakni setelah Philip IV dipanasi hatinya oleh gosip tentang keserakahan Bonifacius VIII, sementara fitnah disebarkan antara kedua pihak. Ketika wakil paus di Prancis akhirnya ditahan, Bonifacius VIII mengeluarkan bulla atau dekrit yang menghimbau agar Raja Philip IV menghormati kepausan. Orang Prancis ternyata membakar dekrit itu dengan upacara. Dan ketika sebuah bulla lain dimaklumkan dari Roma, -- disebut Unam Sanctam, dengan seruan agar semua orang harus tunduk kepada paus di Roma -- sengketa pun memuncak. Philip mengirim orang-orangnya ke istana kepausan di Agnani, dengan 2000 tentara bayaran. Ronifacius diminta mengundurkan diri. Tapi ia menolak. Konon wajahnya ditampar. Yang jelas ia ditahan selama tiga hari, sampai ia dibebaskan oleh sejumlah penolong yang berhasil mengusir pasukan bayaran Prancis itu. Dalam keadaan tak makan selama tiga hari, ia berdiri lemah meminta tolong. Ia dibawa ke Roma. Tak lama kemudian ia demam keras, dan wafat. Penggantinya, Benedictus XI, juga tak lama kemudian meninggal. Diduga diracun. Paus berikutnya adalah bekas Uskup Agung Bordeaux -- yang nampaknya tak berdaya menghadapi tekanan Raja Prancis. Dia mengadakan pengadilan anumerta terhadap Bonifacius VIII. Paus almarhum itu didakwa berbuat bidaah, bahkan melakukan dosa seksual. Tapi kesalahan Bonifacius VIII tak terbukti, dan perkara itu pun ditutup. Bentrokan setajam itu betapa pun menggambarkan sulitnya Tahta Suci bertahan dari zarnan ke zaman. Terutama setelah nasionalisme timbul, dan ('.ereja sendiri mengalami kemerosotan. Dalam keadaan demikian, Gereja pun kadang melancarkan peperangan untuk mempertahankan wilayah dan miliknya Paus Gregorius XI, misalnya, salah Seorang paus asal Prancis yang bertahta dari Avignon, bukan Roma, mengirim tentara bayaran ke Italia. Darah akhirnya tumpah -- darah orang Kristen. Pembantaian terjadi di Faenza dan 4.000 orang mati. Untunglah, seruan damai dari wanita suci Catherina dari Siena agaknya ikut melunakkan hati sang Paus. Tapi perang, dan bukan cuma diplomasi, nampaknya perlu, seraya Gereja berusaha tegak di antara gejolak politik yang terus berlangsung sampai abad ke-16 itu. Yang paling menonjol adalah Paus Julius II (1503-13), seorang paus yang streng dan berani: ia sendiri ikut dalam pertempuran demi pertempuran di sekitar 'Negara-negara Kepausan'. Dalam umurnya yang 68 tahun ia masih kuat menempuh salju dan hidup sebagai prajurit. Tapi ia sendiri wafat karena saklt. Tanpa lindungan militer, Tahta Suci memang dengan gampang dipermainkan oleh kekuasaan raja. Tapi sejarah mencatat pula bahwa kemenangan besar Gereja akhirnya tidak bersumber pada kekuatan persenjataan dari Roma sendiri. Paus Pius VII memperlihatkan itu, ketika Napoleon mencaplok Negara-negara Kepausan ke dalam Imperium Prancis. 17 Mei 1809, Napoleon dari Kota Wina mengumumkan kehendaknya tersebut. Di bulan Juni Pius VII membalas dengan mengumumkan exkomunikasi Maharaja Prancis yang sedang menang itu. Sebulan kemudian pasukan Prancis pun memasuki kamar audiensi paus. Pius VII lebih baik memilih hukuman buang daripada menyatakan memakzulkan diri. Ia berangkat bersama pasukan yang menawannya dengan hanya membawa satu salib dan barang seadanya. Di tempat pembuangannya di Fontainebleau ia menambal bajunya sendiri. Tapi sementara dia diam dengan teguh, seluruh Eropa yang mulai kesal dengan Napoleon justru melihat perlakuannya kepada Pius VII sebagai kesewenang-wenangan. Napoleon akhirnya harus menghadapi musuh yang lebih banyak, dan kalah. Ia mengakui: "Saya tadinya selalu menganggap paus orang yang berwatak lemah . . . Saya memperlakukannya dengan kasar. Saya salah. Saya buta." Sang maharaja meninggal dua tahun lebih cepat dari sang paus -- dan begitu pula kekuasaannya ternyata tak cukup kuat bertahan dibanding Tahta Suci. Mungkin karena pada saat-saatnya yang terbaik, paus yang di Roma itu bisa jadi suatu otoritas yang dibutuhkan untuk meredakan permusuhan -- khususnya bagi negara-negara Eropa. Dan itulah agaknya semangat yang masih terus hingga kini. Yang belum terlihat ialah sejauh mana Vatikan bisa efektif di dunia yang lebih luas dari sekedar wilayah yang bertradisi Nasrani. Bahkan di Irlandia, tempat orang Katolik dan orang Protestan saling berlaga dan curiga-mencurigai, himbauan Paus seolah tak didengar. Apalagi di Timur Tengah. Di sini orang Arab mencurigainya karena Vatikan dekat dengan Barat, sementara Israel tak melihat niat baiknya Vatikan adalah satu-satunya negara Eropa yang belum mengakui negeri Yahudi itu. Betapa pun, Sri Paus -- apalagi Paus ohannes Paulus II -- selalu bisa menarik perhatian. Ada warna lain di sana, ada sejarah yang berbobot pada wilayah yang beberapa petak itu, hingga orang selalu menengoknya. Tak heran bila kunjungan Paus selalu dapat perhatian besar media massa dunia, khususnya Barat. Dan tak heran pula bila kemudian seorang teroris memilih tempat itu sebagai pentas yang pahng cocok. Dengan menembak Paus, tercapailah kontras antara kekerasan dengan perdamaian, seperti jubah putih yang terkena percikan darah, justru pada suatu tempat yang selalu diperhatikan dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus