"Paus, berapa batalyon dia punya?" -- pertayaan, konon
diucapkan oleh Stalin.
SRI Paus, tentu saja, tak punya pasukan. Di abad ini kehadiran
tokoh yang duduk di atas cathedra Petri atau "tahta Petrus" di
Vatikan itu lebih merupakan kehadiran kerohanian. Justru karena
ia tak mengancam dengan tentara dan bedil itulah percobaan
pembunuhan yang dilakukan terhadapnya pekan lalu dirasakan
secara luas sebagai kekerasan paling tak masuk akal di masa
terorisme internasional sekarang.
Itu tak berarti bahwa kekerasan terhadap Paus adalah sesuatu
yang baru dalam sejarahnya yang hampir 2000 tahun. Orang yang
disebut sebagai pendiri Gereja, Petrus, murid Yesus langsung,
adalah Paus pertama yang mengalaminya. Menurut seorang pencatat
tarikh, di masa Kaisar Nero di Roma Petrus "disalibkan dengan
kepala ke bawah". Ia sendiri meminta diberlakukan demikian,
sebab, menurut kisah Kristen, ia tak merasa layak disalibkan
tegak seperti Yesus.
Tak semua paus tentu seperti Santo Petrus. Juga kekerasan
terhadap pemimpin tertinggi Gereja Katolik itu tak selalu sama
motifnya. Di akhir tahun 795, misalnya, di masa sebelum
Borobudur didirikan di Jawa, para pemimpin Gereja memilih
seorang paus yang ternyata tak disukai penduduk Roma. Mereka
menuduhnya menyeleweng, dan April 799 mereka menyerangnya. Ia
dipenjarakan di sebuah biara -- setelah diperlakukan dengan
buruk.
Untung Paus itu, Leo III, dapat melarikan diri dan mendapatkan
pertolongan raja besar Jerman Charlemagne. Raja ini
mengembalikan Leo III ke Tahta Suci. Sebagai balasannya, ia
memperoleh sesuatu yang kemudian jadi lambang bagi raja-raja
Eropa berabad-abad kemudian sebuah mahkota yang diletakkan oleh
tangan Paus di kepalanya, sebagai tamJa kekuasaannya disahkan
Tuhan.
Charlemagne sendiri, menurut seorang pencatat sejarah, tak
menyukai hal itu. Dan pada gilirannya banyak raja Eropa memang
memperoleh kesulitan karena upacara penobatan seperti itu
menunjukkan, bahwa Tahta Suci di Roma dengan demikian jadi
sumber kekuasaan lain yang harus diperhitungkan. Terutama di
Abad Pertengahan Eropa.
Dalam kekuasaan yang besar sekali hak dan wibawanya seperti itu,
tak urung para paus terlibat dalam bentrok politik dengan raja.
Dan kekerasan tak terelakkan. Yang paling dramatis ialah ketika
Paus Bonifacius VIII bertahta, di zaman ketika di Indonesia
Majapahit baru berdiri.
Dipilih di tahun 1294, Bonifacius VIII disebut oleh seorang ahli
sejarah sebagai "yang paling angkuh, otokratik dan ambisius dari
para paus di Abad Pertengahan". Gambaran ini tak sepenuhnya
adil, jika diingat bahwa paus yang satu inilah yang membangun
Universitas Roma, memperluas perpustakaan Vatikan dan penuh
pengabdian kepada Gereja.
Namun memang Bonifacius VIII bukan penguasa yang manis. Bahkan
dia juga yang menggeser Paus Celestinus V yang baru saja lima
bulan di Tahta Suci -- lalu memenjarakan orang tua berumur 80
tahun itu sampai mati. Yang menarik, Bonifacius VIII sendiri
kemudian mengalami nasib yang hampir sama.
Tapi lawannya bukanlah seorang paus lain, melainkan seorang raja
Prancis. Hubungan Tahta Suci dengan Philip IV memang sudah
buruk. Penguasa Prancis itu menarik pajak dari milik dan
personil Gereja, guna menghadapi perang melawan Inggris. Tapi
klimaksnya terjadi kemudian, justru waktu hubungan antara
Prancis dan Roma membaik. Yakni setelah Philip IV dipanasi
hatinya oleh gosip tentang keserakahan Bonifacius VIII,
sementara fitnah disebarkan antara kedua pihak.
Ketika wakil paus di Prancis akhirnya ditahan, Bonifacius VIII
mengeluarkan bulla atau dekrit yang menghimbau agar Raja Philip
IV menghormati kepausan. Orang Prancis ternyata membakar dekrit
itu dengan upacara. Dan ketika sebuah bulla lain dimaklumkan
dari Roma, -- disebut Unam Sanctam, dengan seruan agar semua
orang harus tunduk kepada paus di Roma -- sengketa pun memuncak.
Philip mengirim orang-orangnya ke istana kepausan di Agnani,
dengan 2000 tentara bayaran.
Ronifacius diminta mengundurkan diri. Tapi ia menolak. Konon
wajahnya ditampar. Yang jelas ia ditahan selama tiga hari,
sampai ia dibebaskan oleh sejumlah penolong yang berhasil
mengusir pasukan bayaran Prancis itu. Dalam keadaan tak makan
selama tiga hari, ia berdiri lemah meminta tolong. Ia dibawa ke
Roma. Tak lama kemudian ia demam keras, dan wafat.
Penggantinya, Benedictus XI, juga tak lama kemudian meninggal.
Diduga diracun. Paus berikutnya adalah bekas Uskup Agung
Bordeaux -- yang nampaknya tak berdaya menghadapi tekanan Raja
Prancis. Dia mengadakan pengadilan anumerta terhadap Bonifacius
VIII. Paus almarhum itu didakwa berbuat bidaah, bahkan melakukan
dosa seksual. Tapi kesalahan Bonifacius VIII tak terbukti, dan
perkara itu pun ditutup.
Bentrokan setajam itu betapa pun menggambarkan sulitnya Tahta
Suci bertahan dari zarnan ke zaman. Terutama setelah
nasionalisme timbul, dan ('.ereja sendiri mengalami kemerosotan.
Dalam keadaan demikian, Gereja pun kadang melancarkan peperangan
untuk mempertahankan wilayah dan miliknya Paus Gregorius XI,
misalnya, salah Seorang paus asal Prancis yang bertahta dari
Avignon, bukan Roma, mengirim tentara bayaran ke Italia. Darah
akhirnya tumpah -- darah orang Kristen. Pembantaian terjadi di
Faenza dan 4.000 orang mati. Untunglah, seruan damai dari wanita
suci Catherina dari Siena agaknya ikut melunakkan hati sang
Paus.
Tapi perang, dan bukan cuma diplomasi, nampaknya perlu, seraya
Gereja berusaha tegak di antara gejolak politik yang terus
berlangsung sampai abad ke-16 itu. Yang paling menonjol adalah
Paus Julius II (1503-13), seorang paus yang streng dan berani:
ia sendiri ikut dalam pertempuran demi pertempuran di sekitar
'Negara-negara Kepausan'. Dalam umurnya yang 68 tahun ia masih
kuat menempuh salju dan hidup sebagai prajurit. Tapi ia sendiri
wafat karena saklt.
Tanpa lindungan militer, Tahta Suci memang dengan gampang
dipermainkan oleh kekuasaan raja. Tapi sejarah mencatat pula
bahwa kemenangan besar Gereja akhirnya tidak bersumber pada
kekuatan persenjataan dari Roma sendiri. Paus Pius VII
memperlihatkan itu, ketika Napoleon mencaplok Negara-negara
Kepausan ke dalam Imperium Prancis.
17 Mei 1809, Napoleon dari Kota Wina mengumumkan kehendaknya
tersebut. Di bulan Juni Pius VII membalas dengan mengumumkan
exkomunikasi Maharaja Prancis yang sedang menang itu. Sebulan
kemudian pasukan Prancis pun memasuki kamar audiensi paus. Pius
VII lebih baik memilih hukuman buang daripada menyatakan
memakzulkan diri.
Ia berangkat bersama pasukan yang menawannya dengan hanya
membawa satu salib dan barang seadanya. Di tempat pembuangannya
di Fontainebleau ia menambal bajunya sendiri.
Tapi sementara dia diam dengan teguh, seluruh Eropa yang mulai
kesal dengan Napoleon justru melihat perlakuannya kepada Pius
VII sebagai kesewenang-wenangan. Napoleon akhirnya harus
menghadapi musuh yang lebih banyak, dan kalah. Ia mengakui:
"Saya tadinya selalu menganggap paus orang yang berwatak lemah .
. . Saya memperlakukannya dengan kasar. Saya salah. Saya buta."
Sang maharaja meninggal dua tahun lebih cepat dari sang paus --
dan begitu pula kekuasaannya ternyata tak cukup kuat bertahan
dibanding Tahta Suci.
Mungkin karena pada saat-saatnya yang terbaik, paus yang di Roma
itu bisa jadi suatu otoritas yang dibutuhkan untuk meredakan
permusuhan -- khususnya bagi negara-negara Eropa.
Dan itulah agaknya semangat yang masih terus hingga kini. Yang
belum terlihat ialah sejauh mana Vatikan bisa efektif di dunia
yang lebih luas dari sekedar wilayah yang bertradisi Nasrani.
Bahkan di Irlandia, tempat orang Katolik dan orang Protestan
saling berlaga dan curiga-mencurigai, himbauan Paus seolah tak
didengar. Apalagi di Timur Tengah. Di sini orang Arab
mencurigainya karena Vatikan dekat dengan Barat, sementara
Israel tak melihat niat baiknya Vatikan adalah satu-satunya
negara Eropa yang belum mengakui negeri Yahudi itu.
Betapa pun, Sri Paus -- apalagi Paus ohannes Paulus II --
selalu bisa menarik perhatian. Ada warna lain di sana, ada
sejarah yang berbobot pada wilayah yang beberapa petak itu,
hingga orang selalu menengoknya.
Tak heran bila kunjungan Paus selalu dapat perhatian besar media
massa dunia, khususnya Barat. Dan tak heran pula bila kemudian
seorang teroris memilih tempat itu sebagai pentas yang pahng
cocok. Dengan menembak Paus, tercapailah kontras antara
kekerasan dengan perdamaian, seperti jubah putih yang terkena
percikan darah, justru pada suatu tempat yang selalu
diperhatikan dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini