Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maut itu datang begitu cepat. Juga penuh teka-teki berkabut, sampai kini.
Suskanto demam pada Selasa malam. Rabu pagi, ia dibawa ke Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta. Keesokan malamnya, Kamis, lelaki berusia 65 tahun ini meninggal. Tak jelas apa gerangan penyakit yang menyambar Almarhum. Tim dokter tak tahu, apalagi pihak keluarga. ”Semuanya gelap,” kata Supriyatno, putra tunggal Suskanto.
Kejadian pada akhir November 2006 itu membekas dalam di hati Supriyatno. Warga Kalibaru Timur Dalam, Senen, Jakarta Pusat, ini masih penasaran dengan penyebab kematian sang ayah. Hasil foto rontgen terakhir menunjukkan paru-paru Suskanto tampak menghitam. ”Seperti hangus terbakar,” katanya kepada Tempo. Padahal, sehari sebelumnya, foto rontgen menampilkan serangkaian organ dalam Suskanto, seperti paru dan jantung, dalam kondisi normal. Supriyatno keheranan, ”Kok, perubahannya begitu cepat?”
Maut misterius juga membikin penasaran segenap tim dokter Carolus. Apalagi, kasus ini bukan hanya menimpa Suskanto. Sepanjang November 2006, total ada 20 kasus serupa. Gejala yang dialami seluruh pasien sama, yakni panas tinggi 39 sampai 42 derajat Celsius, penurunan kesadaran hingga ke arah koma, juga kekurangan kadar garam natrium dalam darah. Maksimal mereka hanya dirawat inap selama dua hari sebelum ajal menjemput.
Benar, di Carolus dalam sebulan rata-rata ada 50-60 kematian pasien dengan sebab aneka rupa. Tapi ini kok ada tambahan kasus kematian ekstracepat dalam sebulan. Gejalanya mirip pula. Profil ke-20 pasien pun relatif sama, yakni hampir seluruhnya laki-laki di atas 55 tahun. ”Hanya dua orang pasien yang perempuan dan satu balita,” kata dokter Markus Waseso Suharyono, Direktur Utama RS St. Carolus.
Alarm kewaspadaan segera menyala. ”Ini kejadian tidak biasa,” kata Markus. Pada 27 November 2006, dia melayangkan sepucuk surat kepada Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan. Intinya, Carolus meminta bantuan untuk menyingkap tabir misteri kematian pasien.
I Nyoman Kandun, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, menurunkan tim investigasi. Tergabung dalam tim peneliti adalah periset Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, dan Laboratorium Unit 2 Penelitian Medis Angkatan Laut (NAMRU-2) milik Amerika Serikat, di Jakarta. Tugasnya hanya satu: menyingkap tabir kematian misterius.
Misi ini yang amat penting. Terlebih di saat berbagai penyakit infeksi baru (new emerging diseases) bertumbuhan, antara lain SARS dan flu burung. Respons cepat mutlak dibutuhkan sebelum gering misterius tersebar ke segala penjuru. ”Antisipasi harus segera dilakukan karena dikhawatirkan ada potensi wabah di balik kasus ini,” kata Kandun. Dia memuji langkah cepat dan kewaspadaan pengelola RS Carolus. ”Mestinya semua rumah sakit bertindak seperti itu,” katanya.
Tak mau waktu terbuang, tim investigasi pun beraksi. Mereka segera menelisik riwayat pasien. Ini langkah penting dalam epidemiologi atau ilmu menelusuri rantai perjalanan penyakit.
Sampel darah, rekam medis, dan usap selaput tenggorok ke-20 pasien diteliti. Tes ini dan itu, dari A sampai Z, digelar demi menangkap si biang kerok di balik kematian misterius. Termasuk yang disidik adalah kemungkinan demam berdarah, flu burung, SARS (sindrom pernapasan akut berat), herpes simplex, dan Japanese encephalitis (salah satu jenis radang otak).
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari memerintahkan penyelidikan digelar lebih mendalam. Data berbagai rumah sakit di Jakarta dipelototi. Siapa tahu ada lonjakan kematian dengan gejala yang sama seperti di St. Carolus.
Penyelidikan pun bukan hanya difokuskan pada profil ke-20 pasien. Keluarga, tetangga, dan kualitas lingkungan sekitar pasien juga diteliti. Satu per satu keluarga pasien yang tersebar mulai dari Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Bekasi, dan Bogor dikunjungi.
Melalui wawancara sanak-kerabat, riwayat perjalanan penyakit si mati ditelusuri. Misalnya, apakah sebelum kejadian melakukan perjalanan ke luar kota, adakah kemungkinan telah terjadi kontak sesama pasien yang nyawanya tak tertolong. Kemungkinan adanya penyakit serupa pada anggota keluarga yang lain, juga tetangga kanan-kiri, diubek-ubek.
Hasilnya, melegakan. Tak ada kontak dengan sesama pasien. Tak ada pula kasus serupa pada sanak-kerabat. Semua ini adalah pertanda bahwa si penyakit misterius tidaklah menular. ”Kali ini saya bisa bernapas lega,” kata Kandun.
Penyelidikan internal Rumah Sakit St. Carolus juga mendapat hasil serupa. Tak seorang pun petugas medis dan karyawan lainnya, terutama yang bersentuhan dengan ke-20 pasien, yang terjangkit penyakit mematikan itu. Bahkan kematian misterius itu tidak mampir lagi. ”Setelah 30 November, tak ada lagi kasus serupa,” kata Markus.
Kelegaan Markus dan Nyoman Kandun kian bertambah setelah muncul hasil uji laboratorium. Semua pasien dinyatakan lolos dari sergapan penyakit berbahaya seperti flu burung, SARS, dan penyakit berbahaya lainnya. Uji laboratorium juga menghapus kecurigaan adanya infeksi yang bersumber dari rumah sakit—lazim disebut nosokomial. Tes juga makin mengukuhkan bahwa kasus serupa tidak terjadi di rumah sakit lain di Jakarta. Artinya, ”Kasus itu benar-benar hanya terjadi di RS St. Carolus,” kata Kandun.
Akhir Desember 2006, berdasar hasil penyelidikan, Dinas Kesehatan DKI Jakarta merumuskan tiga kesimpulan untuk kasus ini. Pertama, tak ada penyebaran penyakit yang berpotensi wabah. Kedua, tidak terbukti ada penularan penyakit misterius di rumah sakit. Ketiga, tak ada kejadian yang mencurigakan di rumah sakit lain. Penyelidikan kasus pun ditutup. ”Dengan catatan,” kata Nyoman Kandun, ”akan dibuka kembali bila ada bukti baru, atau kasus serupa terulang.”
Kasus memang telah ditutup, namun tanda tanya tetap menggantung di udara. Lakon utama di balik kematian misterius tetap belum terungkap. Semuanya masih gelap. Secara medis, kasus semacam ini disebut ignota. ”Penyebabnya tidak diketahui,” kata Kandun.
Status ignota bisa muncul karena berbagai sebab. Umpamanya, pengetahuan dan peralatan laboratorium yang ada sekarang belum sanggup mendeteksi penyebab penyakit. Sebab lainnya, Kandun menjelaskan, manifestasi penyakit pada organ ke-20 pasien ternyata berbeda-beda meskipun mereka mengalami gejala umum yang sama. Ada yang parunya rusak—seperti Suskanto—ada juga yang tidak. Walhasil, mencari benang merah secara keseluruhan sungguh pekerjaan rumah yang rumit.
Tapi, sebenarnya, ada satu cara lagi yang bisa membantu menguak tabir sang maut. Yakni, otopsi alias bedah mayat klinis. Sebagian organ dalam tubuh si mati, misalnya jantung atau paru, diambil untuk diteliti lebih lanjut. Sampel tak harus banyak. Cukup satu sentimeter jaringan, bahkan bisa sekadar contoh jaringan yang diambil lewat teknik biopsi. Mayat tak perlu dibedah, apalagi diaduk-aduk. ”Selain penting bagi keluarga, hasil otopsi ini juga bermanfaat bagi kemajuan pengetahuan,” kata Kandun. Langkah ini juga berguna untuk menuntaskan duduk perkara penyakit misterius, demi kebaikan masyarakat banyak.
Hanya, merujuk Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981, bedah mayat seperti itu membutuhkan izin keluarga. ”Izin ini yang kerap jadi kendala,” kata dokter Oktavinda Safitri, ahli patologi anatomi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Keluarga kerap keberatan bila si mayat diambil sampel jaringan tubuhnya. Keberatan itu pula yang kali ini menghalangi bedah klinis ke-20 pasien.
Dengan tak bisa digelarnya otopsi klinis, 20 kasus kematian di Carolus tetap berstatus ignota. Tabir misteri belum tersingkap.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo