YERS Rock, perbukitan karang tersohor di tengah padang pasir Australia Utara, akhirnya kembali kepada pemiliknya - orang Aborigin - penduduk asli Australia. Di kota kecil Mitijulu, di pinggir perbukitan itu, disaksikan ratusan orang Aborigin, diplomat, dan politikus, pekan lalu Gubernur Jenderal Sir Ninian Stephen menyerahkan bukit cadas tersebut bersama wilayah sekitarnya kepada masyarakat Aborigin, yang sudah 30 ribu tahun mengeramatkannya. Sejak bangsa kulit putih mulai berdatangan pada 1788, penduduk Australia yang berkulit gelap itu bukan hanya kehilangan hak-hak atas tanah leluhurnya, tapi juga sebagian anggota masyarakatnya. Ketika orang kulit putih menjejakkan kaki di benua kanguru itu, jumlah orang Aborigin masih sekitar 314 ribu jiwa. Tapi, awal 1980-an, jumlah mereka tinggal sekitar 160 ribu jiwa. Pembunuhan masal di masa lampau, dan serangan penyakit kronis akibat kemiskinan, merupakan andil terbesar dalam penyusutan itu. Hingga saat ini, harapan hidup orang Aborigin rata-rata 55 tahun - 20 tahun di bawah orang kulit putih. Penghasilan rata-rata mereka, per keluarga, A$ 6 ribu per tahun, baru separuh dari yang diperoleh orang Australia lainnya. Tapi dalam soal kriminalitas, mereka memegang rekor. Dari per seratus ribu jiwa, jumlah orang Aborigin yang dipenjarakan lebih dari 100 kali lipat dibanding penduduk Australia lainnya. Kini, sebagian orang Aborigin sudah mulai memukimi kembali tanah-tanah leluhur mereka. Di gurun-gurun terpencil sekitar Alice Spring saja sudah berdiri sekitar 300 perkampungan tradisional, yang dihuni 8 ribu jiwa. Mereka ingin hidup kembali dengan tradisi 40 ribu tahun lalu - terbebas dari alkoholisme, racun asap mesin, dan lain-lain. Kerin O'dea, peneliti masalah kesehatan, juga menemukan sikap menarik diri itu membawa pengaruh baik bagi kesehatan. Dalam sebuah percobaannya, Kerin mengirim 10 orang Aborigin penderita penyakit kencing manis ke kampung aslinya. Setelah 7 minggu hidup dari memakan binatang-binatang buruan - kanguru, reptilia, burung yang dimasak dengan cara tradisional, mereka ternyata sehat kembali tanpa bantuan obat-obatan. Yang agak mengesalkan mereka adalah janji Perdana Menteri Bob Hawke. Hawke ketika berkampanye berjanji akan memulihkan hak atas tanah mereka ternyata, itu tidak dilaksanakan sungguh-sungguh. "Kami seperti pengungsi yang mencari pemerintah yang bersedia membantu memecahkan segala persoalan kami, " ujar Pat Dodson, koordinator nasional Federasi Dewan-Dewan Tanah Kaum Aborigin. Penderitaan itu ternyata belum juga cukup. Pada 1988, pemerintah Australia mengadakan perayaan besar-besaran menyambut dua abad kedatangan bangsa kulit putih. Padahal, bagi orang Aborigin peristiwa itu sebagai mimpi buruk yang tak pernah hilang dari ingatan mereka. Demikian pula dengan orang-orang kulit putih yang menyadari kebrutalan nenek moyangnya terhadap orang-orang Aborigin. Itulah sebabnya Helen Boyle yang berkulit putih, Direktur Transby Cooperative College di Sydney, menolak pemberian dana dari pemerintah untuk perayaan tersebut. "Uang berdarah," ujarnya. Namun, orang seperti Boyle itu tampaknya tidak banyak. Pengumpulan pendapat yang dilakukan oleh koran The Australian tiga bulan lalu, menunjukkan bahwa sebagian besar warga kulit putih menentang pemulihan hak-hak tanah orang Aborigin. Maka, ketika acara serah terima bukit sucinya, sebuah pesawat udara ringan berputar-putar selama beberapa menit dengan mengibarkan spanduk: "Ayers Rock untuk Semua Orang Australia". Laporan Robin Osborne (Australia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini