PRESIDEN Raul Alfonsin memberlakukan keadaan darurat di seluruh Argentina, Jumat pekan lalu. Ini merupakan jawaban terhadap kerusuhan yang meletup menjelang pemilihan umum, 3 November ini. Tatkala mengumumkan keputusan presiden itu, Menteri Dalam Negeri Antonio Troccoli menegaskan, keadaan darurat ini tidak akan mengganggu masa-masa kampanye. Toh banyak pihak enggan menggunakan masa kampanye ini, khawatir keadaan memburuk, sehingga membuka peluang baru bagi militer berkuasa kembali. Adalah Alfonsin yang mencabut keadaan darurat terakhir di Argentina, yang diberlakukan penguasa militer dari 1974 sampai 1983. Kala itu, Alfonsin baru saja naik ke puncak kekuasaan, dan sekaligus mengakhiri rezim baju hijau, yang suka bertindak tidak semena-mena selama delapan tahun. Kendati ia tak menyukai keadaan darurat, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi menjelang pemilihan umum pekan ini membuat Alfonsin kehilangan kesabarannya. Apalagi, sehari sebelum pengumuman keadaan darurat, sebuah bom meledak lagi di sebuah permukiman penduduk. Untung, tidak ada korban yang jatuh. Tapi peristiwa ini cukup menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat. Dan tidak sedikit sekolah dasar yang diliburkan gara-gara itu. Tidak heran bila banyak orang beranggapan, pemerintah sudah tidak lagi bisa menguasai keadaan. Selama ini, memang baru satu orang yang tercatat tewas karena bom. Yang menjadi sasaran kebanyakan instansi militer, atau rumah-rumah perwira, dan ada satu yang meledak di dekat rumah Troccoli. Petugas keamanan membekuk enam penduduk sipil serta enam perwira militer yang disangka menyundut api huru-hara ini. Entah mengapa peristiwa pengeboman ini berdekatan dengan menjelang berakhirnya pengadilan sembilan jenderal, yang dituduh mencabut ribuan nyawa orang Argentina pada saat rezim baju hijau berkuasa di tahun 1970-an. Sehingga tidak sedikit dugaan yang menghubungkan kerusuhan ini sebagai pertanda bangkitnya kembali kaum militer. Betulkah ? Duta Besar Argentina untuk Amerika, Lucio Garcio, menyanggah desas-desus tersebut. Ia menduga, peristiwa-peristiwa itu justru di dalangi oleh kelompok-kelompok sipil sayap kiri beraliran fasis. Tapi dugaan tersebut juga masih belum bisa sepenuhnya dipercaya. Sebab, sampai awal pekan ini, belum ada satu kelompok pun mengaku bertanggung jawab terhadap seluruh kejadian. Memang tidak bisa dielakkan, Alfonsin belum bisa mengubah wajah Argentina yang rusak di tangan rezim , militer. Kondisi perekonomian yang centang perenang menyebabkan ia harus menghiba kepada para kreditor untuk mau menunda tagihan utang mereka. Sementara itu, korban-korban penculikan misterius masih terus berjatuhan, dan banyak di antara mereka tidak diketahui makamnya. Atau mungkin mereka masih mendekam di balik terali besi tanpa tahu kapan boleh menghirup udara bebas. Menurut pendukung gerakan hak asasi di Argentina, serangan bom yang nyaris bertubi-tubi itu sebenarnya ditujukan untuk mengingatkan pemerintah agar tidak memberi pengampunan kepada para jenderal yang diajukan sebagai terdakwa di pengadilan, dan vonisnya segera dijatuhkan. Jika terlambat melakukannya, menurut mereka, Argentina akan menghadapi ancaman kudeta dari kelompok militer. Kelompok pendukung para jenderal yang diadili menganggap pengadilan ini kelanjutan "perang gerilya" pada tahun 1970-an, dan tampaknya hendak melucuti kaum militer. Diantara para jenderal yang diadili terdapat bekas Presiden Jorge Videla, Leopoldo Galtieri, dan Roberto Viola. Hingga kapan Alfonsin bisa bertahan ? Jawabannya bakal bisa dilihat pada hasil pemilihan umum minggu ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini