TAK seorang berani memastikan bahwa tokoh yang berada di balik peristiwa berdarah Kwangju (Mei 1980) tujuh tahun kemudian akan terpilih sebagai presiden Korea Selatan. Dan mungkin tak seorang pengamat politik pernah meramalkan bahwa demam pemilu yang menghangatkan Korea Selatan awal musim dingin ini justru terbangkitkan oleh orang yang sama: Roh Tae-Woo, 55 tahun. Tapi itulah kenyataan yang tak lama lagi akan dibahas dari segala segi oleh ahli politik dan sejarah. Sementara ini, baru beberapa tukang ramal yang berani angkat bicara. "Roh Tae-Woo punya mata untuk bersaing dan hidung untuk menang," ujar Nyonya Lee Chung-Ai, seorang ahli fisiognomi, yakni ilmu membaca wajah berdasar konfusianisme. Mata Roh, kata Nyonya Lee, sekilas tampak ramah, namun bila diamati lebih mendalam, justru menyorot tajam bagaikan mata harimau. Ini menandakan ia seorang egoistis yang tahu betul kepentingannya. Hidung Roh (baca: no), yang mirip kepalan tangan, justru menunjukkan bahwa ia punya tekad untuk melakukan apa saja. Tentu demi target yang sudah ditetapkannya. "Politikus bisa menipu dengan kata-katanya," ujar Nyonya Lee, "tapi tidak dengan wajahnya." Ini diungkapkan sang peramal sehari sebelum pemilu presiden secara langsung -- dalam tempo 16 tahun terakhir -- diselenggarakan Rabu pekan silam. Kemenangan Roh Tae-Woo, jenderal purnawiran dan "putra mahkota" yang diorbitkan Presiden Chun Doo-Hwan itu, dipastikan dengan perolehan suara 37,2% dari hampir 24 juta orang yang menggunakan hak suaranya. Hitungan terakhir mencatat, Roh mengumpulkan 8 juta suara lebih, sementara kedua penantangnya, Kim Young-Sam, 59 tahun, dan Kim Dae-Jung, 63 tahun, masing-masing mengantungi suara 6 juta lebih sedikit. Dua calon lain: mendapat jumlah suara yang tak berarti, yakni Kim Jong-Pil (1 juta lebih) sedang Shin Jeong-Yil jauh di bawahnya. Kendati penghitungan suara baru akan berakhir Sabtu pekan ini, sudah bisa dipastikan bahwa Roh akan menjadi presiden Korea Selatan, menggantikan Chun Doo Hwan, 25 Februari tahun depan. Pesta demokrasi Korea Selatan itu juga berarti pesta keberingasan dan gas air mata. Rangkaian bentrokan mahasiswa dengan pasukan antihuru-hara terjadi silih berganti, lengkap dengan lemparan batu, bom molotov, dan gas air mata. Untuk pemilu saja dikerahkan 77.000 polisi antihuru-hara, jumlah yang tidak cukup, rupanya, untuk mencegah kecurangan atau penghapusan surat suara. Koalisi Nasional untuk Demokrasi, satu organisasi oposisi, menyebut adanya 3.000 kasus kecurangan di Seoul saja. Sementara itu, hilangnya 850.000 surat suara (600.000 di antaranya adalah surat suara tentara) tidak banyak digubris, kendati DJP (Partai Keadilan Demokratik) yang berkuasa berjanji kelak akan mengusut itu semua. Gelombang kerusuhan telah terjadi sepanjang tahun, memang. Tapi rakyat kecil bersyukur bahwa semua itu bermuara pada pemilu. Kerusuhan mencapai puncak Juni lalu, ketika Presiden Chun Doo- Hwan merencanakan suksesi. Ia menunjuk Roh TaeWoo -- bekas ketua panitia Olimpiade Seoul -- sebagai penggantinya. Tak sulit melaksanakan keinginan itu, karena hampir 5.000 anggota DPR yang berhak memilih presiden sudah dikuasai Chun. Tapi kelompok oposisi protes keras. Menghadapi situasi rawan, penguasa mengalah. Konstitusi diubah hingga memungkinkan pemilihan presiden secara langsung. Tapi sebelumnya, dengan dalih menghindari perang saudara, Roh Tae-Woo mendesak agar Chun menyetujui perubahan itu. Akhirnya, konstitusi baru membuka peluang bagi partai oposisi RDP (Partai Persatuan Demokratik) untuk terjun ke pemilu, sementara Kim Dae-Jung dipulihkan hak-hak politiknya. Inilah barangkali pangkal kekalahan oposisi. Tokoh kharismatis Kim Dae-Jung -- entah dihasut oleh siapa -- tiba-tiba mencalonkan diri, bahkan membentuk partai sendiri. Berbagai cara diusahakan massa oposisi -- bahkan ada yang membakar diri agar ia bersama Kim Young-Sam berdamai, lalu seorang di antaranya mengundurkan diri. Tak satu pun imbauan dan bujukan ini digubris. Sementara itu, Chun Doo-Hwan dan kelompoknya sudah menghitung-hitung kemenangan. Betapa tidak. Jelas terbukti kini bahwa suara oposisi yang terpecah itu mencapai 12 juta lebih, sedangkan Roh Tae-Woo cuma mengumpulkan 8 )uta. Dengan ini, oposisi cuma bisa gigit jari. Namun, masih dalam kemarahan menggebu, Kim Young-Sam balik menuduh "pemilu tidak sah", dan kemenangan itu sebagai "kudeta kedua". Kim Dae Jung menggebrak bahwa telah terjadi berbagai kecurangan dalam penghitungan suara. Itu bukan mustahil. Namun, dari perbandingan suara yang masuk, terlihat bahwa kecurangan tidaklah dominan. Memang ada dua bentuk manipulasi: pertama merusakkan surat suara, lebih dikenal dengan istilah "main piano", kedua menukar surat suara yang diatur terlebih dulu, disertai uang suap, tentu saja. Juga ada kecurigaan kotak suara dibawa lari atau padamnya listrik di distrik Yongdungpo, Seoul, persis ketika penghitungan akan dimulai. Toh banyak pengamat asing di Seoul, di antaranya International Human Rights Law Groups, yang mengikuti penghitungan dari dekat, menyatakan bahwa tak ada penyimpangan yang prinsipiil. Karena oposisi kalah, mahasiswa radikal dan gerakan buruh kiri semakin tak puas, marah, dan mengamuk. Jumat siang pekan lalu kerusuhan terjadi di Myongdong, pusat pertokoan Seoul. Sekitar 50 mahasiswa mencoba membangkitkan aksi massa dengan melempari polisi. Mereka mencoba menembus barikade untuk mencapai Balai Kota, yang terletak sekitar 400 meter dari Myongdong. Lalu lintas, yang sebelumnya tampak tenang, kembali macet. Bis-bis kota terpaksa berhenti di tempat huru-hara, sementara penumpangnya berhamburan mencari perlindungan. Terjadi kebakaran -- dengan api mencapai setinggi 3 meter hingga satu unit pasukan antihuru-hara berkekuatan 40 orang didatangkan. Udara Myongdong pun menghitam, asap kebakaran bercampur dengan asap gas air mata yang pekat. Bentrokan segera terjadi. Ketika itu, wartawan TEMPO Seiichi Okawa menyaksikan perubahan sikap massa yang mengejutkan. Masyarakat kali ini tidak mendukung aksi mahasiswa, bertolak belakang dari sikap mereka sebelumnya, yang senantiasa melindungi mahasiswa. Kali ini mereka berang. "Bunuh ..., bunuh para pengacau," seru orang-orang itu. Setelah 40 menit mahasiswa terdesak. Dengan meneriakkan, "Hidup demokrasi, runtuhkan pemerintahan militer," mereka kemudian berpencar menyelamatkan diri. Ketika itu massa justru memburu dan memukuli mahasiswa yang tertangkap. Pasukan antihuru-hara yang beberapa menit lalu bertempur melawan para demonstran terpaksa berbalik melindungi mahasiswa yang terancam dikeroyok massa. Aksi baru reda setelah 30 mahasiswa tertangkap. Sikap masyarakat ini tak berubah tiba-tiba. Antipati terhadap oposisi mulai tampak sejak perpecahan Kim Dae-Jung dan Kim Young Sam. Keduanya dianggap lebih mementingkan ambisi pribadi daripada mengutamakan tegaknya demokrasi. "Mereka bertanggung jawab penuh atas kegagalan bangsa Korea mengakhiri kekuasaan militer," ujar Paek Ki-Wan, calon presiden yang mengundurkan diri dua hari sebelum pemilu. "Mereka seharusnya minta maaf secara terbuka di hadapan masyarakat." "Kedua orang dungu itu telah menyia-nyiakan sebuah peluang emas, juga darah mahasiswa pejuang," ujar Chung Young Ki, seorang pengusaha. "Seharusnya, mereka melakukan harakiri." Penyesalan lebih dramatis datang dari Chong Jae-Sok, pendukung Kim Dae-Jung dan bekas manajer kampanye PPD (Partai Demokratik Perdamaian) dari Provinsi Chungchong. Jumat pekan lalu Jae-Sok menyesali kekalahan oposisi, dengan jalan bunuh diri, menghirup gas karbon monoksida. Sebelumnya, dua pendukung oposisi menempuh cara sama, sebagai protes atas perpecahan kedua Kim. Kepanikan, penyesalan, maupun frustrasi praktis menjatuhkan citra kelompok oposisi. Tak heran jika protes dan kekerasan mahasiswa kini malah mencemaskan rakyat. Situasi Kwangju, sebuah kota di barat daya Korea, adalah gambaran yang paling jelas dari frustrasi itu. Di basis Kim Dae-Jung ini, aksi mahasiswa menjurus ke anarki. Sesudah pemilu, mahasiswa menemukan sasaran baru: wartawan asing. Sabtu pekan lalu mereka menyerang wartawan-wartawan asing, dengan dalih telah menyebarluaskan kemenangan Roh Tae-Woo. Tiga wartawan televisi Amerika terluka, dan helm seorang wartawan Jepang pecah kena hantaman. Wartawan TEMPO Bambang Harymurti, bersama sejumlah wartawan asing yang meliput keadaan, dengan mengendarai mobil berhasil lolos dari serbuan massa. Toh situasi Kwangju terkontrol baik, karena jalan-jalan utama sudah dikuasai pasukan antihuru-hara. "Karena itu, demo yang kami rencanakan selalu patah," ujar Chung, seorang pemimpin gerakan. Namun, di sisi lain Chung mengakui, sebab kegagalan lainnya ialah putusnya komunihasi dengan pusat gerakan di Seoul. Ketika diwawancarai, Chung sedang menunggu pengarahan dari RDP dan PPD Seoul. Berita dari ibu kota ternyata tak kunjung datang. Di tengah kemelut itu, Roh Tae-Woo malah konsisten dengan sikap rendah hati yang sudah ditempuhnya sejak Juli lalu. Setelah menang, ia menyatakan akan bertemu dengan lawan-lawan politiknya, untuk menawarkan sebuah pemerintahan koalisi. Ia bahkan menjanjikan referendum, sesudah Olimpiade Agustus 1988. "Dengan referendum itu rakyat bisa menilai apakah saya memegang janji-janji saya atau tidak, " katanya. Simpati rakyat, sekali lagi, mengalir kepadanya. Peramal Lee Chung-Ai menyebutkan, Roh memang punya peluang untuk menjadi orang besar. "Telinganya mirip telinga Budha," katanya. Jim Supangkat (Jakarta), Seiichi Okawa, Yuli Ismartono (Seoul), Bambang Harymurti (Kwangju)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini