DI bawah udara dingin, Seoul Olympic Stadium telah menjadi tempat umum pertama yang dikunjungi Roh Tae-Woo, sehari setelah ia memenangkan pemilu pekan lalu. Pusat kegiatan olah raga -- Seoul Sports Complex dengan kapasitas 100 ribu tempat duduk, yang terletak di tepi Sungai Han itu, akan menjadi pusat kegiatan Olimpiade musim panas tahun depan. Roh Tae-Woo memerlukan ke sana mengingat Olimpiade 1988 menjadi taruhan nama baik dan martabat Korea Selatan. Khususnya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa negerinya sanggup menjadi tuan rumah pesta olah raga yang prestisius itu. Bahkan dalam kampanye pemilu, janji untuk menjadi pelaksana Olimpiade yang baik dipekikkan oleh semua calon. Kunjungan Roh Tae Woo ke stadion itu tampaknya merupakan kunjungan kenangan -- ia pernah menjadi ketua pelaksana olimpiade atau Presiden Seoul Olympic Organizing Committee (SLOOC). Jabatan itu kini dipegang oleh Park Sae-Jik. Park menyatakan, setelah pemilu usai, tugas nasional yang belum dilaksanakan masih ada dua. Yaitu, "Pergantian presiden Februari nanti dan Olimpiade." Bagi bangsa Korea, gagal melaksanakan Olimpiade merupakan dosa tak berampun. Maka, sejak Seoul terpilih sebagai tuan rumah oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC) pada 1981, segala dana dan konsentrasi diarahkan ke sana. Ini wajar saja, kalau diingat bahwa di Asia, Seoul akan menjadi penyelenggara kedua -- setelah Tokyo, 1964 dulu. Athletic Village atau Perkampungan Atlet berdaya tampung 13.000 orang sudah dibangun. Ini untuk atlet dan ofisial. Lalu Press -- Village (kapasitas 6.000 wartawan), dan Olympic Family Town (12.000 kamar), yang disediakan bagi keluarga dan penonton umum dari luar negeri. Itu cuma sebagian dari 33 jenis sarana yang sudah disiapkan. Dan sarana ke-34, berupa kolam renang, diperkirakan akan rampung pada April nanti. Seluruh dana yang dipersiapkan, menurut Dirjen Hubungan Masyarakat SLOOC Hyon Ung Shin, tak kurang dari US$ 3,1 milyar. "Kami sudah mengeluarkan US$ 900 juta untuk administrasi dan bangunan-bangunan baru," kata Hyon Ung-Shin. Dana US$ 3,1 milyar itu diperoleh dari investasi langsung dan tak langsung. Investasi langsung, berupa bangunan di lingkungan Olympic Family Town, diadakan pihak swasta. Selebihnya, uang masuk dari hasil penjualan karcis -- kebanyakan di luar negeri -- hasil penjualan uang logam peringatan, sumbangan sektor swasta dan masyarakat Korea di mancangara, dan dari hasil penjualan konsesi ke pihak swasta (sebesar US$ 800 juta). Pemerintah sendiri telah menyediakan US$ 1,4 milyar, yang merupakan bagian dari anggaran pelita. Ini terutama diperuntukkan membangun infrastruktur, seperti pembukaan jalur baru kereta bawah tanah dan penambahan sarana di bandara Kimpo. Sampai saat ini jumlah negara yang telah mendaftar 105. Pada batas waktu yang jatuh 17 Januari 1988, diharapkan jumlah peserta menjadi 167 negara. Untuk memperlancar komunikasi selama Olimpiade, panitia telah merekrut 5.000 orang -- sebagian di antaranya adalah orang-orang asing yang berdiam di Seoul -- yang disiapkan sebagai tenaga penerjemah. Olimpiade memang menyediakan lapangan pekerjaan baru. "Kami yakin Olimpiade akan sukses," kata Hyon Ung Shin. "Karena pesta olah raga ini lebih utama daripada kepentingan partai atau perorangan. Berdasarkan survei, semua responden menyatakan dukungannya untuk Olimpiade." Mau apa lagi? Acara tersebut bisa menyediakan lapangan pekerjaan untuk 344 ribu orang. Keyakinan semacam itu datang pula dari Ketua Komite Olimpiade Kim Chong-Ha. Di kantornya, lantai VIII Gedung Olah Raga Korea Selatan, Kim Chong-Ha, 53 tahun, mengatakan kepada wartawan TEMPO Seiichi Okawa bahwa "Siapa pun yang terpilih sebagai presiden tak akan ada pengaruhnya pada rencana Olimpiade." Kim, lulusan Akademi Militer Korea Selatan 1957, memastikan bahwa terpilihnya Roh Tae Woo akan makin berdampak positif. Tapi optimisme begitu rasanya mesti sedikit di tekan, terutama kalau mengingat sikap Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang mulai bimbang terhadap situasi politik di Korea Selatan. Atas terpilihnya Roh Tae Woo, juru bicara IOC Michele Verdier di Lussane, menolak berkomentar. "Terserah kepada rakyat Korea sendiri untuk menentukan nasibnya di masa datang," katanya. "Kami sekarang tinggal menunggu perkembangan selanjutnya." Perkembangan itu antara lain tergantung sikap negara-negara Blok Timur, yang sampai sekarang belum memastikan keikutsertaan mereka. Terutama Korea Utara dan Uni Soviet. Kepala Penerangan Departemen Luar Negeri Soviet, Gennady Gerasimov, pernah mengatakan, kepastian Soviet akan dikeluarkan nanti, mendekati batas akhir pendaftaran, 17 Januari depan. Itu keterangannya pada Juni lalu -- ketika demonstrasi menggugat Chun Doo-Hwan mulai menggawat. Terakhir, setelah Roh Tae-Woo terpilih Gennady Gerasimov masih tetap diam. Ia menolak berkomentar. Dari Korea Utara, yang sampai sekarang belum mencapai titik temu dengan IOC dan Korea Selatan, belum juga terdengar aba-aba baru. Sikap diam seperti itu bisa ditafsirkan mau ikut dengan catatan dipercaya juga sebagai tuan rumah untuk lima cabang olah raga. Atau ngotot untuk kemudian memboikot. Langkah terakhir ini tentu akan diikuti oleh sekutunya, seperti Soviet dan RRC. Jika demikian, pentas di Seoul tidak sesukses seperti harapan semula. Lebih dari sekadar boikot bau-bau sabotase juga sudah tercium melalui peristiwa lenyapnya KAL 858 di wilayah perbatasan Birma-Thailand, akhir bulan lalu. Jika kemudian terbukti keterlibatan Korea Utara pada musibah itu, pihak Selatan sudah berketetapan tidak akan berunding lagi. Artinya, tidak akan lagi membagi kesempatan berpesta olah raga pada Pyongyang. Kondisi begini dengan sendirinya akan membuat arena adu prestasi itu dibayang-bayangi teror. Siapa pun tak lupa peristiwa 1972 di Munich, ketika gerilyawan Palestina menghabisi para atlet Israel. Atau pada 1968 dengan korban lebih dari 400 mahasiswa tewas dimakan peluru, dalam aksi protes beberapa hari menjelang pelaksanaan Olimpiade di Kota Meksico. Atas nama prestasi, prestise, dan komersialisasi acara, yang antara lain diperkirakan akan memasukkan tambahan uang dari 2 juta wisatawan dan penjualan hak siaran TV pihak Selatan boleh melunakkan sikap. Tak boleh dilupakan pihak ketiga, Los Angeles, tuan rumah Olimpiade 1984. "Kami masih tetap membuka pintu untuk negosiasi dengan Korea Utara," kata Kim Chong-Ha. "Upaya-upaya untuk mengajak mereka ikut serta tetap kami lakukan lewat negara-negara sosialis. Bahkan andai kata mereka memastikan jawabannya lewat tanggal 17 Januari, kami masih bersedia. Asal memang benar-benar berunding untuk sebuah kesepakatan." Jadi, tidak sekadar ngotot atau membisu seribu bahasa. Pokoknya, "Silakan menggunakan nama Republik Demokratik Rakyat Korea, silakan mengibarkan bendera Korea Utara, dan kami tak keberatan lagu kebangsaan mereka diperdengarkan," tambah Kim Chong-Ha. Mohamad Cholid (Jakarta), Seiichi Okawa & Yuli Ismartono (Seoul)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini