Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Oposisi kehilangan peluang emasnya

Kemenangan roh tae-woo disambut dengan demonstrasi dari pihak oposisi. pemilu dituduh curang. roh segera mengumumkan rekonsiliasi nasional. kubu kedua kim retak, melunturkan kepercayaan rakyat.

26 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEADAAN berangsur reda. Malam Minggu, hanya tiga hari sesudah pemilu, kawasan Myongdong, pusat pertokoan mewah di Seoul, sudah dibanjiri orang-orang yang sibuk mencari hadiah Natal dan Tahun Baru. Suasana tenang tenteram, sementara di toko-toko itu berkumandang lagu-lagu Natal yang syahdu. Tapi di ujung jalan itu berlangsung aksi protes. Tepat di depan katedral Myongdong -- pusat agama Katolik di Korea Selatan -- ratusan mahasiswa berdemonstrasi dan meneriakkan yel-yel seperti "Jatuhkan pemerintah Chun Doo-Hwan dan Roh Tae Woo. Bunuh Roh, bunuh Chun!" Mereka mengecam hasil pemilu yang katanya dimanipulasi oleh penguasa militer. Di Kwangju dan sembilan kota lainnya di selatan -- basis oposisi -- meletus protes besar-kecil yang tidak segera bisa dipadamkan. Sekitar tiga ribu demo terlibat adu kekuatan dengan polisi di Kwangju, Sabtu baru lalu, sementara banyak penonton bertepuk t,angan dan pengeras suara dari pihak oposisi sibuk menggelorakan semangat. Bentrokan itu berlangsung enam jam, riuh-rendah dengan gemuruh penonton yang dengan sengit meng-hu-hu polisi, apalagi jika penegak hukum ini menyemprotkan gas air mata ke arah demo. Tidak hanya itu. Dua pengeras suara yang dipasang di puncak gereja tak putus-putusnya meneriakkan slogan antipemerintah, dan mengingatkan peristiwa berdarah Mei 1980, ketika 200 mahasiswa tewas dibantai tentara. "Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air. Apa yang kau takutkan? Bukankah kita dulu bangkit melawan dengan berani ? Ayo maju " begitu pekik seorang gadis lewat mikropon. Mendengar ini, tidak sedikit orang yang teragitasi, dan langsung memungut batu, lalu melemparkannya ke polisi. Bentrokan yang cukup seru juga terjadi di kota-kota kecil: Mokpo, Sunchon, Kangjin, Bosung, Yongan, Damyang, Muan, Haenam, dan Naju. Di distrik Kuro, barat daya Seoul, kerusuhan sudah meletus sejak hari pemilu, antara lain karena mahasiswa memperebutkan kotak suara, sementara tujuh mobil dibakar dan dua mencoba bunuh diri. Sampai awal pekan ini menurut Reuters ada 1.700 orang ditahan -- jumlah yang akan terus bertambah, andai kata mahasiswa ngotot, sementara Presiden Chun Doo-Hwan bersiteguh menjalankan politik tangan besi. Pemerintah sengaja memperketat kontrol keamanan, dengan alasan pemilu sudah berlalu, dan rakyat diimbau untuk menerima hasilnya. Chun mengingatkan bahwa pemilu itu sendiri diselenggarakan sesuai dengan peraturan yang ada -- berarti tidak beralasan kalau rakyat melancarkan aksi protes. Tidak bisa dipungkiri bahwa Chun Doo-Hwan merasa puas dengan kemenangan tokoh yang dicalonkannya: Roh Tae-Woo. Sabtu pagi baru lalu ia menerima calon presiden itu di kediamannya, "Rumah Biru", sedikit di luar Kota Seoul. Dalam kesempatan itu Chun menyatakan akan bekerja sama dengan Roh, sampai serah-terima jabatan dilangsungkan, 25 Februari tahun depan. Pada saat yang sama, kubu oposisi bagaikan dihantui rasa sesal yang tak habis-habisnya. Presiden terpilih Roh Tae-Woo sudah menyerukan tawaran rujuk kepada kedua tokoh oposisi: Kim Young-Sam dan Kim Dae-Jung, namun ditolak mentah-mentah. Dalam upaya meredakan sakit hati massa oposisi, Kim Young-Sam memasang iklan besar di berbagai koran. Dengan judul "Pesan Kepada Rakyat", iklan itu pada dasarnya adalah permintaan maaf dari Kim Young-Sam kepada para pendukungnya. "Kegagalan pencalonan tunggal itu diakibatkan ketidaksopanan saya, maka saya melakukan introspeksi dan minta maaf sebesar-besarnya kepada Anda. Namun, sudah jelas bahwa pemilihan ini tak adil, dan merupakan usaha politik untuk memperpanjang pemerintahan militer ..." Tampaknya, Kim Young-Sam terpukul sekali oleh kekalahan oposisi, hingga pendekatan untuk kerja sama dari Kim Dae Jung ditolaknya. Adapun tokoh oposisi yang disebut terakhir tampak lebih bisa menahan diri. Bagi Kim Dae-Jung, ini adalah kekalahan tragis yang kedua kali, sesudah pada tahun 1971 ia hampir saja berhasil menyisihkan Park Chung-Hee. Menyadari kegalauan di kalangan oposisi, ia cuma mengulang tekad untuk "menjatuhkan pemerintahan militer", satu hal yang ia sendiri pun agaknya sudah tidak yakin lagi bisa terjadi. Satu hal pasti, kemenangan Roh cukup besar -- dengan keunggulan suara 2 juta, dan 90% dari warga negara yang berhak memilih telah menggunakan hak demokrasi itu. Perlu dicatat juga, banyak kemenangan Roh justru diperoleh di lokasi-lokasi yang merupakan daerah basis salah satu Kim. Banyak tuduhan dialamatkan kepada pemerintah atas sukses Roh Tae-Woo, calon Partai Keadilan Demokratik (DJP) yang berhasil mengantungi 37,2% dari suara yang masuk. Mulai dari kecurangan yang dilakukan panitia pemilu -- dianggap terlalu pro-Roh -- sampai terjadinya pembelian suara oleh partai pemerintah. Mulai dari kampanye radio dan TV yang mempengaruhi rakyat hingga surat suara dipakai orang lain atau surat suara diatasnamakan orang yang sudah mati. Bahkan cap untuk surat suara di daerah Cholla (basisnya Kim Dae Jung) begitu buruk mutunya, hingga surat itu dengan mudahnya dinyatakan batal. Namun, masyarakat umumnya menganggap pesta demokrasi itu telah berlangsung tanpa banyak hal yang mesti dicela atau dicurigai. Steven Schneebaum, juru bicara kelompok peninjau dari Amerika, mengatakan, "Kami melihat sejumlah keanehan di beberapa tempat pemungutan suara. Misalnya saja di satu TPS kami menyaksikan kehadiran polisi yang kelewat berlebihan. Di satu TPS lain kami mendapatkan keadaan semrawut, hingga sulit untuk memantaunya. Malahan, di satu tempat penghitungan suara tiba-tiba saja listriknya mati." Tapi ia menyimpulkan, "Kami tidak menganggap itu sebagai pemalsuan yang meluas ke seluruh negeri." Kelompok peninjau lain yang terdiri dari 16 orang staf anggota Kongres AS berpendapat lain. Walaupun tidak secara langsung menuduh adanya kecurangan yang "tersebar luas," Charles Redman, yang menjadi juru bicaranya, menyatakan prihatin atas integritas penyelenggaraan pemilihan yang masih harus dipertanyakan. Kelompoknya, kata Redman, menyaksikan bagaimana seorang anggota penyelenggara TPS dipukuli polisi. Redman menerangkan, anggota kelompoknya sempat mendengar ancaman telepon yang ditujukan kepada seorang calon independen di Kota Taejon. Sedangkan di Pusan, ditemukan kartu-kartu suara palsu. Di Taegu dan Taejon, kelompok Redman berhasil mewawancarai orang-orang yang menerima suap, sebagai imbalan untuk memilih partai pemerintah. Sekalipun begitu, kemenangan Roh lebih banyak disebabkan oleh kekonyolan golongan oposisi sendiri, ketimbang manipulasi seperti yang dituduhkan. Diakui bahwa kecurangan ada. Tapi faktor kecurangan jauh lebih kecil perannya dalam kekalahan kaum oposisi, ketimbang perpecahan di antara kedua Kim. Pokoknya, partai oposisi telah melewatkan kesempatan emas, dalam usahanya mengakhiri pemerintahan militer yang telah berlangsung 26 tahun. Roh Tae-Woo, 55 tahun, dilahirkan di Sinyong, sebuah desa di Provinsi Kyongsang Selatan, sekitar 200 km dari Seoul. Semula ia berambisi menjadi dokter. Namun, pada usia 18, Perang Korea meledak, dan sebagaimana umumnya para pemuda waktu itu, ia masuk militer sukarela. Pada 1952 ia masuk akademi militer dan persahabatannya dengan Chun Doo-Hwan telah mengubah jalan nasibnya. Setamat akademi militer pada tahun 1955, bintangnya naik terus. Ia pernah menjadi komandan batalyon dalam Divisi Macan yang bertempur di Vietnam (1965-1973). Roh pernah pula menjabat komandan garnizun Seoul dan Panglima Kopkamtib. Tapi yang merupakan titik terpenting dalam karier militernya adalah tindakannya mendukung Jenderal Chun Doo-Hwan dalam kudeta 12 Desember 1979, tak lama setelah Presiden Park Chung-Hee mati terbunuh. Berkat hubungan rapatnya dengan Chun, kariernya membubung terus. Pada tahun 1981 ketika pensiun dari dinas militer dengan pangkat jenderal penuh, ia langsung terjun ke bidang politik. Ia pernah diangkat sebagai Menteri Negara Urusan Keamanan dan Hubungan Luar Negeri. Pada tahun 1982 ia menjabat Menteri Olah Raga selama 40 hari saja, dan kemudian menjabat Menteri Dalam Negeri. Tokoh yang pernah menjadi ketua penyelenggara Oimpiade Seoul itu pada tahun 1986 terpilih sebagai Kota Majelis Nasional, mewakili partai pemegang kekuasaan DJP. Tak lama kemudian ia pun menjadi ketuanya, dan pada 10 Juni tahun ini dengan resmi ia ditunjuk sebagai calon presiden dalam pemilihan langsung yang baru saja berakhir. Lalu, bagaimana prospek Roh sebagai Presiden baru? Sebagai orang yang punya segudang pengalaman dalam politik dan intrik, ia telah mengambil langkah yang cocok. Begitu dirinya dinyatakan sebagai pemenang dalam pesta demokrasi itu, ia menyerukan diadakannya dialog antara kaum oposisi dan pemerintah. Ia mengampanyekan pembentukan suatu komisi, yang bertugas mencari jalan untuk rekonsiliasi nasional. Pekerjaan utama yang akan dilakukan komisi beranggotakan 50 orang itu, kata sebuah sumber DJP, antara lain mempelajari masalah-masalah utama dan mencari jalan penyelesaiannya. Perhatian, katanya, akan diutamakan pada peristiwa Kwangju 1980, ketika 200 mahasiswa tewas oleh tindakan kekerasan polisi dan tentara. Roh juga berjanji akan melepaskan tahanan-tahanan politik, termasuk mereka yang dikategorikan sebagai "komunis tulen". Di samping itu, komisi akan membahas berbagai masalah politik, termasuk kebebasan pers dan perubahan konstitusi serta perubahan undang-undang pemilihan anggota DPR, yang akan dilangsungkan Februari tahun depan. "Rakyat telah memilih saya, karena saya menjanjikan stabilitas dan kerukunan nasional. Pemerintah yang akan saya pimpin akan mengutamakan penyelesaian konflik dan konfrontasi. Saya akan mendengarkan pendapat semua orang, termasuk partai oposisi dan pendukung mereka," kata Roh kepada para wartawan, seusai mengumumkan kemenangannya. Tak diragukan lagi, mayoritas rakyat Korea menaruh kepercayaan kepada Roh Tae-Woo, walaupun ada juga yang segan untuk menerima kenyataan itu. Kata-kata In Myung Jin, seorang pengusaha kecil, mencerminkan pendapat mereka yang tadinya mengharap kemenangan oposisi. "Kami kecewa sekali dengan kedua Kim. Syukur, mereka kalah. Sekarang rakyat Korea tak selayaknya mendapat seorang presiden yang persis sama dengan Chun Doo-Hwan. Kalau itu terjadi, buat apa ada pemilihan," kata In. Apa pun yang terjadi, hasil pemilu itu merupakan suatu pukulan telak buat kelompok oposisi. Mereka telah terpecah belah. Sekitar 12 anggota parlemen yang tadinya bernaung di bawah panji kedua Kim menuduh kedua orang itu telah mengorbankan prinsip demi mengejar ambisi pribadi. Ada kabar, golongan oposisi yang kecewa dengan sepak terjang Dae-Jung dan Young-Sam akan memisahkan diri dan mendirikan partai baru. Dalam pada itu, di samping melakukan propaganda untuk rekonsiliasi nasional, pemerintah pun masih meneruskan taktik lama: tidak mentoleransi adanya perlawanan. Jenderal Chun memerintahkan agar semua kerusuhan setelah pemilu ditindas dengan keras. "Pemerintah akan bertindak dengan tegas terhadap semua tindakan melawan hukum dan mengganggu ketertiban yang bisa menyebabkan gangguan atas kehidupan rakyat sehari-hari," begitu ancaman Chun. Menurut sumber tak resmi, lebih dari 30 orang tewas dalam berbagai kerusuhan selama dan setelah pemilu. Dikabarkan sekitar 1.700 orang ditangkap dan dipenjarakan. Mereka banyak yang akan diseret ke muka pengadilan. Sementara ini, dapat disimpulkan, tak akan banyak perubahan terjadi di bawah Roh Tae-Woo. Dengan sedikit variasi, pada dasarnya ia meneruskan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dijalankan Chun Doo Hwan. Tak pelak lagi, keputusan Chun menunjuk Roh didasarkan pada banyak pertimbangan, demi menjaga kesinambungan sistem yang dijalankannya. Tentu ada sedikit "kemajuan." Kemenangan Roh diperoleh dengan cara yang jauh lebih demokratis, ketimbang Chun pada 1979 dulu. Diperkirakan, Roh akan menjalankan kebjaksanaan pisau bermata dua. Di satu pihak ia akan melanjutkan semua yang telah dirintis oleh Chun, tapi di plhak lain ia pun akan memelihara citranya sebagai soko guru demokrasi. Walaupun demikian, kaum oposisi tampaknya takkan menyerah. Golongan mahasiswa sebagal faktor yang paling militan menentang pemerintah, masih akan berjuang terus. Justru inilah yang agaknya mengkhawatirkan. Roh punya latar belakang intelijen yang kuat. Besar kemungkinan, untuk mengendalikan oposisi, Roh akan memanfaatkan badan-badan intel itu. Semuanya atas pertimbangan ancaman komunis, yang merupakan bahaya laten. Seperti dulu, setiap perlawanan terhadap pemerintah akan dicap sebagai agen komunis. Kalau sudah demikian, tindakan apa saja bisa dihalalkan. Para pengamat Korea umumnya beranggapan, berkuasanya Roh Tae-Woo berarti terciptanya kestabilan nasional. Yang akan diuntungkan dengan keadaan ini adalah ekonomi Korea. Sejak ia lepas landas sebagai negara industri, GNP-nya telah melambung 27 kali lipat sejak 1960. Perhitungan Bank Sentral yang baru saja diumumkan memperkirakan, GNP per kapita untuk tahun ini saja akan mencapai US$ 2.817 suatu kenaikan 12,5% dari tahun 1986. Ekspornya tahun ini diperkirakan mencapai US$ 5 milyar, dan tahun depan akan naik 13%. Dalam pada itu, menurut statistik, 60% rakyat Korea merasa dirinya golongan menengah ke atas. Kemenangan Roh memang disambut baik oleh golongan pengusaha. Federasi Pengusaha Nasional, misalnya, menyerukan agar inflasi, terutama sebagai akibat pembiayaan pemilu, dapat dikendalikan. Diharapkan pula agar nilai won dapat stabil terus, di samping itu berusaha untuk menerobos proteksionisme negara-negara industri besar. Penyebaran pembangunan dan hasil-hasilnya secara lebih merata juga dituntut rakyat banyak. Selama ini Chun dikritik keras karena pembangunan ekonomi yang terlalu dipusatkan di kota-kota. Keterbelakangan Provinsi Cholla -- provinsi tempat kelahiran tokoh oposisi Kim Dae-Jung misalnya, merupakan salah satu sebab kepopuleran bekas calon presiden itu. Maka itu, dalam kampanye, Roh Tae Woo selalu mengatakan niatnya untuk membangun daerah pantai barat Korea Selatan. Langkah di atas membawa ke spekulasi bahwa Roh akan membuka hubungan diplomatik dengan Beijing. Langkah-langkah ke arah itu memang cukup beralasan, walaupun sekarang seruan untuk membuka hubungan dengan RRC masih berupa retorik belaka. Tapi perlu diingat, nilai won yang makin menguat terhadap dolar. Selama Januari-September tahun ini saja, nilai won terhadap dolar naik 6,5% dibandingkan dengan tahun lalu. Diperkirakan, pada kuartal pertama tahun muka, nilai won akan naik lagi menjadi 760 sampai 780 per dolar. Dengan demikian, Korea mesti mencari pasar baru bagi produknya. Penduduk Cina yang satu milyar merupakan ladang yang diharapkan bisa dieksploitasi para industriawan Korea. Di samping itu, Korea memerlukan minyak Cina yang konon harganya lebih kompetitif. Memang, ada halangan politis untuk maju ke langkah itu. Misalnya saja hubungan kentalnya dengan Taiwan, yang didasari oleh faktor-faktor ekonomi dan kebencian terhadap komunisme. Tapi, Taipei pun sekarang sedang mencari jalan untuk suatu hubungan ekonomi yang bisa menguntungkan dengan Beijing. Sukses di bidang ekonomi tentu saja mesti diimbangi dengan langkah-langkah ke arah pemberian hak-hak demokrasi kepada rakyat. Seorang ahli politik membagi sejarah Korea dalam tiga periode. Tahun 1960-an merupakan perjuangan untuk survive, sedangkan 1970-an untuk pembangunan ekonomi. Dan 1980-an ditargetkan untuk hak-hak demokrasi. Tapi, bagaimanapun modernnya, masyarakat Korea masih didasarkan pada konfusianisme, di mana faktor-faktor hubungan vertikal masih terasa tebal. Barangkali munculnya pemerintahan Roh, yang biarpun masih punya warna militeristis, masih merupakan satu tahap ke arah sistem demokrasi sejati di negeri itu. Untuk sekarang rakyat Korea tampaknya tak punya pilihan. Mereka mesti menerimanya, dan jelas kelihatan akhir-akhir ini. Suasana di sana sudah beranjak ke arah normal. A. Dahana (Jakarta), Yuli Ismartono & Seiichi Okawa (Seoul)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus