SEBUAH delegasi Congress AS menemui Yasser Arafat di sebuah
kantor PLO di Beirut Barat. Pembicaraan 75 menit di antara
mereka itu menghasilkan sebuah dokumen. Isinya singkat: "Ketua
Arafat menerima resolusi PBB yang berkaitan dengan masalah
Palestina." Di bawah tulisan itu tertera tandatangan Arafat,
dalam tinta hitam, tertanggal 25-7-'82.
Dokumen itu kemudian ramai dibicarakan. Paul N. McCloskey Jr,
salah seorang dari 6 anggota delegasi itu menjelaskan pada
wartawan, "Ketua Arafat telah menandatangani untuk kami
kesediaannya menerima resolusi PBB termasuk hak eksistensi
Israel." Resolusi yang dimaksud adalah resolusi Dewan Keamanan
PBB No. 242 dan 338. Dan dengan penuh semangat McCloskey
berharap agar rekan-rekannya yang lain ikut memberikan
rekomendasi pada Menlu George Shultz agar AS mengadakan
perundingan langsung dengan PLO.
Menurut analisa para pengamat, memang itu yang ditunggu PLO
dalam keadaan terjepit di Beirut Barat sekarang ini. Kontak
langsung AS-PLO diduga akan memudahkan keberangkatan gerilya
Palestina keluar Libanon di samping bisa memperkuat posisi PLO
dalam perundingan Arab-Israel.
Tapi kesediaan Arafat menerima resolusi PBB itu disambut dingin
di AS. Bahkan dokumen itu secara teknis ditafsirkan bahwa
pemimpin PLO itu masih belum eksplisit mengakui Israel.
Jurubicara Gedung Putih Larry Speakes menandaskan AS tidak akan
berunding dengan PLO sampai "penerimaan Arafat atas resolusi DK
PBB 242 dan 338 dinyatakan secara jelas dan nyata." Menurut
penilaiannya sebuah tanda-tangan Arafat saja tidaklah memenuhi
syarat. Katakanlah, tidak resmi.
McCloskey, anggota Republik dari California, sementara itu
mengakui bahwa ia pribadi menafsirkan pernyataan Arafat sebagai
pengakuan PLO atas Israel, cuma tidak spesifik. Ditambahkannya
Arafat memang baru bisa menerima resolusi itu bila satu paket
dengan resolusi PBB yang lain yaitu yang membenarkan hak
Palestina untuk menentukan nasib sendiri, dan hak untuk
membentuk sebuah negara Palestina merdeka.
Tapi bagaimana sebenarnya isi resolusi DK PBB 242 itu? Intinya
begini: Israel harus melepaskan wilayah-wilayah yang telah
direbutnya yaitu Tepi Barat, Jalur Gaza dan Dataran Tinggi Golan
jika negara-negara Arab mengakui hak-hak Israel atas batas-batas
teritorial yang aman. Resolusi ini dicetuskan untuk mengakhiri
Perang Enam Hari tahun 1967 di saat Israel menikmati
kemenangannya yang gilang-gemilang.
Adapun resolusi DK PBB 338 pada dasarnya berisikan himbauan agar
Perang Oktober 1973 segera diakhiri. Dan bunyinya lebih
sederhana, sekedar mendesak pihak-pihak yang terlibat peperangan
untuk "segera melaksanakan resolusi DK PBB 242 dalam segala
seginya."
Dalam kedua resolusi itu, nasib Palestina sama sekali tidak
diperhitungkan. Bisa dimak]umi bila semua tokoh PLO sejak mula
keberatan menerimanya. Memang, pada Agustus 1977 Arafat pernah
mengisyaratkan bahwa ia akan mendukung resolusi 242 jika AS
mengakui Palestina sebagai bangsa dan mengakui hak mereka atas
sebuah tanahair. Jadi tidak semata-mata sebagai pengungsi,
seperti yang disinggung dalam resolusi.
Tapi diplomasi Arafat yang lebih pragmatis ini dulu segera sirna
tanpa dukungan unsur militan dalam PLO. Bahkan Persetujuan Camp
David yang menawarkan satu formula untuk otonomi Palestina tetap
tidak mereka acuhkan.
Usul perdamaian Pangeran Fahd dari Arab Saudi yang dicanangkan
Agustus tahun silam sama intinya: Arab akan mengakui Israel
dengan imbalan sebuah tanahair untuk Palestina. Usul ini pun
kandas di kalangan Arab sendiri.
Sekarang, dengan prakarsa McCloskey keadaan tidak berubah. AS
masih menolak berunding langsung dengan PLO. Sebaliknya, PLO
menolak resolusi 242 kecuali dilengkapi dengan klausul yang
menyangkut penentuan nasib sendiri bagi Palestina. Di pihak
lain, Israel kini tetap menolak berunding dengan PLO dalam
kondisi apa pun dan bagaimanapun juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini