SETIBANYA di bandar udara Don Muang, Bangkok, Menlu Nguyen Co
Thach sudah ditunggu oleh serombongan anti-Vietnam. "Thach, kami
tak suka Anda," teriak para demonstran. Mereka menamakan diri
The People Rightist Club (PRC), yang menuduh Vietnam suka
mencampuri urusan dalam negeri Muangthai dengan melintasi
perbatasan dalam menguber Khmer Merah.
Aksi anti-Vietnam yang digerakkan PRC itu ternyata tidak
mempengaruhi sikap Pemerintah Muangthai terhadap Thach.
Pembicaraan Thach dengan Menlu Muangthai Siddi Savetsila pekan
lalu mengenai soal Kampuchea dikabarkan berlangsung hangat.
Hasilnya? "Lebih dari yang diharapkan," ujar Savetsila, tanpa
memperinci isi pembicaraan mereka. Muangthai adalah negeri
terakhir -- selain Burma, Singapura, dan Malaysia -- yang
dikunjungi Thach dalam muhibah selama dua pekan, dimulai 16
Juni, khusus membicarakan situasi Kampuchea.
Vietnam dikabarkan bersedia menarik mundur sebagian besar
pasukannya dari Kampuchea bila Muangthai mau menghentikan
bantuan kepada Khmer Merah -- gerilyawan Kampuchea yang dipimpin
Khieu Samphan. Tapi "penarikan mundur total pasukan masih akan
tergantung dari ada atau tidaknya ancaman RRC terhadap Indo cina
-- Vietnam, Kampuchea, dan Laos," ujar Thach seperti dituturkan
kembali oleh Menlu Malaysia Tan Sri Chazali Syafei ketika ia
berada di Jakarta minggu lalu.
Waktu menjamu Thach di Kuala Lumpur, Ghazali sempat berpetitih
pada tarnunya. "Ada tiga hal yang patut diketahui tentang
falsafah bangsa kami. Pertama, ilmu bambu. Kedua, ilmu padi.
Ketiga, ilmu durian," kata Ghazali.
Ilmu bambu, menurut Ghazali, mengibaratkan bahwa ASEAN tidak
ingin tumbuh sendiri, tapi hidup sebagai rumpun. Sedang ilmu
padi menunjukkan sikap arif -- makin berisi kian tunduk. Yang
menarik adalah ungkapannya mengenai ilmu durian. "Buah durian
itu akan matang pada saatnya. Pohonnya tak perlu
diguncang-guncang karena buah durian tak akan jatuh sebelum
masak," kata Ghazali.
Maksud Ghazali dengan petitih Melayu itu ialah masalah Kampuchea
tak perlu diselesaikan secara tergesa-gesa, tapi perlu ditunggu
usaha yang dilakukan ASEAN dan koalisi Pangeran Norodom
Sihanouk, Khieu Samphan, dan Son Sann. Usaha itu juga untuk
mencari penyelesaian politik di Kampuchea.
Sampai sekarang, ASEAN masih belum mengakui rezim Heng Samrin
yang bercokol di Phnom Penh sudah hampir tiga tahun dengan
bantuan Vietnam. "Tapi bila tentara Vietnam telah keluar dari
Kampuchea, maka pemerintahan siapa dan bagaimanapun bentuknya
tidak akan menjadi persoalan lagi bagi ASEAN. Asalkan itu
dibentuk oleh rakyat Kampuchea sendiri dan melalui pemilihan
umum," ujar Ghazali.
Hal yang menggembirakan, kata Ghazali, ialah sikap Vietnam
terhadap penyelesaian masalah Kampuchea sudah lebih terbuka
dibanding tahun-tahun sebelumnya. Misalnya, Vietnam pada
prinsipnya menyetujui usul untuk mengajukan kembali soal
Kampuchea ke konperensi internasional. Juga Thach dapat
memahami keprihatinan negara non-Komunis di Asia Tenggara
terhadap kehadiran 150.000 serdadu Vietnam di Kampuchea --
bahkan sudah berjanji akan menarik mereka kembali.
Tapi imbalan yang diminta Thach juga tak kecil. Ia menginginkan
ASEAN membujuk RRC untuk menandatangani perjanjian nonagresi
dengan Vietnam. RRC, menurut Thach, masih membangkitkan
kebencian negara tetangganya terhadap pemerintahan pro-Soviet di
Indocina -- Vietnam, Kampuchea, dan Laos. Itulah sebabnya Thach
secara terus terang menyatakan Hanoi mungkin membuka pintu bagi
Soviet untuk mendirikan pangkalan militer di wilayah Vietnam.
Ancaman RRC, menurut Thach, tidak hanya tertuju pada Vietnam
semata tapi juga pada Burma dan ASEAN Muangthai, Malaysia,
Singapura, Indonesia, dan Filipina. Bukti yang dikemukakan Thach
bahwa hampir selama 30 tahun terakhir negara-negara di Asia
Tenggara telah dirugikan RRC dengan bantuannya pada gerilyawan
Komunis setempat. Tak heran bila ASEAN juga menginginkan Vietnam
yang kuat. Maka berkata pula Ghazali: "Bila Vietnam kuat, maka
negeri itu akan menjadi bumper bagi ASEAN dalam menghadapi
ancaman Cina."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini