SEBELUM terbit fajar, barisan tank Israel melaju ke selatan --
dibantu serangan gencar dari laut dan udara. Jika mereka pekan
silam menembaki markas Yasser Arafat di Fakhani, maka kali ini
sasaran berpindah ke lapangan terbang internasional Beirut.
Lapangan itu dijadikan basis penembakan oleh PLO yang, menurut
Israel, selalu menimbulkan kerugian besar di pihak mereka.
Menhan Israel Ariel Sharon membenarkan pasukannya berhasil
menguasai lapangan terbang itu tapi pemerintahnya tetap berharap
bahwa saluran diplomasi dapat segera menyelesaikan masalah
pengungsian gerilyawan PLO. Pada petangnya, Ahad lalu, gencatan
senjata ke-9 dinyatakan berlaku, diduga untuk dilanggar lagi.
Buktinya, tanpa mengacuhkan opini dunia Israel meningkatkan
pengeboman atas Beirut Barat sejak Idulfitri, 22 Juli. Hari raya
itu sendiri berlalu dalam suasana murung di bagian kota yang
terkepung ini. Banyak keluarga berkumpul di tempat pemakaman,
menangis atau berdoa diam-diam. Seorang wanita separuh baya
jatuh pingsan setelah dengan tabah meletakkan ranting-ranting
kecil di atas gundukan tanah merah, tempat suami dan 2 anak
lelakinya baru saja dikebumikan. Keganasan Israel rupanya tidak
lagi bisa membedakan terhadap nasib seorang ibu dan tampang
keras pejuang PLO.
Tapi Kol. Eli Geva merupakan kekecualian. Ia minta dibebaskan
dari jabatannya (26 Juli) sebagai komandan brigade elite di
Libanon daripada harus melanggar perintah menyerbu Beirut. "Saya
tidak punya keberanian untuk memandang wajah para orang tua dan
mengatakan putra mereka tewas dalam sebuah operasi," kata Geva
seperti dikutip koran Yediot Ahronot.
Eli Geva, 32 tahun, adalah komandan brigade termuda sepanjang
sejarah Israel dan amat berbakat. Ayahnya seorang jenderal dan
saudara lelakinya terluka parah dalam Perang 1S73. Semula Kol.
Geva mendukung penyerbuan ke Libanon, tapi ia mulai ragu-ragu
tatkala Israel mengerahkan seluruh kekuatan militernya untuk
menumpas PLO di Beirut Barat.
Yang tidak kurang mengagumkan, tentu saja, ialah kelihaian
Israel: selalu punya alasan untuk tiap serangan baru yang mereka
lancarkan. Kali ini, kata mereka, Israel bukan meningkatkan
perang tapi justru membalas serangan PLO dan Suriah yang
melanggar gencatan senjata. PLO dituduh menembak penduduk sipil
di Beirut Barat, sedang Suriah dipersalahkan karena sebuah
ledakan yang mengakibatkan 5 tentara Israel tewas. Namun alasan
itu bertambah kuat ketika pesawat tempur jet F-4 Israel
disambar oleh rudal SA-8 milik Suriah di atas Lembah Bekaa. Ini
adalah pesawat jet Israel kedua yang berhasil ditembak jatuh
sejak Operasi Galilea dilancarkan 2 bulan berselang.
Perang ini di luar dugaan Israel berlanjut tak menentu. Sampai
kini Israel sudah menghabiskan lebih dari US$1 milyar. Dan
kebuntuan yang mencekam di Beirut Barat bukan tidak mencemaskan
Tel Aviv. Sementara itu irama perundingan tersendat-sendat,
padahal diplomasi terus diikhtiarkan, di Washington dan di
Beirut.
Presiden AS Ronald Reagan sudah membahas soal pengungsian PLO
dengan Menlu Menlu Saudi Saud al-Faisal dan Menlu Suriah Abdel
Halim Khaddam. Kedua Menlu itu berada di Washington dua pekan
lalu. Philip Habib, juru penengah dari AS, kemudian memperinci
rencana tersebut sebagai berikut PLO pada tahap pertama akan
diberangkatkan ke Tripoli, 25 km di utara Beirut, sementara
35.000 tentara Israel dimundurkan ke Damur, 15 km di selatan
Beirut. Tindak lanjut berikutnya masih akan dirundingkan. Karena
itu Reagan mengutus Habib ke Kairo, Damaskus, Ryadh dan Tel
Aviv, terutama untuk mengkongkritkan penampungan para gerilya.
Pangeran Saud dan Khaddam bersedia menerima PLO di negara
masing-masing jika AS mempercepat perundingan ke arah penentuan
nasib sendiri bagi Palestina. Raja Hussein bersedia menampung
lebih kurang 2.000 gerilyawan asal mereka menerima
kewarganegaraan Yordania. Presiden Husni Mubarak
mempertimbangkan tempat penampungan bagi 3.000 PLO di Mesir
dengan syarat AS sepakat mencarikan sebuah tanah air bagi
mereka. Irak juga sanggup menampung PLO yang pro-Irak. Paling
menonjol adalah kesediaan Presiden Sudan Kol. Nimeiri untuk
menampung semua gerilyawan PLO tanpa syarat. Tapi sebuah sumber
PLO serta-merta menolak goodwill Nimeiri. "Kolonel Nimeiri hanya
melayani para majikan Amerika yang bermaksud menggulung PLO.
Tawarannya kami tolak."
Bertentangan dengan rencana Washington itu, Pemimpin PLO Arafat
konon cenderung mengungsikan pasukannya lewat udara ke Suriah.
Dari sini pasukan PLO itu baru dipencarkan ke seluruh negara
Arab. Pengunduran itu menurut taksiran PLO, makan waktu 1 bulan.
Sementara itu unsur keras dalam PLO bersama Aljazair, Libya,
Suriah dan Yaman Selatan mendesak agar gerilyawan tetap bertahan
di Beirut Barat sampai meletus pertempuran terbuka dengan
Israel. Arafat konon menolak saran tersebut dengan alasan Beirut
bukanlah kota Palestina.
Sementara itu PM Libanon Shafik Wazzan mengancam akan menunda
perundingan bila Israel tidak melepaskan blokade listrik, air,
makanan dan bahan bakar atas Beirut Barat. Dalam siaran televisi
yang dipancarkan ke seluruh negeri, Wazzan menyatakan: "Blokade
itu satu bentuk tindak militer yang meniadakan tindak politik,
sesuatu yang membuat kita bertanya-tanya, apa gunanya
perundingan dilanjutkan." PM Wazzan adalah perantara antara
Arafat dan Philip Habib.
Blokade air dilonggarkan sesudah berlaku 6 hari, sedangkan
blokade listrik tetap berlanjut. Selama itu reservoir air
mengering, sedang air yang berasal dari 150 sumur dinyatakan
tidak layak untuk diminum. Para wanita melakukan antre panjang
pada hari blokade ke-5, di kota terkepung yang berpenduduk « juta
plus 6.000 gerilyawan PLO.
Francois Remy, direktur regional Unicef menyatakan bahwa
sewaktu-waktu wabah penyakit bisa saja berjangkit di sana. DK
PBB akhir pekan silam menyerukan agar Israel mengakhiri blokade
air tersebut sedangkan Presiden Reagan dikabarkan akan
membahasnya dengan Menlu Israel Yitzak Shamir, pekan ini.
Sebuah sumber Libanon menyatakan Israel berketetapan melanjutkan
blokade sebagai tekanan agar PLO segera meninggalkan Beirut.
Namun kalau Arafat ditanya apakah ia akan meninggalkan Libanon,
jawabannya tetap sama, "Saya akan pergi, hanya bila tujuan saya
adalah tanah Palestina."
Protes mengejutkan terhadap blokade Israel ini dipelopori oleh
Istri PM Libanon Shafik Wazzan yang sejak Ahad lalu memulai aksi
mogok makan dengan tekad sampai mati bersama 100 wanita lainnya.
Nyonya Wazzan yang berusia 50 tahun itu berkata ia memutuskan
mogok makan tanpa konsultasi dengan suaminya yang sedang
berunding dengan PLO dan Philip Habib. "Mereka membunuh kami
dengan bom dan blokade," katanya lagi seraya menyerukan agar
semua wanita Beirut mengikuti jejaknya.
Empat hari sebelum aksi Ny. Wazzan, di Washington 3 istri Dubes
Arab untuk AS bersama 5 wanita lain melakukan pula mogok makan
di jalan raya persis berseberangan dengan Gedung Putih. Terutama
mereka memprotes pengepungan Israel di Beirut Barat. Banyak
simpatisan mengunjungi mereka, di antaranya kelompok Yahudi
Washington yang tidak setuju akan penyerbuan Israel ke Libanon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini