Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Syarat mengungsi dari beirut

Beberapa negara mau menampung pasukan plo dengan syarat. plo punya syarat pula. dan israel memblokade listrik, air, makanan dan bahan bakar atas beirut barat. (ln)

7 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBELUM terbit fajar, barisan tank Israel melaju ke selatan -- dibantu serangan gencar dari laut dan udara. Jika mereka pekan silam menembaki markas Yasser Arafat di Fakhani, maka kali ini sasaran berpindah ke lapangan terbang internasional Beirut. Lapangan itu dijadikan basis penembakan oleh PLO yang, menurut Israel, selalu menimbulkan kerugian besar di pihak mereka. Menhan Israel Ariel Sharon membenarkan pasukannya berhasil menguasai lapangan terbang itu tapi pemerintahnya tetap berharap bahwa saluran diplomasi dapat segera menyelesaikan masalah pengungsian gerilyawan PLO. Pada petangnya, Ahad lalu, gencatan senjata ke-9 dinyatakan berlaku, diduga untuk dilanggar lagi. Buktinya, tanpa mengacuhkan opini dunia Israel meningkatkan pengeboman atas Beirut Barat sejak Idulfitri, 22 Juli. Hari raya itu sendiri berlalu dalam suasana murung di bagian kota yang terkepung ini. Banyak keluarga berkumpul di tempat pemakaman, menangis atau berdoa diam-diam. Seorang wanita separuh baya jatuh pingsan setelah dengan tabah meletakkan ranting-ranting kecil di atas gundukan tanah merah, tempat suami dan 2 anak lelakinya baru saja dikebumikan. Keganasan Israel rupanya tidak lagi bisa membedakan terhadap nasib seorang ibu dan tampang keras pejuang PLO. Tapi Kol. Eli Geva merupakan kekecualian. Ia minta dibebaskan dari jabatannya (26 Juli) sebagai komandan brigade elite di Libanon daripada harus melanggar perintah menyerbu Beirut. "Saya tidak punya keberanian untuk memandang wajah para orang tua dan mengatakan putra mereka tewas dalam sebuah operasi," kata Geva seperti dikutip koran Yediot Ahronot. Eli Geva, 32 tahun, adalah komandan brigade termuda sepanjang sejarah Israel dan amat berbakat. Ayahnya seorang jenderal dan saudara lelakinya terluka parah dalam Perang 1S73. Semula Kol. Geva mendukung penyerbuan ke Libanon, tapi ia mulai ragu-ragu tatkala Israel mengerahkan seluruh kekuatan militernya untuk menumpas PLO di Beirut Barat. Yang tidak kurang mengagumkan, tentu saja, ialah kelihaian Israel: selalu punya alasan untuk tiap serangan baru yang mereka lancarkan. Kali ini, kata mereka, Israel bukan meningkatkan perang tapi justru membalas serangan PLO dan Suriah yang melanggar gencatan senjata. PLO dituduh menembak penduduk sipil di Beirut Barat, sedang Suriah dipersalahkan karena sebuah ledakan yang mengakibatkan 5 tentara Israel tewas. Namun alasan itu bertambah kuat ketika pesawat tempur jet F-4 Israel disambar oleh rudal SA-8 milik Suriah di atas Lembah Bekaa. Ini adalah pesawat jet Israel kedua yang berhasil ditembak jatuh sejak Operasi Galilea dilancarkan 2 bulan berselang. Perang ini di luar dugaan Israel berlanjut tak menentu. Sampai kini Israel sudah menghabiskan lebih dari US$1 milyar. Dan kebuntuan yang mencekam di Beirut Barat bukan tidak mencemaskan Tel Aviv. Sementara itu irama perundingan tersendat-sendat, padahal diplomasi terus diikhtiarkan, di Washington dan di Beirut. Presiden AS Ronald Reagan sudah membahas soal pengungsian PLO dengan Menlu Menlu Saudi Saud al-Faisal dan Menlu Suriah Abdel Halim Khaddam. Kedua Menlu itu berada di Washington dua pekan lalu. Philip Habib, juru penengah dari AS, kemudian memperinci rencana tersebut sebagai berikut PLO pada tahap pertama akan diberangkatkan ke Tripoli, 25 km di utara Beirut, sementara 35.000 tentara Israel dimundurkan ke Damur, 15 km di selatan Beirut. Tindak lanjut berikutnya masih akan dirundingkan. Karena itu Reagan mengutus Habib ke Kairo, Damaskus, Ryadh dan Tel Aviv, terutama untuk mengkongkritkan penampungan para gerilya. Pangeran Saud dan Khaddam bersedia menerima PLO di negara masing-masing jika AS mempercepat perundingan ke arah penentuan nasib sendiri bagi Palestina. Raja Hussein bersedia menampung lebih kurang 2.000 gerilyawan asal mereka menerima kewarganegaraan Yordania. Presiden Husni Mubarak mempertimbangkan tempat penampungan bagi 3.000 PLO di Mesir dengan syarat AS sepakat mencarikan sebuah tanah air bagi mereka. Irak juga sanggup menampung PLO yang pro-Irak. Paling menonjol adalah kesediaan Presiden Sudan Kol. Nimeiri untuk menampung semua gerilyawan PLO tanpa syarat. Tapi sebuah sumber PLO serta-merta menolak goodwill Nimeiri. "Kolonel Nimeiri hanya melayani para majikan Amerika yang bermaksud menggulung PLO. Tawarannya kami tolak." Bertentangan dengan rencana Washington itu, Pemimpin PLO Arafat konon cenderung mengungsikan pasukannya lewat udara ke Suriah. Dari sini pasukan PLO itu baru dipencarkan ke seluruh negara Arab. Pengunduran itu menurut taksiran PLO, makan waktu 1 bulan. Sementara itu unsur keras dalam PLO bersama Aljazair, Libya, Suriah dan Yaman Selatan mendesak agar gerilyawan tetap bertahan di Beirut Barat sampai meletus pertempuran terbuka dengan Israel. Arafat konon menolak saran tersebut dengan alasan Beirut bukanlah kota Palestina. Sementara itu PM Libanon Shafik Wazzan mengancam akan menunda perundingan bila Israel tidak melepaskan blokade listrik, air, makanan dan bahan bakar atas Beirut Barat. Dalam siaran televisi yang dipancarkan ke seluruh negeri, Wazzan menyatakan: "Blokade itu satu bentuk tindak militer yang meniadakan tindak politik, sesuatu yang membuat kita bertanya-tanya, apa gunanya perundingan dilanjutkan." PM Wazzan adalah perantara antara Arafat dan Philip Habib. Blokade air dilonggarkan sesudah berlaku 6 hari, sedangkan blokade listrik tetap berlanjut. Selama itu reservoir air mengering, sedang air yang berasal dari 150 sumur dinyatakan tidak layak untuk diminum. Para wanita melakukan antre panjang pada hari blokade ke-5, di kota terkepung yang berpenduduk « juta plus 6.000 gerilyawan PLO. Francois Remy, direktur regional Unicef menyatakan bahwa sewaktu-waktu wabah penyakit bisa saja berjangkit di sana. DK PBB akhir pekan silam menyerukan agar Israel mengakhiri blokade air tersebut sedangkan Presiden Reagan dikabarkan akan membahasnya dengan Menlu Israel Yitzak Shamir, pekan ini. Sebuah sumber Libanon menyatakan Israel berketetapan melanjutkan blokade sebagai tekanan agar PLO segera meninggalkan Beirut. Namun kalau Arafat ditanya apakah ia akan meninggalkan Libanon, jawabannya tetap sama, "Saya akan pergi, hanya bila tujuan saya adalah tanah Palestina." Protes mengejutkan terhadap blokade Israel ini dipelopori oleh Istri PM Libanon Shafik Wazzan yang sejak Ahad lalu memulai aksi mogok makan dengan tekad sampai mati bersama 100 wanita lainnya. Nyonya Wazzan yang berusia 50 tahun itu berkata ia memutuskan mogok makan tanpa konsultasi dengan suaminya yang sedang berunding dengan PLO dan Philip Habib. "Mereka membunuh kami dengan bom dan blokade," katanya lagi seraya menyerukan agar semua wanita Beirut mengikuti jejaknya. Empat hari sebelum aksi Ny. Wazzan, di Washington 3 istri Dubes Arab untuk AS bersama 5 wanita lain melakukan pula mogok makan di jalan raya persis berseberangan dengan Gedung Putih. Terutama mereka memprotes pengepungan Israel di Beirut Barat. Banyak simpatisan mengunjungi mereka, di antaranya kelompok Yahudi Washington yang tidak setuju akan penyerbuan Israel ke Libanon.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus