SEBUAH berita kecil tentang kejadian cukup aneh di pekarangan gedung parlemen Muangthai dilaporkan oleh harian berbahasa Inggris The Nation Review, Bangkok, edisi Rabu pekan lalu. Di suatu pagi sekelompok burung gagak tiba-tiba saja menyerang seekor burung hantu. Selama seperempat jam burung hantu itu berusaha mempertahankan diri. Tapi burung hantu kalah, lalu berlindung di bawah atap. Kemudian gagak-gagak itu pun melarikan diri. Seorang satpam gedung yang kebetulan menyaksikan kejadian itu mengatakan, "Entah apa artinya itu, tapi kejadian ini pers sama terjadi pada 1986. sebelum Jenderal Prem membubarkan parlemen." Aneh, Perdana Menteri Jenderal Prem Tinsulanonda, 68 tahun, dua hari kemudian benar-benar membubarkan parlemen. Keputusan yang telah mendapat persetujuan raja itu diumumkan sendiri oleh Prem lewat radio Jumat pekan lalu, pukul 7 malam. Ia menetapkan juga pemilu baru akan diadakan pada 14 Juli yang akan datang. Di samping yang gaib - kalau Anda percaya itu - dalam beberapa bulan terakhir ini muncul beberapa pertanda tentang akan terjadinya krisis politik di Negeri Gajah Putih ini. Tanda pertama adalah keretakan yang makin mendalam di kalangan Partai Demokrat, partai terbesar dalam koalisi yang menyokong Prem. Sementara itu, partai-partai oposisi pun sudah bersumpah untuk menjatuhkan kabinet. Tahun silam partai-partai penentang Prem pernah mengajukan mosi tidak percaya, tapi gagal. Tahun ini mereka berusaha lagi. Menurut para pengamat politik, inilah yang menyebabkan Prem mundur atau membubarkan parlemen. Sebab, bila awal bulan lalu partaipartai oposisi mengulangi lagi seruannya untuk sebuah mosi tidak percaya, ada dukungan yang dulu tak mereka peroleh. Yakni kelompok pembelot dari Partai Demokrat yang dipimpin oleh Wakil PM Bichai Rattakul. Selain mosi tak percaya, pihak oposisi juga mengancam Prem lewat penolakan mereka atas amandemen UU hak cipta. Seperti negara-negara ASEAN lain, Muangthai juga menerima ultimatum dari Amerika Serikat agar memberlakukan UU hak cipta. Kalau tidak, hak untuk mendapat perlakuan istimewa dalam ekspornya (GSP) akan dibatalkan. Menghadapi suasana yang mengancam ekspornya itu, Prem akhirnya berusaha untuk memberlakukan amandemen tersebut. Sementara itu, menurut pihak oposisi, UU hak cipta akan merugikan para pengusaha Muangthai sendiri. Pihak oposisi minta, terutama dalam hal hak cipta perangkat lunak komputer - di Muangthai kabarnya perangkat lunak yang dipakai merupakan hasil bajakan dari Amerika - tak dimasukkan ke dalam UU tersebut. Tuntutan oposisi itu sebenarnya khas persoalan negara berkembang (lihat Ekonomi Bisnis). Bahwa pihak Oposisi terkesan menggunakan apa saja asal bisa menggeser Prem, itu terkesan dari munculnya serangan yang bersifat lebih pribadi. Senin pekan lalu Chalern Yubamrung, ketua partai oposisi Muan Chon, menuduh Prem memiliki rumah-rumah mewah di Bangkok, Chiang Mai, dan orat. Chalern pun menuduh Prem seorang homoseksual. Ketua partai oposisi itu menjanjikan bukti-bukti pada 9 Mei pekan depan, hari debat mosi. "Selain foto-foto, ada dua perwira muda angkatan darat yang bersedia menjadi saksi bahwa perdana menteri kita berkelakuan aneh," kata Chalern pula. "Orang seperti itu harus berani mengundurkan diri." Muncul pula berita yang merugikan nama Prem. Sehari sebelum UU hak cipta diperdebatkan, beberapa anggota parlemen - termasuk Boonthen Thongsawasdi, ketua partai UDP - mengatakan bahwa mereka telah ditawari kedudukan dalam kabinet. Juga uang sejumlah 500.000 baht (sekitar Rp 33 juta) asal mau menggagalkan mosi tak percaya. Ketika pemungutan suara tentang UU hak cipta dilangsungkan pada 28 April, ternyata partai Prem menang dengan perbandingan 183 lawan 134. Amandemen diberlakukan, meski 35 anggota Partai Demokrat membelot. Keesokan harinya, 29 April pukul 10 pagi, suatu delegasi tiga orang dari Partai Demokrat menghadap Prem. Mereka menyerahkan surat pengunduran diri 16 menteri termasuk Bichai Rattakul yang menjabat wakil perdana menteri. Alasannya karena pimpinan partai tak dapat lain menguasai anggota-anggotanya, sehingga meng ganggu kelancaran kerja kabinet koalisi tersebut. Kata Prem waktu itu, "Mai mi panha. " Artinya, tak ada masalah. "Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya," kata Prem lagi. Namun, apa yang dikhawatirkan sungguh-sungguh terjadi, dan parlemen pun bubarlah. Kini status kabinet adalah demisioner sampai pemilu mendatang. Kursi menteri-menteri kosong, roda kementerian akan dijalankan oleh para anggota koalisi yang masih setia. Beberapa kementerian akan dipegang oleh Prem sendiri. Sementara itu, ada dua perkembangan penting di Muangthai dengan bubarnya parlemen. Amandemen hak cipta, setelah dengan susah payah diperdebatkan, ternyata tak jadi diberlakukan. Perdebatan harus diulang sekali lagi dalam parlemen baru tahun depan, lantaran itu belum secara resmi disetujui parlemen dan raja. Kedua, mosi tak percaya terhadap Prem otomatis batal juga, sementara parlemen sudah telanjur bubar. Adapun alasan Prem membubarkan parlemen sederhana dan singkat. "Karena banyaknya anggota salah satu partai koalisi yang membelot, kelancaran pemerintahan terganggu. Kami khawatir usaha-usaha dalam parlemen akan mengalami nasib serupa apabila suasana tidak berubah." Namun, para pengamat politik di Bangkok menduga, langkah Prem itu sebagai suatu strategi mengelakkan mosi tak percaya yang dijadwalkan pada 9 Mei mendatang. Likhit Dheravegin, pakar ilmu politik dari Universitas Thammasat, mengatakan bahwa konfrontasi bukan gaya politik Prem. "Dengan pembubaran perlemen itu, Prem berhasil menghindarkan konfrontasi yang bisa membuka segala macam kelemahannya," tutur Likhit. Lain dari itu - masih menurut Likhit - dengan membubarkan parlemen, Prem sekaligus mencegah Pangab Chavalit Yongchaiyudh, yang berniat mengundurkan diri awal Mei ini, bergabung dengan oposisi. Sudah lama Chavalit menyuarakan niatnya untuk mengundurkan diri setelah dua tahun menjadi Pangab. Sebelum membubarkan parlemen, Prem memberi perintah kepada menteri pertahanan supaya menolak permintaan pengunduran diri Chavalit. "Jenderal Chavalit adalah orang yang berkemampuan tinggi dan punya tekad untuk memodernisasikan angkatan bersenjata," kata Prem. "Karena itu, kehadirannya dalam militer masih sangat diperlukan." Tapi bukan rahasia lagi bahwa Chavalit yang jadi orang sipil akan merupakan ancaman serius bagi Prem. Sudah lama ia mencita-citakan untuk pada suatu hari menjadi administrator tertinggi. Tambahan lagi, beberapa partai telah dengan terang-terangan mengajaknya masuk partai mereka. Juga sudah menjadi tradisi di Muangthai, kedudukan Pangab merupakan batu loncatan untuk menjadi perdana menteri. Prem sendiri, yang jenderal pensiunan, pernah menduduki kursi itu (Senin pekan im berita dari Bangkok mengatakan bahwa pengunduran diri Chavalit telah ditolak). Pembubaran parlemen terakhir ini merupakan peristiwa yang ketiga kalinya dalam masa pemerintahan Prem yang telah berlansung delapan tahun. Pada 19 Maret 1983 perdana menteri membubarkan parlemen lantaran badan perwakilan itu tak berhasil mengegolkan suatu RUU yang membolehkan anggota militer tetap memegang jabatannya sementara duduk di parlemen. Pada 1 Mei 1986 terjadi lagi peristiwa yang sama, walaupun alasannya amat lemah. Alasan itu adalah kekalahan pemerintah dalam soal kenaikan harga minyak diesel dan kendaraan elpiji. Dengan membubarkan DPR, Prem berhasil mengelakkan konfrontasi dengan Jendral Arthit Kamlang-ek dan perpecaban dalam SAP, partai yang berkuasa pada waktu itu. Untuk sementara, Prem berhasil dengan manuver politiknya. Tapi akankah ia menang Juli mendatang? Akankah terjadi seperti dua pemilu yang lalu, meski partai lain yang menang, Prem juga yang dipercaya untuk menjadi perdana menteri? A. Dahana (Jakarta) & Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini