BIOSKOP membuka pintu selebar-lebarnya untuk penonton yang melimpahruah, musik bergaung, rumah cukur penuh sesak dengan pria yang ingin membuang jenggotnya, dan burqah disingkap memperlihatkan cahaya kebebasan. Untuk sementara, seluruh wilayah Afganistan berpesta karena kemenangan oposisi yang didukung Amerika Serikat. Menurut Jamil Mathar, pakar dari Lembaga Politik dan Strategi Al-Ahram, Kairo, Mesir, hal ini karena warga Afgan sudah letih dengan aturan Taliban yang keras dan kaku. Namun, ia menyebut rakyat Afgan harus hati-hati karena kemenangan Aliansi Utara jelas-jelas ditumpangi kelompok bandit bersenjata.
Di masa lalu, sebelum Taliban berkuasa, Afganistan, yang dalam keadaan kacau, dikuasai oleh para pemimpin etnis yang lazim menarik upeti dan pajak. Siapa saja kelompok lokal ini? Sukar untuk disebut satu per satu karena jumlahnya belasan ribu. Kelompok yang berkumpul atas dasar kesukuan ini rata-rata punya serdadu tak lebih dari seratus orang. Namun, ada juga yang punya prajurit ribuan orang. Di Kandahar, misalnya, ada kelompok Amir Lalai, Mansur Achakzai, dan Arif Khan, di Hazarajat ada Abdul Karim Khalili, sementara di Wardak ada Shir Takana.
Saat Taliban berkuasa, tradisi penarikan upeti dan pajak di wilayah yang dimiliki secara turun-temurun oleh kelompok ini berhenti. Padahal itu adalah sumber penghasilan utama. Kini, setelah Taliban dipukul mundur oleh pasukan Aliansi Utara, kelompok-kelompok lokal tersebut bergegas merebut wilayah mereka kembali. Menurut Maria Sultan, peneliti senior di Institut Strategi di Islamabad, Pakistan, motif pergerakan ini bukan ideologi. Jamil Mathar punya pendapat serupa. "Jika mereka anti-Taliban, atau pernah ditekan, mengapa tidak sejak awal menyatakan dukungan terhadap Aliansi Utara? Mengapa baru bergerak setelah Taliban mulai terpukul?" ujar Jamil.
Reputasi para komandan lokal ini memang cukup buruk. Dulu, saat Taliban yang kekuatannya lebih besar muncul, banyak yang rela menyerahkan wilayahnya dengan imbalan uang karena tak sanggup melawan. Maria Sultan mencontohkan kasus Haji Abdul Qadir, bekas Gubernur Nangarhar, yang menyerahkan jabatannya setelah Taliban menyogoknya via Pakistan dengan uang US$ 5 juta. Kasus serupa terjadi saat Taliban menaklukkan Kandahar. Penguasa lokal saat itu, Jenderal Muhammad Naqib, menyerah bersama 2.500 prajuritnya setelah dibayar US$ 2 juta.
Karena kekalahan para komandan lokal itu akibat penyuapan Taliban, tak aneh bila mereka tak memiliki kesetiaan kepada kelompok militan ini. Di sisi lain, kesepakatan Loya Jirga—dewan yang ingin mempersatukan semua etnis itu—bukan barang suci di mata mereka. Menurut Muhammad Zaman Khan, pensiunan kolonel Angkatan Udara Pakistan yang kini bekerja di dinas intelijen, hal inilah yang menyebabkan situasi termutakhir di Afganistan tak menentu. Komandan lokal asal etnis Pashtun umumnya mendukung Loya Jirga karena mereka akan diuntungkan. Sedangkan kelompok asal etnis Tajik, Uzbek, dan Hazara mulai melanggarnya. Aliansi Utara sudah memberi contoh dengan melangkah masuk ke Kabul tanpa mengindahkan kesepakatan yang dibuat di Roma satu bulan sebelumnya.
Situasi tak menentu inilah yang membuat warga Afganistan di perantauan mempunyai sikap yang beragam. Yang memiliki pengalaman baik saat hidup di bawah para panglima perang umumnya menyambut gembira perkembangan terbaru di negaranya. Burhanuddin Durrani, penjaga toko babut di Peshawar, bercerita bahwa dirinya memang dikenai pungutan keamanan saat dulu tinggal di Herat, Afganistan Barat. Sebagian hasil panen gandum dan keuntungannya berdagang pakaian itu diserahkan kepada kelompok Ismail Khan. Dengan begini, keamanannya terjamin. "Bila ada kelompok bersenjata dari daerah lain mengganggu saya, pasukan Ismail Khan akan menumpasnya," kata Burhanuddin.
Pengalaman Yusufzai dari Kandahar berbeda jurusan. Pria yang kini punya kios internet di Nowshera, 137 kilometer dari Islamabad, itu mengaku masih trauma dengan perilaku brutal kelompok Komandan Achakzai yang menguasai jalan Spin Boldak-Kandahar. Menurut Yusufzai, sang Komandan tak segan-segan menembak mati orang di daerahnya yang tak membayar pajak. Bahkan pemerkosaan juga sering dilakukan di muka umum. "Tujuh tahun lalu, saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri bagaimana orang-orang Komandan Achakzai menembak para pelintas wilayahnya yang tak mau memberikan separuh barang dagangan mereka," kata Yusufzai. Karena itu, Yusufzai menyesalkan kemunduran Taliban. Ia menganggap Taliban telah menciptakan keamanan dan kedamaian di Afganistan.
Hazrat Umar, warga Kabul yang kini menetap di Karachi, juga memuji Taliban. Hazrat jeri terhadap kelompok Jenderal Dostum dan Jenderal Fahim. Hazrat menceritakan bagaimana ia lari dari Kabul karena tak tahan dengan perilaku serdadu dua kelompok tersebut. "Mereka memang kejam, seenaknya merampas harta orang lain. Jangankan kepada kami yang Pashtun, kepada anak buah mereka sendiri saja sering zalim," ujar Hazrat.
Menurut Jamil Mathar, tampaknya, selama kelompok-kelompok lokal ini masih diperlukan Amerika—untuk mencari tempat persembunyian Usamah bin Ladin—rakyat Afgan tak perlu terlalu khawatir. Soalnya, AS akan menyediakan cukup uang bagi kelompok-kelompok ini. Namun, bila suatu hari Amerika tak sudi mengurusi tetek-bengek sehari-hari—misalnya Usamah sudah tertangkap dan Al-Qaidah sudah tamat riwayatnya—terbayanglah negeri yang gelap. Perang antarkelompok dengan motif uang akan kembali pecah. Dan yang menjadi korban utama pertikaian semacam ini lagi-lagi rakyat Afganistan sendiri.
Yusi A. Pareanom, Halim Mahaly (Pakistan), Zuhaid El-Qudsy (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini