Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Rongsokan yang Merepotkan

Pertamina kesulitan membongkar ratusan anjungan bekas di lepas pantai. Mengganggu keselamatan pelayaran dan lingkungan.

25 November 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDAPAT hibah, Pertamina malah kerepotan. Padahal hibah itu bernilai ratusan miliar rupiah. Barang yang dihibahkan itu seluas lapangan sepak bola dan tingginya bisa mengalahkan Monumen Nasional. Hibah dari 12 perusahaan minyak dalam dan luar negeri itu berupa anjungan minyak lepas pantai bekas pakai. Pertamina angkat tangan karena biaya membongkar rongsokan besi seberat ribuan ton itu sangat besar. Tapi, kalau dibiarkan, besi tua di tengah samudra itu menyalahi aturan internasional karena mengganggu jalur pelayaran. Belum lagi jika terjadi bencana. Bisa-bisa anjungan roboh, lalu sumur bocor, dan minyak merembes keluar mencemari laut lepas. Maka, beberapa waktu lalu, Pertamina menggelar seminar membahas nasib anjungan bekas ini. Dalam seminar yang berlangsung di Surabaya itu, selain pengusaha perminyakan, hadir pula para praktisi hukum. Pertamina bermaksud mencari masukan cara pembongkaran yang gampang dan murah serta mencari kejelasan aturan mainnya. Menurut data yang dimiliki Pertamina, ada 12 anjungan yang tak lagi terpakai. Sedangkan tujuh lainnya sudah dibongkar sebagian. Saat ini di perairan Indonesia terdapat 470 anjungan—300 di antaranya di Laut Jawa, sementara sisanya di Kalimantan Timur, Selat Malaka, serta Laut Natuna. Dalam beberapa tahun mendatang, anjungan-anjungan itu habis masa pakainya dan akan menjadi besi tua. Untuk membongkar satu anjungan dibutuhkan biaya US$ 3-7 juta. Jika semua yang apkir hendak dibongkar, Pertamina memperkirakan perlu biaya hingga US$ 1 miliar. Anjungan bekas di samudra juga menjadi masalah dunia. Diperkirakan terdapat sekitar 10 ribu anjungan lepas pantai di seluruh dunia. Besi rongsokan ini menjadi ranjau bagi pe-layaran kapal besar. Apalagi, saat Perang Dingin, banyak negara yang menuntut semua anjungan dibongkar agar kapal selam mereka tak nyangkut di sana. Pada 1958, dalam Konvensi Jenewa, yang mengatur Landas Kontinen, disepakati semua anjungan yang tidak beroperasi harus dibongkar total. Menurut Sudariyono, Kepala Pusat Pengendalian Kerusakan Ekosistem Pesisir dan Laut di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), anjungan bekas di Indonesia harus diberi tanda dan didaftarkan untuk dimasukkan ke peta laut Indonesia. Selain itu, Bapedal khawatir terhadap kemungkinan adanya kebocoran sumur minyak. Namun, jika terjadi kecelakaan, "Pertaminalah yang bertanggung jawab," kata Sudariyono. Masalah eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1974. Pemilik anjungan wajib memindahkan atau membongkarnya jika sudah berhenti beroperasi. Masalahnya, secara yuridis, seluruh aset yang berada di wilayah perairan Indonesia menjadi milik pemerintah Indonesia. Artinya, pemerintah melalui Pertamina merupakan pemilik anjungan pasca-operasi itu. Seperti dituturkan Santi Manuhutu, Manajer Humas Conoco, definisi "operasi perminyakan" hanya kegiatan eksplorasi, pengembangan, ekstraksi, produksi, transportasi, dan niaga, tidak termasuk membongkar atau memindahkan anjungan. Perusahaan minyak dari Amerika Serikat itu sudah menghibahkan dua anjungannya yang terdapat di Laut Natuna kepada Pertamina. "Kami (Conoco) konsisten tidak mengambil hak dan aset Pertamina," kata Santi. "Makanya kita sebut platform (anjungan) itu adalah aset yang membebani negara," kata Sunoto Murbini, Manajer Konstruksi Direktorat Management Production Sharing Pertamina. Namun, setelah 1994, dalam setiap kontrak karya, Pertamina mewajibkan perusahaan pengebor bertanggung jawab membongkar anjungan. "Ini salah Pertamina juga," kata pengamat hukum kelautan internasional, Prof. Hasjim Djalal. Pada awalnya Pertamina berharap sisa-sisa sumur yang ditinggalkan masih bisa dikorek-korek. Ternyata biaya operasi dan hasilnya tak sepadan. "Anjungan bekas itu kan masih bisa dipakai di lokasi lain atau, kalau perlu, dijual saja ke luar negeri," kata Hasjim. Berdasarkan perhitungan Lukman Arief, Construction Project Engineer Repsol YPF Maxus, memindahkan anjungan lama bukanlah hal yang susah. Lukman menghitung, pembangunan anjungan baru diperkirakan menelan biaya US$ 12 juta atau sekitar Rp 120 miliar. Nah, dengan anjungan bekas, biayanya hanya sepertiganya. Pilihan lain, pemerhati lingkungan hidup P.L. Coutrier menyarankan agar anjungan bekas itu dibenamkan saja. "Biarkan jadi karang buatan," kata Coutrier, yang juga menjadi Ketua Asosiasi Tambang Indonesia. Namun, kalau Pertamina masih bingung juga mencari solusinya, Asosiasi Pedagang Logam Tua Indonesia (Apelti) siap mengatasinya. Menurut Ketua Umum Apelti Surabaya, H. Muhammad, pihaknya sanggup membongkar dengan biaya hanya separuhnya. "Kami pasti untung dan laut pasti bersih," kata pengusaha asal Madura itu sambil mesem. Agung Rulianto, Ardi Bramantyo, Rommy Fibri, Adi Mawardi (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus