TEPAT di akhir tahun lalu, terlihat lebih banyak iringan truk bermuatan kayu gelondongan masuk ke Borai, Thailand, dari Kamboja. Itu adalah hari terakhir ekspor resmi kayu gelondongan dari Kamboja. November lalu, atas dasar kesepakatan Dewan Tertinggi Nasional Kamboja dan DK PBB, dijatuhkan sanksi ekonomi terhadap Khmer Merah. Ekspor kayu adalah salah satu perdagangan besar Khmer Merah dengan Thailand. Sanksi itu, bagi SNC, dimaksudkan untuk menyelamatkan hutan Kamboja yang dijual habis-habisan oleh gerilyawan Khmer Merah kepada pengusaha Thailand. Menurut Pangeran Norodom Ranaridh, dari seluruh hutan Kamboja yang ada tahun 1972 kini tinggal sekitar 60%. Di sisi lain DK PBB dengan sanksi itu mencoba mendesak Khmer Merah mematuhi kesepakatan Paris. Soalnya, Khmer Merah, yang menguasai perbatasan Kamboja-Thailand, berkeras tak mau menyerahkan senjata dan tak mau ikut pemilu. Dan ancaman Khmer Merah tak hanya sekadar gertak-sambal. Pada hari pertama sanksi ekonomi mereka menyerang salah satu markas tentara PBB di Provinsi Siem Reap. Empat puluh lima tentara PBB dan beberapa petugas sipil terpaksa diungsikan dengan menggunakan helikopter. Serangan itu konon merupakan reaksi atas diberlakukannya sanksi ekonomi. Beberapa pengamat berpendapat bahwa sanksi ekonomi itu tak akan berjalan seperti diharapkan. Yakni, Khmer Merah kehilanghan sumber dana, dan sebelum 31 Januari Khmer Merah bersedia mematuhi Perjanjian Paris. Sejak awal mereka sudah menegaskan tidak akan ada pos pemeriksaan PBB di wilayah mereka. Dan sampai pekan lalu masih terlihat beberapa truk yang masih membawa kayu gelondongan dari wilayah Kamboja masuk ke Thailand. Bahkan sebuah surat kabar di Bangkok memuat foto truk yang membawa kayu gelondongan itu. Sedangkan pasukan PBB, kalaupun berhasil menangkap basah terjadinya lalu lintas kayu gelondongan dan bahan bakar, tetap tak punya wewenang untuk menangkap. ''Yang dilakukan hanya mencatat nomor kendaraan, jumlah kayu gelondongan, dan nama perusahaannya. Semua temuan itu dilaporkan ke markas UNTAC,'' kata seorang perwira Indonesia yang bertugas di Kamboja. Tapi bukan soal mudah memantau ada perdagangan atau tidak. Pemerintah Thailand menolak adanya pos pemeriksaan PBB di wilayah mereka. Meski Perdana Menteri Thailand Chun Leekpai mendukung sanksi ekonomi itu dan telah menutup 27 pos lintas batas di sepanjang perbatasan Thailand dan Kamboja. Ia juga memerintahkan pendirian 17 pos pemeriksaan baru untuk mencegah lalu lintas kayu gelondongan dan bahan bakar. Masalahnya, seberapa efektif 17 pos pemeriksaan itu. Sudah diketahui bahwa dari perdagangan itu pengusaha Thailand-lah yang paling banyak mendapat untung. Diduga, rata-rata per tahun pengusaha Thailand untung dua milyar baht atau sekitar Rp 160 milyar dari berdagang dengan Khmer Merah. Di samping itu bisnis itu menampung sekitar 3.000 pekerja industri kayu. Dan diduga banyak perusahaan kayu Thailand, yang didukung oleh kelompok militer, tak begitu saja mematuhi sanksi itu. Seandainya pun pihak pemerintah Thailand mematuhi sanksi Dewan Keamanan PBB, belum tentu Khmer Merah lalu bersikap kompromistis. Justru sebaliknya yang mungkin terjadi. Sebab, kalau dokumen yang beberapa waktu lalu ditemukan benar adanya, Khmer Merah belum melepaskan cita-cita berkuasa kembali di Kamboja. Dengan kalimat lain, perang lebih mungkin terjadi lagi di Kamboja daripada berjalannya Perjanjian Paris, misalnya diadakannya pemilu. LPS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini