Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Khotbah Hasutan dari Atas Bukit

Biksu Ashin Wirathu menjadi buron setelah pidatonya menyentil pemerintah Myanmar. Populer sebagai penebar ujaran kebencian terhadap kaum muslim.

15 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Khotbah Hasutan dari Atas Bukit/REUTERS/Dinuka Liyanawatte

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kawasan perbukitan Myeik, kota paling selatan Myanmar di tepi Laut Andaman, biksu kontroversial Ashin Wirathu berkhotbah di tengah massa yang sedang berunjuk rasa, 5 April lalu. Mereka menolak amendemen pasal 59 huruf f konstitusi yang melarang orang Myanmar yang menikah dengan orang asing menjadi presiden—pasal yang selama ini menjegal langkah Aung San Suu Kyi untuk memimpin negeri itu.

“(Suu Kyi) hanya tahu bagaimana berpupur, berdandan, dan berjalan de--ngan sepatu hak tinggi. Apalagi dia suka berlenggak-lenggok bila melihat orang asing,” kata Wirathu. “Negeri ini akan han-cur. Negeri ini akan hancur seperti ramalan Jenderal (Aung San).” Jenderal Aung San, ayah Suu Kyi, adalah bapak bangsa negeri itu dan pernah berseru bahwa rakyatnya ha--rus bekerja keras kalau tidak mau menjadi pelacur.

Wirathu menuduh pemerintah Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar, men-jegal upaya militer melindungi negara ber-penduduk mayoritas penganut Bud-dha itu dari serangan kaum muslim. Ia bah-kan menuding rezim sipil Myanmar didanai pihak asing dan seorang anggota pemerintah “tidur dengan orang asing”.

Suu Kyi memang menikah dengan aka-demikus Inggris, Michael Aris, yang meninggal karena kanker pada 1999. Saat itu Suu Kyi dikenai tahanan rumah oleh junta militer, yang menguasai negara ter-sebut selama hampir setengah abad. Kons-titusi mengganjal langkah Suu Kyi menjadi presiden karena ia pernah menikah de--ngan orang asing. Padahal partainya, Liga Nasional Demokrasi (NLD), menang telak dalam pemilihan umum 2015.

Pernyataan tersebut diulangi oleh Wi--ra-thu dalam unjuk rasa di depan Balai Kota Yangon, ibu kota negeri itu. Rekaman pidatonya yang keras itu menyebar dengan cepat. Wakil Administratur Distrik Barat Yangon San Min lantas melaporkan Wirathu ke polisi dengan tuduhan penghasutan. “Wi-rathu mengobarkan kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah,” tutur San Min seperti dilansir Frontier Myanmar.

Polisi kemudian menetapkan Wirathu sebagai tersangka kasus penghasutan dan menerbitkan surat perintah penangkapan pada Selasa, 28 Mei lalu. Namun, se--jak menjadi buron, biksu 50 tahun itu lenyap. Polisi tak menemukannya sa-at meng-ge-ledah biara Masoeyein di Man-da-lay, tempat Wirathu bermukim dan meng-abdi sebagai biksu. Polisi juga tak me-ne-mukannya setelah mengintai sebuah ru-mah di Yangon yang diduga menjadi tempat persembunyiannya.

Pidato Wirathu tidak hanya membuat berang pemerintah. Pernyataannya yang menyebut anggota parlemen dari militer harus disembah seperti Buddha juga me--nuai kecaman dari Komite Sangha Ne--gara, badan biksu senior bentukan pe--merintah yang mengawasi para biksu. Legislator militer mengisi 25 persen kursi parlemen nasional dan daerah serta menjadi salah satu sasaran amendemen konstitusi.

Wirathu terancam hukuman hingga 20 tahun penjara jika terbukti bersalah. Tapi, bagi pria yang menjalani kehidupan biara sejak berusia 14 tahun ini, dinginnya penjara bukanlah hal baru. Wirathu per-nah dijebloskan ke tahanan pada 2003, dua tahun setelah dia membentuk dan memimpin gerakan antimuslim “969”. Saat itu dia dan sejumlah biksu lain divonis 25 tahun penjara, tapi kemudian dibebaskan pada 2011 setelah mendapat amnesti dari presiden.

Ketika itu Wirathu ditahan karena meng-hasut massa nasionalis Buddha yang berujung pada kerusuhan sektarian yang menewaskan sepuluh muslim di kampung halamannya di Kyaukse. Insiden itu jus-tru melesatkan namanya dari seorang bik-su biasa menjadi tokoh nasional yang lantang menyuarakan nasionalisme dan antimuslim.

Pria dengan nama lain Wiseitta Biwuntha ini selalu bertutur kata lembut dalam wawancara dengan media. Tapi volume suaranya akan meninggi saat ia berkhotbah di depan para pengikutnya. Dalam khot-bahnya, Wirathu selalu menyisipkan pesan-pesan yang menguarkan kebencian dan permusuhan terhadap umat Islam, terutama kaum Rohingya.

Dalam khotbahnya di Kota Kalaw pada Oktober 2013, misalnya, Wirathu me--nga-takan kaum muslim setiap hari telah me-neror warga Buddha. “Mereka me--nye-rang para perempuan dan mem-er-kosanya,” kata Wirathu. “Mulai hari ini, apakah kita perlu melindungi agama kita?” Para peng-ikutnya serempak mengiyakan ajakan itu.

Sepanjang 2013, konflik komunal meletus nyaris setiap bulan di beberapa daerah di Myanmar. Peristiwa paling parah terjadi di Meiktila pada akhir Maret. Konflik yang bermula dari percekcokan di sebuah toko emas menjelma menjadi kerusuhan besar yang menewaskan lebih dari 40 orang dan menyebabkan hancurnya puluhan rumah, sekolah, dan masjid serta sedikitnya 9.000 penduduk terpaksa mengungsi.

Kerusuhan itu adalah konflik sektarian terburuk setelah kekerasan yang me-lan-da Negara Bagian Rakhine setahun sebelumnya. Kala itu pertikaian pecah antara umat Buddha dan kelompok muslim Rohingya, yang tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Hampir 200 orang Ro-hingya tewas dan puluhan ribu lainnya diusir dari rumah mereka dan terpaksa menyelamatkan diri ke Bangladesh.

Saat diwawancarai media Australia, SBS News, pada Oktober 2013, Wirathu mengibaratkan umat Islam seperti ular berbisa. “Anda tidak bisa meremehkan ular berbisa walaupun hanya satu ekor. Itu sangat berbahaya. Kaum muslim ya seperti itu,” ujarnya. Wirathu membantah anggapan bahwa khotbahnya menyulut konflik di Myanmar. “Semua kerusuhan diprovokasi oleh muslim. Itu bukan pem-bunuhan. Umat Buddha terancam dan hanya membela diri, yang berakhir di luar kendali.”

Orasi Wirathu sering penuh kontradiksi. Di satu bagian dia menolak disebut meng-hina Islam atau menyerang ke--lom-pok etnis tertentu. Tapi di bagian lain ia mengatakan, “Muslim lokal kasar dan biadab karena para ekstremis mempengaruhi mereka, memberikan kekuatan finansial dan pe-latihan militer,” kata biksu yang juga me--nyebarkan ujaran kebenciannya lewat media sosial ini.

Bagi Wirathu, kendati jumlah warga mu-slim hanya 5 persen dari 53 juta populasi Myanmar, mereka adalah ancaman bagi keberlangsungan hidup mayoritas pe-me-luk Buddha. “Apa pun yang Anda perbuat, lakukan itu sebagai seorang nasionalis,” begitu kalimat pembukanya yang khas sewaktu berkhotbah.

Setelah dibebaskan pada 2011, Wirathu makin tenar. Dia terus berkhotbah keliling negeri untuk menyampaikan pesan anti-muslimnya. Khusus terhadap orang Ro-hing-ya, Wirathu menyebut mereka se--bagai orang Bengali, pandangan politik yang senada dengan militer. Dia selalu ber-dalih bahwa khotbahnya adalah cara untuk melindungi rakyat, agama Buddha, budaya, dan negaranya demi keamanan nasional.

Pandangan radikal Wirathu itu telah dikenal luas. Pemimpin biara Masoeyein, yang memiliki 2.500 murid, tak menampik julukan “Buddhis bin Ladin” yang di--se-matkan kepadanya. Majalah Time edisi 1 Juli 2013 memasang potretnya di sampul depan dengan judul “Wajah Teror Buddha?”. “Muslim hanya berperilaku baik saat me-reka lemah. Ketika kuat, mereka seperti serigala, yang apabila bergabung dalam kumpulan besar bakal memburu hewan lain,” ucap Wirathu.

Dukungan kepadanya tak bisa di-ang-gap remeh. Pada 2014, biksu-biksu ultra-nasionalis membentuk organisasi Ma Ba Tha dengan Wirathu sebagai wakil ke--tua-nya. Organisasi ini, yang meng-gan-tikan gerakan “969” yang dibubarkan pe------me-rintah, sukses meraup dukungan be-sar secara nasional, terutama dari kaum pe--rempuan. Ma Ba Tha juga berhasil men-dorong pengesahan undang-undang yang mempersulit perempuan Buddha menikah dengan orang yang berbeda agama.

Tentu tak semua biksu sependapat de--ngan Wirathu. Beberapa biksu telah angkat suara mengkritiknya. Uttara, kepala biara di Pusat Misionaris Buddha Eropa Myan-mar, menilai komentar Wirathu tentang muslim tidaklah pantas. “Itu bukan kata-kata yang patut keluar dari mulut seorang biksu,” tuturnya. Tapi suara biksu seperti Uttara itu tenggelam di tengah lautan ujaran kebencian Wirathu.

Mahardika Satria Hadi (Irrawady, Washington Post, Myanmar Now)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus