Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Payung-payung Menolak Beijing

Ribuan penduduk Hong Kong berunjuk rasa memprotes rencana perubahan undang-undang ekstradisi. Menentang pengaruh Cina daratan.

15 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Payung-payung Menolak Beijing/REUTERS / Athit Perawongmetha

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WARGA Hong Kong kembali turun ke jalan, kali ini dengan jumlah yang jauh lebih masif dibanding dalam aksi protes Revolusi Payung pada 2014. Ratusan ribu orang, kebanyakan anak muda, menjejali jalan-jalan kota. Mereka menyemut dan membentangkan poster bertulisan seruan penolakan terhadap rencana pemerintah merevisi undang-undang ekstradisi.

Unjuk rasa yang berawal pada Ahad, 9 Juni lalu, itu berlangsung maraton dan mencapai puncaknya tiga hari kemudian, saat massa demonstran menduduki Dewan Legislatif Kota atau Legco—lembaga yang vital dalam menentukan lolos-tidaknya ran-cangan perubahan undang-undang. Peng-unjuk rasa mendesak para legislator tidak mengesahkan rancangan yang diajukan pe--merintah itu.

Mereka juga menyeru Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam agar mengundurkan diri dan menarik rancangan peraturan tersebut. “Ribuan orang telah turun ke jalan dan dia masih menganggap tuntutan kami sebagai sampah. Sebagai pemimpin Hong Kong, dia seharusnya mempertimbangkan kepentingan warga negara,” kata Jeremy Lau, bankir 26 tahun yang geram atas sikap Lam.

Demonstrasi damai itu sempat diwarnai kericuhan saat polisi hendak membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata dan peluru karet. Para pemrotes, yang me--ngenakan helm, kacamata, dan masker, me-nangkis tembakan dengan payung, per-lengkapan ikonik yang populer sejak Revolusi Payung. Puluhan demonstran terluka akibat bentrokan itu.

Unjuk rasa selama lima hari itu nyaris melumpuhkan aktivitas kota berpenduduk 7,3 juta jiwa tersebut. Besarnya gelombang penolakan membuat parlemen me-mu-tus-kan menunda pembahasan rancangan undang-undang pada Rabu, 12 Juni lalu. Bank-bank dan pertokoan yang ditutup karena terletak di dekat lokasi protes kem-bali beroperasi sejak Jumat, 14 Juni.

Musabab meletusnya demonstrasi besar-besaran kali ini adalah rencana pemerintah merevisi undang-undang ekstradisi. Pe--me-rintah pertama kali mengusulkan peng-ubahan aturan itu pada Februari lalu. Dalam rancangan yang baru, baik negara maupun pihak yang saat ini tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong dapat mengajukan permintaan ekstradisi terhadap pelaku kriminal berdasarkan kasus per kasus. Pihak itu termasuk Tai-wan, Makau, dan Cina daratan.

Hong Kong sebenarnya telah memiliki perjanjian ekstradisi bersama yang di--tan-datangani dengan 20 yurisdiksi, kecuali Cina, serta memberikan bantuan hukum kepada 32 negara lain. Tapi pemerintah berdalih, peraturan ekstradisi yang selama ini berlaku memiliki “celah hukum” yang me-mungkinkan Hong Kong menjadi surga bagi penjahat pelarian.

Lam mengatakan undang-undang eks-tradisi perlu direvisi menyusul kasus kon-troversial seorang pria Hong Kong, Chan Tong-kai, 20 tahun, yang diduga mem-bunuh pacarnya, Poon Hiu-wing, 19 tahun, di Taipei, Taiwan, Februari 2018.

Chan kalap setelah mengetahui Poon hamil dengan mantan kekasih sang gadis. Chan membenturkan kepala Poon ke din-ding dan mencekiknya sampai me-ninggal. Dia kemudian membuang ma-yat-nya ke semak-semak.

Chan kembali ke Hong Kong dan di-tangkap polisi sebulan kemudian. Dia mengakui semua perbuatannya, tapi hanya di-dakwa dalam kasus pencucian uang ka-rena memakai kartu anjungan tunai mandiri Poon. Chan tidak dapat diadili di Taipei karena Hong Kong dan Taiwan tidak punya perjanjian ekstradisi.

Carrie Lam, yang oleh para aktivis prodemokrasi Hong Kong dicap sebagai antek Beijing, menegaskan bahwa re-visi undang-undang ekstradisi di--bu-tuh-kan untuk memungkinkan Hong Kong menegakkan keadilan dengan lebih baik dan memenuhi kewajiban in-ter-na-sio-nal-nya. Namun, bagi kalangan pegiat hak-hak sipil dan warga awam Hong Kong, per-ubahan itu dikhawatirkan ba-kal berdampak lebih luas dari sekadar meng-oper pelaku kriminal seperti Chan Tong-kai ke Taiwan.

Agnes Chow Ting, 22 tahun, salah satu pendiri kelompok prodemokrasi De--mo-sisto, menilai masa depan Hong Kong bakal suram jika peraturan ekstradisi yang baru disahkan. Menurut dia, peraturan itu bisa di-gunakan untuk mengirim siapa pun yang dianggap Beijing sebagai ancaman, termasuk lawan politik dan pembangkang, ke Cina untuk diberi hukuman yang lebih keras. “Hong Kong akan berakhir,” ujar aktivis yang bersama Joshua Wong dan Nathan Law terlibat dalam gerakan Revolusi Payung ini.

Hong Kong menjadi koloni Inggris hingga 30 Juni 1997, saat diserahkan kembali ke Cina dengan konsep “satu negara dua sistem” yang memberikan otonomi politik dan hukum kepada kota pelabuhan tersebut. Hanya kebijakan luar negeri dan per-tahanan yang dikendalikan penuh oleh Beijing. Otonomi itu dijamin hingga 50 tahun mendatang, ketika wilayah ini sepenuhnya bergabung lagi dengan Cina.


 

“Ribuan orang telah turun ke jalan dan dia masih menganggap tuntutan kami sebagai sampah. Sebagai pemimpin Hong Kong, dia seharusnya mempertimbangkan kepentingan warga negara.”

 


Chow dan para penentang lain me-nyatakan semua keistimewaan Hong Kong, yang mencakup perlindungan hak asasi manusia, kebebasan berbicara, dan akses ke pengadilan yang adil, terancam lenyap karena menguatnya cengkeraman Beijing. “Meski penindasan politik dari pemerintah Hong Kong dan Beijing makin serius, setidaknya kami dikirim ke penjara di Hong Kong,” ucapnya. “Tapi, setelah rancangan ini disahkan, kami bisa dipersekusi ke Cina daratan.”

Warga negara asing dan penduduk Cina yang tinggal atau bepergian melalui Hong Kong juga berisiko ditangkap dan diekstradisi ke Cina daratan jika memang diinginkan Beijing. Apalagi para aktivis hak asasi manusia kerap menuding sistem peradilan Negeri Tirai Bambu sentralistis dan tidak transparan. “Ini ancaman besar bagi penduduk dan pengunjung di Hong Kong, termasuk wartawan dan sumber-sumber mereka,” tutur Cedric Alviani, Ke-pala Biro Wartawan Tanpa Batas (RSF) Asia Timur.

Perjuangan warga Hong Kong agaknya cukup berat. Parlemen, yang dikuasai le-gislator pro-Beijing, menargetkan pe-nge-sah-an revisi undang-undang ekstradisi pada akhir bulan ini. Dengan adanya du-kungan penuh dari Beijing kepada Carrie Lam, opsi mereka menipis. “Tiga medan tempur utama kami ada di jalan-jalan Hong Kong, di Dewan Legislatif, dan komunitas internasional,” tutur Agnes Chow.

Mahardika Satria Hadi (SCMP, The Star, Nikkei, Hong Kong Free Press)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus