Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kisah Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh, Habiskan Masa Kanak-kanak di Kamp Pengungsi Al-Shti Jalur Gaza

Profil Ismail Haniyeh, masa kanak-kanak di kamp pengungsi Jalur Gaza hingga pimpin Hamas.

2 Agustus 2024 | 18.27 WIB

Ekspresi Pemimpin tertinggi kelompok Hamas Palestina, Ismail Haniyeh saat diarak ketika berkunjung ke Lebanon, 6 September 2020. REUTERS/Aziz Taher
Perbesar
Ekspresi Pemimpin tertinggi kelompok Hamas Palestina, Ismail Haniyeh saat diarak ketika berkunjung ke Lebanon, 6 September 2020. REUTERS/Aziz Taher

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh tewas dalam serangan di ibu kota Iran, Teheran pada Rabu 31 Juli 2024. Korps Garda Revolusi Islam mengumumkan pada Rabu pagi bahwa Haniyeh dan salah satu pengawalnya tewas ketika kediaman mereka diserang di Teheran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pejabat Palestina tersebut berada di Teheran untuk menghadiri upacara pelantikan presiden terpilih Iran Masoud Pezeshkian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Profil Ismail Haniyeh

Dilansir dari britannica.com, Ismail Haniyeh lahir sekitar 1962 di kamp pengungsi Al-Shti, Jalur Gaza. Ia merupakan salah satu tokoh paling menonjol dalam gerakan Islamis Palestina, Hamas. Haniyeh menghabiskan sebagian besar hidupnya di tengah kondisi keras dan ketidakpastian di Gaza yang menjadi rumah bagi ribuan pengungsi Palestina sejak 1948. 

Lahir dari orang tua Palestina yang terlantar dari desa mereka di dekat Ashqelon yang kini berada di wilayah Israel, Haniyeh tumbuh dengan kesadaran akan penderitaan rakyatnya dan komitmen untuk perjuangan mereka.

Masa kecil Haniyeh dihabiskan di kamp pengungsi yang tempat pendidikan dan kebutuhan dasarnya disediakan oleh Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA). 

Seperti banyak anak pengungsi lainnya, Haniyeh menghadapi realitas hidup yang keras, tetapi ia berhasil mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah yang dikelola UNRWA. Pada 1981, ia melanjutkan pendidikan ke Universitas Islam Gaza, di mana ia mempelajari sastra Arab.

Di universitas, Haniyeh mulai terlibat aktif dalam politik mahasiswa. Ia memimpin asosiasi mahasiswa Islam yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin, yakni organisasi yang kelak menjadi dasar pendirian Hamas. 

Ketika Hamas terbentuk pada 1988 di tengah intifadah pertama, Haniyeh termasuk di antara para anggota mudanya yang berperan penting. Ia menjalin hubungan dekat dengan pemimpin spiritual Hamas, Sheikh Ahmed Yassin yang kemudian menjadi mentornya dan tokoh yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya.

Keterlibatan Haniyeh dalam Hamas segera menarik perhatian otoritas Israel. Pada 1988, ia ditangkap dan dipenjara selama enam bulan karena partisipasinya dalam intifadah. Dua tahun kemudian, pada 1989, ia kembali ditangkap dan dipenjarakan selama beberapa tahun, hingga akhirnya dideportasi ke Lebanon Selatan pada 1992 bersama sekitar 400 Islamis lainnya. 

Haniyeh baru dapat kembali ke Gaza pada 1993, setelah perjanjian Oslo ditandatangani. Setelah kembali ke Gaza, Haniyeh diangkat sebagai dekan di Universitas Islam Gaza. Namun, perannya di dunia akademis segera digantikan oleh keterlibatannya yang semakin mendalam dalam kepemimpinan Hamas. 

Pada 1997, ia menjadi sekretaris pribadi Sheikh Ahmed Yassin dan menjadikannya salah satu tokoh penting dalam struktur kepemimpinan Hamas. Ketika Israel gagal dalam upaya pembunuhan terhadap Yassin pada 2003, Haniyeh juga menjadi salah satu target. Meskipun Yassin akhirnya dibunuh pada tahun yang sama, Haniyeh selamat dan terus memimpin Hamas.

Pada 2006, Hamas memutuskan untuk ikut serta dalam pemilihan legislatif Palestina dan Haniyeh memimpin daftar kandidat partai tersebut. Hasilnya, Hamas memenangkan mayoritas kursi di parlemen dan Haniyeh diangkat sebagai Perdana Menteri Otoritas Palestina (PA). 

Namun, kemenangan ini memicu reaksi keras dari komunitas internasional, terutama dari Israel, Amerika Serikat, dan Uni Eropa yang memandang Hamas sebagai organisasi teroris. Bantuan internasional untuk PA dibekukan, menyebabkan tekanan finansial yang signifikan pada pemerintahan Haniyeh.

Ketegangan antara Hamas dan Fatah, partai yang dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas, semakin pun memuncak, terutama setelah bentrokan bersenjata yang berulang kali terjadi antara kedua faksi tersebut. 

Pada Juni 2007, Abbas membubarkan pemerintahan Haniyeh dan mendirikan kabinet darurat yang pro-Fatah. Hasilnya, Hamas mengambil alih kendali penuh atas Jalur Gaza, sementara Tepi Barat tetap berada di bawah kendali PA yang dipimpin Fatah.

Setelah mengambil alih Gaza, Haniyeh memimpin pemerintahan de facto di wilayah tersebut dari 2007 hingga 2014. Meskipun Israel dan Mesir memberlakukan blokade yang ketat terhadap Gaza, Haniyeh dan Hamas berhasil mempertahankan kendali mereka, meskipun dengan biaya yang besar terhadap kondisi hidup penduduk Gaza.

Sebagai pemimpin biro politik Hamas, Haniyeh mulai memainkan peran yang lebih besar di panggung internasional. Pada Desember 2019, ia meninggalkan Gaza dan mulai tinggal di Turki dan Qatar yang memungkinkannya untuk mewakili Hamas di luar negeri. 

Ia menghadiri berbagai acara penting, termasuk pemakaman komandan Korps Pengawal Revolusi Islam Iran (IRGC), Qassem Soleimani, yang tewas dalam serangan drone AS pada Januari 2020. Peran Haniyeh dalam Hamas dan hubungan internasionalnya terus berlanjut hingga tahun-tahun terakhir hidupnya. 

Selama Perang Israel-Hamas, Haniyeh memimpin delegasi Hamas dalam negosiasi yang dimediasi oleh Qatar dan Mesir. Namun, pada April 2024, ia mengalami tragedi pribadi ketika tiga anaknya dan empat cucunya tewas dalam serangan udara Israel. Peristiwa ini terjadi di tengah upaya negosiasi gencatan senjata yang sedang berlangsung.

Pada Mei 2024, Jaksa Penuntut Umum Mahkamah Pidana Internasional mengumumkan bahwa ia akan mencari surat perintah penangkapan untuk Haniyeh, Sinwar, dan komandan Hamas, Mohammed Deif, serta Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Ismail Haniyeh terus melanjutkan aktivitasnya meskipun menghadapi tekanan yang semakin besar. Namun, pada Juli 2024, ia tewas dalam serangan saat  berada di Teheran untuk menghadiri pelantikan Presiden Iran Masoud Pezeshkian. 

MICHELLE GABRIELA  | PREES TV

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus