Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Trang yang Menolak Bungkam

Aktivis Pham Doan Trang ditahan karena menulis laporan mengenai sengketa lahan antara penduduk dan militer Vietnam. Berjuang dengan menulis buku dan blog.

17 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Polisi menahan Pham Doan Trang, aktivis dan blogger terkenal Vietnam.

  • Trang terancam dipenjara 20 tahun karena dianggap melawan negara setelah menulis soal konflik masyarakat dan aparat.

  • Dia memperjuangkan kebebasan politik di Vietnam dengan menulis buku dan blog.

MENJELANG tengah malam pada Selasa, 6 Oktober lalu, polisi dari Badan Investigasi Kepolisian Hanoi dan Kementerian Keamanan Publik Kota Ho Chi Minh menyatroni sebuah apartemen di Jalan Cach Thang Tam di Ho Chi Minh, Vietnam. Dari kamar nomor 6 di lantai 1, mereka menciduk Pham Doan Trang, jurnalis dan blogger di negeri itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mayor Jenderal To An Xo, juru bicara Kementerian Keamanan Umum, menyatakan bahwa perempuan 42 tahun itu ditahan dan dibawa ke Ibu Kota Hanoi untuk penyelidikan lebih lanjut. Trang didakwa dengan Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 1999 mengenai “propaganda melawan Republik Sosialis Vietnam” dan Pasal 117 KUHP Tahun 2015 tentang “membuat, menyimpan, menyebarkan informasi, materi, hal-hal untuk tujuan menentang negara” dengan ancaman hukuman hingga 20 tahun penjara. “Departemen Investigasi dan Kepolisian Hanoi terus melakukan investigasi sesuai dengan hukum,” demikian pernyataan Kementerian Keamanan Umum setelah penangkapan Trang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RFA, radio berbasis di Amerika Serikat yang memancarkan siarannya ke negara-negara Asia, menduga penangkapan itu berkaitan dengan Dong Tam Report, laporan yang ditulis Trang dan rekannya, Will Nguyen, mengenai konflik antara militer dan penduduk Desa Dong Tam di pinggiran Hanoi. Polisi lalu menyerang desa tersebut setelah warga desa memprotes pembangunan bandar udara militer di daerah itu yang merambah rumah dan ladang mereka. Laporan tersebut menunjukkan adanya rekayasa polisi sehingga seolah-olah warga desa telah membunuh tiga polisi. Pertengahan September lalu, pengadilan menjatuhkan hukuman mati terhadap dua warga desa yang dituduh mendalangi perlawanan.

Pham Doan Trang./Foto: Facebook

Human Rights Watch, Amnesty International, dan Committee to Protect Journalists (CPJ) menuntut agar pemerintah Vietnam melepaskan Trang. Federasi Penerbit Eropa (FEP), himpunan 29 penerbit nasional Eropa, mendesak Uni Eropa agar turun tangan membebaskan Trang. Federasi mengingatkan soal perjanjian dagang Uni Eropa dengan Vietnam yang kini sedang dalam tahap ratifikasi. “Eropa harus menempatkan penghormatan terhadap kebebasan pers, termasuk kebebasan menerbitkan buku, meskipun buku itu mengkritik kekuasaan, dalam perjanjiannya dengan negara lain,” kata Presiden FEP Peter Kraus vom Cleff.

Dang Dinh Manh, pengacara yang banyak menangani kasus hak asasi manusia, kini menjadi pendamping Trang. Menurut Manh, kasus Trang sedang dalam tahap penyelidikan. “Saudara-saudara Trang diizinkan mengirim perlengkapan dan uang, tapi belum bisa menengok Trang,” kata dia kepada RFA, Selasa, 13 Oktober lalu.

Pham Doan Trang lahir pada 27 Mei 1978 di Distrik Dong Da, Hanoi. Setelah tamat kuliah di Foreign Trade University di kota itu pada November 2000, dia meniti karier sebagai jurnalis di media cetak, televisi, dan penerbitan. Dia pernah bekerja di media besar seperti VnExpress, VietNamNet, Vietnam Week, HCMC Legal Daily, Journal of Jurisprudence, dan dua media daring berbahasa Inggris, Vietnam Right Now dan The Vietnamese.

Trang sempat mengambil kursus kebijakan publik selama sepuluh bulan di Amerika Serikat dan pulang pada Januari 2015. Sejak saat itu, dia menjadi aktivis pro-demokrasi dan hak asasi manusia. Dia banyak menulis buku sendiri atau bersama penulis lain, termasuk Vietnam and the Southeast Asian Sea Dispute, The Beauty of Politics, Basic Journalism and Communication, Anh Ba Sam, From Facebook down to the Street, dan An Overview of the Marine Life Disaster in Vietnam.

Dalam bukunya, Politics of a Police State (2019), terjemahan dari Chinh Tri Binh Dan, Trang mengisahkan secara ringkas bahwa tekanan terus-menerus dia terima dari aparat negara. Polisi berkali-kali menahannya. Salah satunya pada Agustus 2009, ketika dia dituduh membuat “kaus-kaus advokasi melawan proyek pertambangan bauksit Cina di Vietnam”.

Trang ditahan selama sembilan hari. Ibunya bahkan sempat diterungku juga untuk menekannya. Selama masa itu, polisi menggeledah rumahnya, menyita laptopnya, dan mengkopi semua berkasnya, termasuk foto-foto pribadinya. Dia dipaksa menandatangani 40 foto pribadinya sebagai pengakuan bahwa itulah foto saat dia sedang berhubungan intim dengan pacarnya.

Polisi menyebarluaskan foto-foto itu di Internet dengan tuduhan “perbuatan tak senonoh” dan menggambarkannya sebagai “perempuan memalukan yang memotret pasangan seksnya”. Para pendukung Trang melawan dengan melaporkan unggahan itu ke Google dan Facebook. Akhirnya, hampir semua foto itu dicabut dan hanya sedikit yang tersisa di arsip Google. “Tapi pelecehan itu meninggalkan luka yang dalam di hati, yang tak akan pernah bisa saya lupakan,” kata Trang.

Trang meninggalkan negerinya pada 2013 dan berkelana ke Amerika dan Filipina. Tapi tampaknya dia kurang bahagia menjadi eksil. “Sangat susah menyaksikan dari luar apa yang terjadi di Vietnam,” kata dia saat itu, seperti dikutip dalam laporan CPJ. “Membuat saya merasa tak berdaya.” Akhirnya, Trang pulang.

Pada 2017, dia dan sejumlah aktivis hak asasi mendirikan Luat Khoa Tap Chi (Jurnal Hukum), blog yang membahas berbagai isu sosial, politik, dan hukum. Blog dalam bahasa Vietnam itu sangat populer dan dikunjungi sekitar 20 ribu pengguna setiap hari. Pada September tahun itu pula dia mempublikasikan Chinh Tri Binh Dan, sebuah pengantar ilmu politik untuk orang awam. Beberapa bulan kemudian aparat Bea-Cukai menyita buku itu, bahkan menariknya dari para pembeli yang sudah menerima buku tersebut. Trang kemudian merilis buku itu secara daring agar bisa diakses siapa saja.

Tahun lalu, dia dan rekan-rekannya mendirikan The Liberal Publishing House (LPH) di Ho Chi Minh. Penerbitan itu mempublikasikan buku-buku tentang demokrasi dan kebijakan publik. Lagi-lagi pemerintah memburu kelompok Trang, menggeledah rumah mereka, dan menyita buku-buku terbitan LPH. Polisi juga menginterogasi sekitar 100 orang dari berbagai daerah dan menahan orang-orang yang diduga terlibat.

Reporters Without Borders kemudian menganugerahi Press Freedom Prize kepada Trang pada tahun itu. Asosiasi Penerbit Internasional (IPA) di Jenewa memberikan Prix Voltaire dan uang senilai 10 ribu franc Swiss (sekitar Rp 160 juta) kepada LPH. “Kerja LPH di Vietnam sebagai penerbit gerilya, yang menyediakan buku-buku di tengah intimidasi dan risiko bagi keselamatan pribadi mereka, tak lain adalah inspirasi,” kata Kristenn Einarsson, ketua Komite Kebebasan untuk Menerbitkan IPA.

“Seseorang mengatakan kepada saya bahwa perjuangan kami adalah bunuh diri,” kata Trang kepada RFA. “Kami cuma menerbitkan buku, tapi otoritas Vietnam menyebutnya kejahatan dan langsung menyatroni kami, menggunakan kekerasan, dan membuat banyak kerusakan.”

Trang menulis sepucuk surat tahun lalu dan memberikannya ke Will Nguyen, sahabatnya di Amerika. Dia meminta surat itu dirilis apabila dia ditahan. Dalam surat itu dia meminta teman-temannya untuk tidak hanya mengkampanyekan kebebasannya, tapi juga menggunakan penahanannya untuk memperjuangkan pemilihan umum yang bebas dan mengakhiri kekuasaan tunggal Partai Komunis Vietnam. “Saya tak ingin hanya kebebasan saya sendiri; itu terlalu mudah. Saya menginginkan kebebasan yang lebih besar: kebebasan untuk Vietnam,” demikian tulisannya.

“Tak ada yang ingin masuk penjara,” kata Trang dalam tulisannya. “Tapi, jika penjara tak terhindarkan bagi pejuang kebebasan, jika penjara dapat memenuhi tujuan yang ditakdirkan, kita harus dengan senang hati menerimanya.”

IWAN KURNIAWAN (VNEXPRESS, NEW YORK TIMES, RFA,BBC, CPJ)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus