INI saat-saat membingungkan bagi rakyat Rusia: mendukung Boris Yeltsin atau mengutuknya. Ahad pekan lalu, 60.000 orang bersorak- sorai di Lapangan Merah, Moskow, menyambut Boris Yeltsin yang selamat dari upaya Kongres Wakil Rakyat mendongkelnya dari kursi kepresidenan masih kurang 72 suara untuk menggusur Yeltsin. ''Bukan Kongres yang menentukan nasib rakyat,'' ujar Yeltsin berteriak sambil mengacungkan kepalan tangan di hadapan para pendukungnya. Namun, di luar Lapangan Merah, 10.000 orang lain berteriak menuduh Yeltsin sebagai antek Barat. Dan kebingungan masih akan berlanjut. Kongres Wakil Rakyat, yang merasa perlu melaksanakan sidang khusus kedua hanya dalam waktu dua minggu lebih, sepakat mencabut wewenang khusus Yeltsin. Lalu Kongres juga menolak amandemen yang bertujuan menempatkan posisi pemerintah di luar kontrol Kongres. Seperti diketahui, menurut konstitusi Rusia, yang masih berbau masa komunisme dulu, Kongres Wakil Rakyat memang punya wewenang mengontrol lembaga negara, termasuk menyetujui atau menolak calon perdana menteri. Tapi Yeltsin tak menerimanya begitu saja. Ia ngotot untuk tetap melaksanakan referendum tanggal 25 April mendatang, mundur 14 hari dari rencana semula. Referendum ala Yeltsin yang memerlukan biaya sekitar Rp 15 miliar itu hanya akan mengajukan dua pertanyaan, yaitu tentang konstitusi baru dan kepercayaan kepada presiden. Kongres sendiri merencanakan referendum, tapi tidak menyinggung soal perubahan konstitusi. Senin pekan lalu Kongres sudah menyetujui rencana referendumnya, yang akan mengajukan empat pertanyaan: tentang kepercayaan kepada presiden, persetujuan pada kebijaksanaan ekonomi dan sosial sejak tahun 1992, perlunya pemilihan presiden dipercepat, serta perlunya pemilihan anggota Kongres dipercepat. Selama ini Yeltsin dan seterunya, Ketua Kongres Ruslan Khasbulatov, bukan tidak berusaha mencari jalan kompromi. Keduanya ingin mencegah ketegangan, apalagi perang saudara. Sayang, kompromi Yeltsin-Khasbulatov, yang mengusulkan agar pemilihan anggota Kongres dipercepat ke November mendatang, ditentang oleh anggota Kongres lainnya. Anggota Kongres tak mau mengambil risiko kehilangan posisi kini, yang baru akan habis tahun 1995. Kompromi itu bahkan membuat anggota Kongres marah dan melakukan pemungutan suara untuk mendepak Khasbulatov tapi vo- ting itu gagal mencapai suara mayoritas. Kedudukan Yeltsin akan makin kuat bila ia punya kesempatan membuktikan kepada rakyat Rusia bahwa reformasinya berada di rel yang benar. Di tengah-tengah krisis politik, dua pekan lalu, misalnya, Yeltsin punya waktu membujuk Presiden Francois Mitterrand agar meningkatkan bantuan khusus Perancis. Sedangkan pemerintah Bill Clinton setuju meningkatkan bantuan ekonomi dari US$ 400 juta menjadi US$ 700 juta. Sebenarnya, siapa pun yang muncul sebagai pemimpin dari krisis politik saat ini, ia akan sulit mengubah reformasi yang sudah ditempuh Yeltsin. Sampai awal tahun 1993, misalnya, sebanyak 46.815 perusahaan negara, umumnya pertokoan dan perusahaan kecil, sudah diswastakan lewat penjualan saham kepada rakyat. Bulan ini saham dari 249 perusahaan besar, termasuk pabrik limusin ZIL yang terkenal, juga akan dilempar ke pasar. Dengan situasi seperti itu walaupun harga-harga sudah meroket tak akan ada yang berani maju ke depan dan menyatakan bahwa semua saham yang sudah dijual tidak ada harganya lagi. Orang boleh me- ngeluh tentang kesulitan hidup dan kriminalitas yang meningkat. Namun mereka emoh bila harus kembali ke tatanan politik dan ekonomi ala Uni Soviet. Jadi, mungkin soalnya hanyalah perebutan kekuasan. Yang dituding adalah Khasbulatov sebagai orang yang haus akan kekuasan. Profesor ekonomi ini sebenarnya ditunjuk Yeltsin sebagai ketua Kongres pada bulan Agustus 1991. Ia, yang semula ditentang oleh anggota Kongres, bahu-membahu dengan Yeltsin pada masa mendesak Mikhail Gorbachev agar mempercepat laju demokrasi dan reformasi ekonomi. Belakangan Khasbulatov berhasil menyusun basis kekuatan di parlemen dan berhasil menyulut kelompok garis keras untuk mendepak bekas sekutunya itu. Pengamat menduga bahwa Khasbulatov tak bakal mampu maju sebagai pemimpin menggantikan Yeltsin. Dan kalaupun suara mayoritas Kongres untuk merongrong Yeltsin tercapai, teorinya, kekuasaan akan beralih dari Yeltsin kepada Wakil Presiden Alexander Rutskoi. Sebaliknya, bila referendum usulan Yeltsin berjalan, dan sistem presidensiil dipilih rakyat Rusia, bisa dipastikan Khasbulatov bakal tak punya kekuasaan apa pun. Itu sebabnya Khasbulatov segera mengumumkan daftar dosa Yeltsin. Perayaan kemenangan Yeltsin Ahad pekan lalu, misalnya, dikatakan oleh Khasbulatov sebagai usaha memancing kerusuhan. Buktinya? Se- orang anggota Kongres maju ke depan podium dengan dahi beperban dan mengaku telah diserang para pendukung Yeltsin. Lalu juru bicara Yeltsin, Vyacheslav Kostikov, dituduh menyebarkan sele- baran yang mengajak rakyat melakukan tindakan melanggar konstitusi. ''Jika presiden terus mengajak rakyat melakukan kerusuhan, kami akan kembali ke soal yang kemarin lagi,'' kata Khasbulatov. Tampaknya ia yakin, perhitungan suara ulang di Kongres akan mampu mencapai suara mayoritas guna mendepak Yeltsin. Tapi, Khasbulatov yakin atau tak yakin, memang hanya langkah itulah jalan untuk mendongkel Yeltsin. Namun, pengamat menduga, usaha komprominya dengan Yeltsin yang gagal, serta adanya usaha Kongres untuk mendepaknya, justru membuat Khasbulatov makin tidak populer. Di luar Kongres, Yeltsin tampaknya punya basis pendukung yang kuat. Apalagi, kabarnya, Yeltsin mendapat dukungan dari Perdana Menteri Viktor Chernomyrdin dan Menteri Keamanan Viktor Barannikov, yang disebut Khasbulatov sebagai letnannya Yeltsin. Dukungan juga datang dari AS: Menteri Luar Negeri Warren Christoper, setelah mendengar berita kegagalan Kongres mendepak Yeltsin, segera menyatakan dukungan kepada Yeltsin. Tapi ada sesuatu yang mungkin mengancam. Seandainya Yeltsin menang dalam referendum, masih dibutuhkan kekuasaan untuk melaksanakan kemenangan itu. Khasbulatov bisa saja nekat duduk sebagai ketua Kongres. Sebaliknya, jika Khasbulatov yang menang, ia pun tak bisa lalu menyuruh Yeltsin keluar dari istana kepresidenan. Keduanya bisa nekat karena punya pendukung yang cukup besar. Bila salah satu dari kemungkinan itu terjadi, kebijaksanaan tampaknya akan berada di tangan militer: perang saudara atau kudeta militer. LPS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini