KEMERDEKAAN memang tak selalu membawa kesejahteraan. Dua tahun setelah lepas dari Uni Soviet, lima republik Asia Tengah tetap terpuruk dalam kesulitan ekonomi. Tak heran bila Rustam Asimov, bankir muda dari Bank Nasional Uzbekistan, pesimistis akan masa depan negaranya, salah satu republik di Asia Tengah itu. ''Kami dulu jajahan, dan sekarang tetap jajahan,'' katanya. Asimov yakin, struktur perekonomian Uzbekistan tak mampu lagi menopang kemandirian ekonomi. Ketika masih bernaung di bawah panji Uni Soviet, kelima republik di Asia Tengah yang kaya dengan gas alam, minyak, barang tambang lain, dan hasil pertanian itu memang dikembangkan menjadi daerah sumber bahan baku semata. Sedangkan proyek industri untuk pengolahan bahan baku, walaupun ada, tak cukup kukuh mendukung kemandirian ekonomi tiap republik. Maka, ketika Uni Soviet bubar, kelima negara yang bergantung pada negara induk itu ibarat gudang telantar saja. Turkmenistan, berpenduduk 3,5 juta jiwa, misalnya, adalah penghasil gas alam terbesar ketiga di dunia. Tapi penduduknya jelas tak mengonsumsi semua gas alam itu, sehingga produksi mereka, sebagai konsekuensi ekonomi terpusat ala komunis, se- bagian besar disalurkan (bukan diekspor) ke republik lain. Begitu juga dengan Uzbekistan berpenduduk 20 juta jiwa, penghasil 5,3 juta ton kapas setiap tahunnya (lebih dari 60% produksi kapas seluruh Uni Soviet) juga terpaksa menyalurkan kelebihan produksi mereka ke seluruh wilayah Uni Soviet. Imbalan bagi penyaluran hasil-hasil produksi itu, pemerintah pusat Uni Soviet memberi subsidi kepada kelima republik tadi terakhir, tahun 1991, jumlah subsidi yang diberikan tercatat US$ 14 miliar. Bantuan itu jika dibandingkan dengan total pengeluaran pemerintah masing-masing antara 20% (di Turkmenistan) dan 45% (di Tajikistan). Namun, tahun 1992, setelah negara induk Uni Soviet bubar, tak ada lagi subsidi. Perubahan membuat kelima republik tadi kelimpungan. Soalnya, tak gampang berubah dari ekonomi terencana ke perdagangan bebas. Sejauh ini upaya mereka masih berupa kontrak kerja sama di kertas. Tahun 1992, kelima republik tadi telah menandatangani kerja sama dengan republik Persemakmuran Negara Merdeka (CIS). Malah beberapa di antara republik itu sudah menjalin hubungan dengan Turki dan Iran (dua negara yang punya ikatan kuat dengan Asia Tengah), serta Amerika Serikat dan Masyarakat Eropa. Namun, baru Turki yang sudah memberi bantuan (sekitar Rp 2 triliun) kepada negara-negara itu. Lambatnya modal asing masuk ke lima republik di Asia Tengah itu antara lain karena lokasi negara-negara tersebut kurang menguntungkan. Kelima republik itu terletak di pegunungan dengan ketinggian sekitar 1.500 meter dari permukaan laut, tersuruk ribuan kilometer dari pelabuhan di Lautan Arktik yang dikuasai Repulik Federasi Rusia, dan tanpa sarana transportasi yang memadai. Pelabuhan terdekat bagi mereka berada di Lautan Hindia (terletak di wilayah Pakistan dan Iran) atau di Pantai Mediterania (Turki). Masuk akal, setelah era perang dingin berakhir, negara-negara Barat kurang tertarik untuk menanam modal di sana. Maka, tampaknya tak mudah mengangkat enonomi kelima republik tadi. Faktor lain yang juga menyulitkan bagi sebagian republik- republik tadi adalah masalah konflik dalam negeri dan konflik antar- republik. Dari kelima negara itu, hanya Kirghizstan dan Turkmenistan yang tak bertikai. Sedangkan Uzbekistan, Tajikistan, dan Kazakhstan, jika tak ribut karena konflik dalam negeri, ribut soal perbatasan. Lihat saja, perbatasan antara Uzbekistan dan Tajikistan yang tak jelas, serta ada satu juta orang Uzbekistan di Tajikistan dan ada satu juta orang Tajikistan di Uzbekistan. Yang juga tak bisa diabaikan adalah keragaman masyarakat dan budaya. Wilayah Asia Tengah, sejak abad ke-13, selalu menjadi ajang perebutan antara lima kekaisaran besar dunia: Rusia, Cina, Turki, Persia, dan India. Setelah bernaung di bawah negara Uni Soviet, Asia Tengah tak banyak diusik. Inilah kelima republik itu: Uzbekistan (Ibu Kota: Tashkent) Penduduk asli Uzbekistan adalah campuran Mongolia dan Oghuz. Jumlah mereka 71% dari 20 juta total penduduk. Sisanya, keturunan Rusia, Tajikistan, Slavia, Turki, dan sekelompok kecil Yahudi. Bahasa resmi adalah bahasa Uzbek, salah satu dalam rumpun bahasa Turki yang baru pada tahun 1992 lalu diubah ke dalam aksara Latin dari aksara Cyrillic. Mayoritas penduduk beragama Islam Sunni. Penganut agama lain (minoritas) yang menonjol adalah Kristen Ortodoks. Dengan temperatur 32 derajat Celsius hingga minus 38, wilayah ini kaya dengan hasil pertanian. Pada era Uni Soviet, Uzbekistan memang dikembangkan menjadi daerah pertanian untuk tanaman kapas dan kenarf bahan baku serat goni. Maka, jadilah Uzbekistan sebagai penghasil kapas dan serat goni terbesar di Uni Soviet. Hasil pertanian lain adalah anggur, kentang, dan sayur-mayur. Sektor lain yang menonjol adalah pertambangan. Uzbekistan kaya akan minyak bumi, gas alam, batu bara, emas, dan aluminium. Di sini juga ada pabrik kertas, plastik, dan beberapa pabrik tekstil. Tapi banyak dari industri itu berupa industri barang se- tengah jadi. Dibandingkan negara Asia tengah lain, Uzbekistan termasuk negara yang lamban melaksanakan reformasi ekonomi. Mereka baru menerapkan liberalisasi pasar pada akhir 1991. Ini membuat Presiden Islam Kamarov harus kerja ekstra untuk memasarkan hasil- hasil pertaniannya yang masih terbelakang, sementara kesulitan ekonomi mulai muncul. Bulan Januari 1992 sekelompok mahasiswa berdemonstrasi di Tashkent karena meroketnya harga akibat libe- ralisasi pasar. Kini Uzbekistan telah menandatangani kontrak kerja sama dengan perusahaan minyak Perancis dan Amerika untuk menggarap sumber minyaknya. Sayang, sejauh ini belum ada realisasi dari kontrak itu. Jadi perbaikan ekonomi tampak masih memerlukan waktu. Faktor lain yang menyulitkan Uzbekistan untuk maju adalah potensi konflik antar-etnis. Di Kota Fergana Oblast, misalnya, pada tahun 1989 marak konflik antara orang Uzbekistan dan minoritas Turki yang mengakibatkan korban 100 jiwa. Juga ada konflik antara orang Uzbekistan dan Kirghizstan. Kini, Presiden Karimov menghadapi ancaman dari bangkitnya gerakan Islam di Tajikistan, sehingga ia perlu meminta bantuan pasukan Republik Rusia guna menutup perbatasan dengan negara tetangga itu, walaupun sekitar sejuta penduduk Uzbekistan tinggal di Tajikistan. Tajikistan (Ibu Kota: Dushanbe) Begitu merdeka dari Uni Soviet, Tajikistan, yang berpenduduk 5,2 juta, justru menjadi arena perang saudara. Presiden terpilih Rakhmon Nabiyev, bekas sekretaris pertama Partai Komunis Tajikistan, dirongrong oleh koalisi Partai Kebangkitan Islam dan kubu demokrat. Bulan Oktober 1992, setelah perang selama sebulan, Nabiyev melepas kursi presiden. Tapi, perang yang sudah membawa korban ratusan jiwa pada tahun 1992 itu rupanya belum usai. Pasukan Nabiyev didukung persenjataan lengkap memang menguasai ibu kota Dushanbe, namun pendukung Partai Kebangkitan Islam terus melancarkan serangan dari Kota Kofarnikhorn, yang terletak 25 km dari Dushanbe. Maka, CIS mengirimkan sekitar 3.500 pasukan Republik Rusia ke Tajikistan. Pasukan ini mestinya berfungsi sebagai penengah, namun mereka lebih berpihak kepada Nabijev. Ada kekhawatiran mereka terhadap gerakan Islam di tengah kondisi perekonomian yang sulit akan menyebar ke republik lain. Di Tajikistan, setelah pemerintahan komunis Uni Soviet jatuh, agama Islam berkembang pesat. Partai Kebangkitan Islam, yang dulu bergerak sembunyi-sembunyi dan hanya mempunyai 20.000 anggota, kini diduga memiliki ratusan ribu anggota. Tajikistan mewarisi budaya Persia dan dikhawatirkan melihat Iran sebagai negara idam- an. Sedangkan empat republik lainnya memilih Turki, yang sekuler, sebagai contoh negara yang diidamkan. Tajikistan wilayahnya terkecil di Asia Tengah. Bisa disebut negara yang paling miskin sumber alam. Memang ada kandungan gas alam, emas, besi, merkuri, dan timah, tapi diduga jumlahnya tidak menarik bagi investor asing. Salah satu kelebihan Tajikistan adalah industri mesin pertanian dan generator listrik. Tapi kelebihan itu tampak tak bisa diandalkan untuk menarik perhatian investor. Kazakhstan (Ibu Kota: Alma Ata) Republik bependuduk 17 juta ini adalah republik yang paling besar di wilayah Asia Tengah, dan merupakan republik yang mandiri. Di bawah pemerintahan Nikita Khrushchev, Kazakhstan berkembang seba- gai salah satu kota teknologi dengan didirikannya pusat percobaan nuklir di Semipalatinsk dan pusat ruang angkasa Baikonur di Leninsk. Ini mendorong pertumbuhan sektor industri lainnya. Industri Kazakhstan, misalnya, sudah di tingkat pengolahan bahan baku menjadi produk siap pakai, baik industri makanan, logam, kimia, maupun industri mesin konstruksi. Wilayah ini juga merupakan daerah peternakan yang penting pada era Uni Soviet, lengkap dengan industri wool-nya. Kazakhstan, yang menguasai sebagian Laut Aral, juga memiliki sistem perikanan yang maju. Masih ada lagi sumber minyak, yang diperhitungkan mengandung potensi 700.000 barel per tahun. Maka, Presiden Nursultan A. Nazarbayev bergerak cepat ke arah reformasi ekonomi. Tahun 1990, Nazarbayev sudah punya rencana detail untuk beralih ke ekonomi pasar. Juli 1991, Nazarbayev menerbitkan vocer untuk rakyat Kazakhstan yang ingin membeli saham dari aset-aset negara. Nazarbayev juga segera mengadakan perjalanan ke Amerika, Kanada, Korea, Turki, dan Inggris untuk menarik investor asing. Hasilnya, sejauh ini Amerika dan Oman su- dah sepakat mengembangkan sumber minyak di Kazakhstan. Namun di sini juga ada konflik antar-etnis antara etnis Kazakhstan dan Rusia. Kedua etnis mayoritas ini, Kazakhstan (40%) dan Rusia (38%), ribut merebut kekuasaan. Bahkan ketika masih di bawah payung Uni Soviet, kedua etnis sudah saling sikut merebut jabatan Sekretaris Pertama Partai Komunis Kazakhstan sehingga menimbulkan korban jiwa. Setelah merdeka, ketegangan antaretnis ini makin tinggi. Kazakhstan berusaha mengembangkan budaya mereka yang bersumber dari campuran Mongol dan Turki, antara lain dengan menetapkan bahasa Kazakh sebagai bahasa resmi. Orang Kazakhstan pun makin banyak menguasai birokrasi, dan ini membuat orang Rusia menjadi makin tertekan. Padahal, orang Rusia yakin, mereka yang memodernisasi Kazakhstan dari wilayah pegunungan yang kosong. Adalah keadaan ekonomi yang lebih baik dari Republik Rusia sen- diri membuat banyak orang Rusia tak mau pergi dari Kazakhstan. Kirghizstan (Ibu Kota: Bishkek) Februari lalu, Perdana Menteri Tursunbek Chyngyshev melakukan perjalanan keliling ke Masyarakat Eropa untuk memperkenalkan Kirghizstan yang sedang dalam usaha reformasi ekonomi. Sayang sampai saat ini belum terdengar kabar baik, karena memang tak mudah menarik investor asing ke republik berpenduduk 4 juta yang mengandalkan perekonomian peternakan domba dan babi itu. Pada saat bersamaan, Presiden Askar Akayev merayu Boris Yeltsin agar segera mewujudkan apa yang mereka sebut sebagai ''bantuan khusus''. Perekonomian Kirghizstan memang sekarat, dengan defisit anggaran negara US$ 400 juta. Kabarnya, jika Kirghizstan tak mampu mengatasi defisit itu, Dana Moneter Internasional (IMF) akan membatalkan janji bantuan ekonominya. Itu sebabnya pemerintah Kirghizstan kerja keras. Saham-saham perusahaan negara dijual kepada rakyat. Target tahun 1993, penjualan sebesar 25% saham seluruh perusahaan negara, yang umumnya perusahan kecil penghasil barang setengah jadi. Juga diberlakukan sistem devisa bebas yang membolehkan investor asing membawa keuntungan ke luar dari Kirghizstan. Sistem itu memang membuat Kirghizstan menjadi republik paling menarik di bekas negara Uni Soviet bagi investor asing. Hanya saja, investor asing akan berpikir-pikir juga karena negara ini terpencil dari pelabuhan laut. Turkmenistan (Ibu kota: Ashkhabad). Walau 3,5 juta penduduk keturunan Turki di republik ini tak punya ikatan tradisi dengan Iran, Turkmenistan banyak mendapat bantuan dari Iran. Awal 1992, Iran menandatangani kontrak pembelian minyak mentah dari Turkmenistan sebesar 6,5 juta ton setiap tahunnya. Pemerintah Iran juga berencana untuk membantu pengembangan sumber minyak dan gas alam Turkmenistan serta pembangunan pabrik minyak pelumas. Turkmenistan menjalin hubungan pula dengan Turki yang menghasilkan kerja sama ekonomi setelah Perdana Menteri Turki, Suleyman Demirel, mengunjungi Ashkabad, Mei 1992. Namun hubungan Turkmenistan dengan Iran dan Turki juga menimbulkan masalah. Turkmenistan butuh pembangunan pipa gas untuk mencapai pasar yang lebih luas, namun baik Turki maupun Iran punya rencana masing-masing yang akan membuat salah satu negara tersingkir dari lintasan pipa. Soal itu yang membuat pasaran gas alam Turkmenistan, yang produknya terbesar ketiga di dunia, masih terhambat. Padahal, minyak dan gas alam yang bisa diharapkan cepat mengangkat ekonomi Turkmenistan dalam masa transisi ini. Pemanfaatan kandungan potasium, sulfur, dan sodium klorida yang cukup tinggi masih memerlukan waktu yang lama. Dan Turkmenistan hanya punya satu industri kimia di Kota Chardzou. Mayoritas penduduk, yang beragama Islam Sunni, masih mengandalkan pertanian dan kerajinan tenun. Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini