SUASANA darurat pelan-pelan mulai berlalu di Flores. Puing- puing bencana sudah disingkirkan. Pemandangan yang mencolok kini adalah hiruk-pikuk orang memperbaiki jalan, rumah, gereja, mesjid, kantor-kantor, atau gedung sekolah. Di sela-sela itu tampak sejumlah pekerja sosial membagikan makanan bergizi untuk para ibu dan anak. Kondisi Flores masih jauh dari pulih. Harun, 41 tahun, sudah mulai bisa menerima kenyataan bahwa rumah panggung seisinya, perahu motor, dan tiga dari enam anaknya, hilang ditelan gelombang tsunami pada bencana gempa besar 12 Desember 1992 itu. ''Harta saya satu-satunya yang tersisa tinggal dayung ini,'' ujar nelayan dari Desa Wuring, di barat Kota Maumere itu. Hampir semua keluarga di desa nelayan ini bernasib seperti Harun, kehilangan perahu yang selama bertahun-tahun dijadikan sandaran hidupnya. Tak kurang dari 500 perahu nelayan Wuring lenyap tertelan tsunami. Keluarga Harun kini sedang bersiap pindah ke Nanghore, 5 km dari Wuring. Di Nangahore memang sedang dibangun 1.000 rumah sederhana, 200 unit di antaranya rampung akhir Maret lalu. Rumah itu berdinding tripleks, beratap seng, dan berlantai semen. Ukurannya 7,2 X 3,6 meter. Rumah-rumah itu dibangun oleh satuan ABRI. Harun merasa beruntung karena kondisi rumahnya lebih baik ketimbang pondoknya di Wuring yang hanya 3 X 4 meter. Namun yang membuat Harun dan banyak teman senasibnya prihatin adalah kondisi pantai di Nangahore. Arusnya terlalu kencang. ''Bikin sulit kalau mau turun melaut atau menambatkan sampan,'' ujar seorang nelayan. Kalaupun keluarganya harus pindah ke Nangahore, katanya, ia akan membangun pondok kecil di Wuring. ''Biar mudah melaut,'' tambahnya. Menurut taksiran, gempa berskala 6,8 Richter itu telah mengakibatkan kerugian tak kurang dari Rp 500 miliar, di samping lebih dari 2.000 jiwa melayang. Dari angka kerugian itu Rp 280 miliar di antaranya adalah rusaknya sarana umum. Selebihnya kerugian material dari harta penduduk. Bantuan memang berdatangan kendati belum sebanding dengan kerugian riilnya. Bos Humpuss Tommy Hutomo Mandala Putra, misalnya, berhasil mengumpulkan Rp 7,1 miliar untuk bantuan Flores, yang didapatnya dari para konglomerat Jakarta. Humpuss sebagai pemrakarsa menyumbang Rp 1,7 miliar. ''Dana ini diprioritaskan untuk rehabilitasi sarana umum,'' ujar Tommy kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Namun bantuan dari Tommy itu kalah besar dibanding dana yang berasal dari Ny. Tien Soeharto. Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, yang diketuai Ny. Tien, memasok Rp 11 miliar untuk membantu korban bencana Flores. Dana itu kini digunakan untuk membangun seribu unit rumah sederhana, pelaksananya adalah Departemen Pekerjaan Umum. Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI), yang diketuai Bob Hasan, tak mau ketinggalan. MPI mengirim batang kayu, besar dan kecil, ke Flores. Sayangnya, kayu-kayu eks-MPI itu banyak yang lapuk. ''Mungkin dari kualitasnya nomor empat. Hampir 50% rusak,'' ujar seorang prajurit di Nangahore. Media massa pun tak tinggal diam. Mereka ikut memobilisasi dana masyarakat pembacanya. Harian Kompas Jakarta, misalnya, lewat kolom dompet Floresnya, berhasil menghimpun dana Rp 2,5 miliar. Suara Pembaruan sekitar Rp 950 juta, Suara Merdeka (Semarang) Rp 400 juta, dan Bali Pos Rp 270 juta. Artis-artis pun tak ketinggalan. Titik Puspa dan Iwan Fals, misalnya, membuat pergelaran kumpul dana. Sedangkan Sardono W. Kusumo, koreografer tari kontemporer, memprakarsai lelang lukisan di Bali untuk maksud serupa. Lantas sejumlah bank, perusahaan swasta, dan BUMN secara sendiri-sendiri mengirim bantuannya lewat Dep. Sosial atau Panitia Nasional Bencana Alam yang dipimpin bekas Menteri Perhubungan Frans Seda, putra Flores. Tampaknya agak sulit menghitung berapa miliar dana yang terkumpul itu dan berapa persen yang sungguh mengalir ke sana. Dan yang kelihatan mata sampai ke Flores adalah anggota ABRI. Menjelang Lebaran lalu, sedikitnya 4.000 personel ABRI dikerahkan. Mereka memperbaiki jalan, membangun rumah penduduk, kantor, dan sarana umum lainnya, bahkan mengerahkan kapal perang mengangkut alat berat dan bahan bangunan dari Surabaya. Panitia, yang diketuai Frans Seda, sampai awal Maret lalu menya- lurkan Rp 4,6 miliar lewat LSM yang banyak turun ke Flores. ''Lebih efektif karena mereka bekerja berdasarkan program yang jelas,'' ujar Frans. Bekas menteri ini punya banyak keinginan untuk membantu Flores, mulai dari memperbaiki rumah rakyat, membangun sarana penyediaan air bersih, dapur umum untuk perbaikan gizi balita, sampai penyediaan sarana ekonomi. Sayang, duit di tangan Frans kelewat cekak. Toh Frans jalan terus. Untuk perbaikan rumah, misalnya, ia memilih cara pemberian kredit antara Rp 1,5 juta dan 2,5 juta per KK yang berjangka 15 tahun. ''Perputaran uang itu akan menggerakkan perekonomian di sini,'' tutur Frans di Maumere beberapa waktu lalu. Salah satu pihak yang siap melaksanakan misi Frans Seda itu adalah Yayasan Program Pengembangan Swadaya Tani dan Nelayan. LSM ini berencana memberi 200 unit kredit senilai Rp 4,5 juta untuk 200 nelayan. Tidak seluruh dana yang diperlukan dari Frans. Sebab pemerintah Jerman kabarnya telah menyanggupi menyandang 30% keperluan modal yayasan itu. ''Kami telah memesan kayu dari Kalimantan untuk badan perahu,'' ujar seorang pengurus LSM ini. Bagi LSM ini, pemberian kredit dinilai lebih baik. ''Karena lebih mendidik,'' tambahnya. PTH, Zed Abidien (Flores)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini