Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Militer Israel dan milisi Hamas menyepakati gencatan senjata yang mengakhiri perang di Kota Gaza.
Warga Palestina masih khawatir Israel mengingkari kesepakatan damai.
Kelompok Hamas dinilai memanfaatkan krisis politik domestik Palestina untuk meningkatkan dukungan publik.
BELUM genap sehari gencatan senjata antara Israel dan milisi Hamas di Gaza, Palestina, polisi Israel sudah kembali berulah. Pada Jumat, 21 Mei lalu, mereka melontarkan bom asap dan gas air mata serta menembakkan peluru karet untuk membubarkan ribuan warga Palestina yang berkumpul seusai salat Jumat di luar Masjid Al-Aqsa, Yerusalem. Warga Palestina itu sebenarnya tengah merayakan gencatan senjata yang mengakhiri serangan Israel ke Jalur Gaza sejak 10 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tindakan polisi Israel ini membuktikan kekhawatiran warga Palestina bahwa kesepakatan damai itu tak akan bertahan lama. "Saya tidak kaget lagi. Israel tidak pernah benar-benar berkomitmen untuk kesepakatan seperti itu," ujar Haya, warga Yerusalem Timur, kepada Tempo pada Jumat, 21 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Haya, rakyat Palestina punya pengalaman pahit karena Israel kerap mengingkari kesepakatan damai. Situasi tenang setelah gencatan senjata biasanya hanya berjalan dua-tiga bulan. Setelah itu, polisi atau warga Israel yang menduduki wilayah Palestina secara ilegal kembali melakukan provokasi dan serangan. "Sewaktu-waktu kami bisa dibunuh, ditendang dari rumah, atau dipenjara," kata Haya. "Tidak ada kehidupan normal."
Perang di Gaza yang pecah belakangan ini bermula dari insiden di Masjid Al-Aqsa pada awal April lalu. Kala itu, tentara Israel memblokir Gerbang Damaskus di dekat masjid tersebut, yang merupakan tempat populer masyarakat Palestina berbuka puasa selama Ramadan. Israel juga membatasi jumlah orang yang diizinkan menunaikan salat di sana. Keributan meletup dan setidaknya 300 orang terluka.
Ketegangan menjadi-jadi ketika tentara Israel mengusir warga Palestina dari Sheikh Jarrah, salah satu permukiman Palestina tertua di Yerusalem. Bentrokan besar pun pecah antara demonstran dan polisi Israel. "Israel selalu menyerang Palestina di Gaza, Tepi Barat, dan wilayah lain yang mereka duduki," tutur Ziad, penduduk Kota Al-Bireh di Tepi Barat.
Hamas, organisasi politik dan milisi terbesar di Palestina, menembakkan roket dari Gaza ke wilayah Israel sebagai peringatan agar tentara Israel segera minggir dari Al-Aqsa. Israel membalas dengan mengirim roket-roketnya. Militer Israel mengklaim Hamas telah menembakkan 4.300 roket ke wilayah Israel dan roket Israel menghantam seribu target di Gaza. Ini pertempuran terbesar Israel-Hamas di Gaza sejak 2014. Setelah sebelas hari bertempur, Israel dan Hamas menyepakati gencatan senjata yang dimediasi Mesir.
Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair al-Shun, mengecam serangan Israel ke Gaza. Menurut dia, gencatan senjata adalah keputusan yang baik. Meski demikian, dia menilai masalah di Palestina tak bakal selesai selama Israel terus melanjutkan pendudukan ilegal dan kekerasan terhadap warga Palestina. "Kesepakatan damai tak akan tercapai selama Israel tak mengakui Yerusalem sebagai bagian Palestina. Mereka juga harus berhenti menindas rakyat Palestina," ucap Al-Shun kepada Tempo di kantornya pada Jumat, 21 Mei lalu.
Perang di Gaza terjadi di tengah persaingan politik antara partai politik Fatah dan Hamas. Pemimpin Fatah, Mahmoud Abbas, sudah 15 tahun menjadi Presiden Otoritas Palestina, tapi belakangan popularitasnya melorot. Banyak warga Palestina, terutama kelompok muda, menginginkan perubahan karena tak puas terhadap Abbas, yang tak kunjung memperbaiki situasi Palestina dalam berhadapan dengan Israel.
Menurut pengajar ilmu politik dari University College London, Julie M. Norman, kemunculan Hamas sebagai ujung tombak perlawanan terhadap Israel telah memicu krisis kepemimpinan di Palestina. "Presiden Mahmoud Abbas dan partainya, Fatah, serta Otoritas Palestina makin tergerus," ujar Norman dalam kolomnya di The Conversation, 12 Mei lalu.
Posisi Hamas menguat setelah mereka memenangi pemilihan umum parlemen pada 2006, tapi Hamas dan Fatah gagal membentuk pemerintahan koalisi. Palestina pun terbelah. Lewat Otoritas Palestina, Fatah mengendalikan Tepi Barat, sementara Hamas mengontrol Gaza.
Jalan rekonsiliasi terbuka saat tahun lalu Hamas dan Fatah menyepakati menggelar pemilihan umum pada tahun ini. Namun rencana pemilihan pada 22 Mei lalu dibatalkan oleh Abbas karena Israel belum memberikan jaminan bahwa warga Palestina di Yerusalem dapat mencoblos. Namun, seperti dilaporkan The New York Times, Abbas diduga hanya mencari alasan karena popularitasnya terus merosot.
infografis
Hasil sigi Pusat Komunikasi dan Media Yerusalem yang bekerja sama dengan Friedrich Ebert Stiftung pada April lalu menunjukkan nama tahanan politik Palestina, Marwan Barghouthi, lebih disukai. Sebanyak 33,5 persen responden di survei itu menyatakan bakal memilih Barghouthi dan 24,5 persen mendukung Abbas. Adapun 10,5 persen responden mendukung pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh. Dalam survei itu juga diketahui sebanyak 60 persen responden menyukai usul Barghouthi diajukan sebagai calon presiden.
Hamas juga memanfaatkan perubahan situasi politik di Palestina untuk mengerek dukungan dengan memimpin gerakan sipil guna melindungi Yerusalem. Hamas pula yang menembakkan roket untuk unjuk kekuatan dan sebagai bentuk dukungan bagi warga Palestina yang memprotes blokade tentara Israel di Al-Aqsa. "Aksi solidaritas dari Hamas ini berlawanan dengan Otoritas Palestina yang dikendalikan Fatah, tapi gagal merespons langsung ketegangan di Yerusalem," kata Norman.
Namun Israel pun juga terjepit oleh masalah politik domestik. Dalam dua tahun terakhir, Israel sudah menggelar empat kali pemilihan umum, termasuk pada Maret lalu, tapi tak ada partai atau koalisi partai yang menang mutlak. Partai Likud pimpinan Benjamin Netanyahu, partai terbesar di sana, dan koalisinya gagal menguasai parlemen sehingga tak dapat membentuk pemerintahan baru dan mempertahankan Netanyahu sebagai perdana menteri.
Bahkan, menurut Micheline Ishay, direktur program hak asasi manusia di University of Denver, Amerika Serikat, sebelum pemilihan umum pada Maret lalu pun Netanyahu telah kehilangan dukungan dari rakyat Israel karena berbagai alasan. Popularitas Netanyahu telah memudar dan orang-orang bosan dengan pemilihan umum yang telah berkali-kali digelar. Likud hanya mendapat 39 kursi, turun dari 36 kursi dari tahun lalu. "Upaya tanpa henti Netanyahu untuk menghindari tuntutan pidana (dalam kasus korupsi), perpecahan partai sayap kanan, dan pandemi yang berkepanjangan telah berkontribusi pada kekecewaan masyarakat yang meluas," ujar Ishay kepada Al Jazeera.
Konflik dengan Palestina saat ini, Ishay menambahkan, telah mengurangi kebencian publik terhadap Netanyahu. "Popularitasnya pasti akan meningkat di antara beberapa warga sebagai akibat dari eskalasi di Gaza. Di bawah tembakan dan dalam situasi perang, orang cenderung berlindung di belakang pemerintah, takut akan roket dan ancaman internal. Dalam pengertian itu, krisis saat ini memperkuat rancangan politik Netanyahu," ucapnya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, ISTMAN MUSAHARUN (BBC, AL JAZEERA, ASSOCIATED PRESS, MIDDLE EAST EYE, NPR, TIMES OF ISRAEL, HAARETZ)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo