Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebagian pasangan menikah memutuskan berpisah karena tidak tahan dengan kondisi rumah tangga setelah pandemi.
Banyak istri mengeluhkan ketidakseimbangan pembagian peran dengan pasangan setelah pagebluk.
Konflik biasanya sudah terjadi sebelum pandemi.
IMPITAN kebutuhan ekonomi di masa pandemi membuat Anita—bukan nama sebenarnya—memilih berpisah dengan suaminya. Perempuan yang sedang menempuh studi di perguruan tinggi ini mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Yogyakarta pada Mei tahun lalu. Pernikahannya yang baru berjalan enam bulan kandas. “Ini berat, tapi keadaan memaksa dan ini pilihan terbaik,” kata Anita melalui konselor hukum yang mendampinginya, Arnita Ernauli Marbun, Kamis, 20 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anita, 27 tahun, dan pasangannya menikah pada akhir 2019. Sang suami berjanji menyokong kebutuhan ekonomi Anita yang sedang kuliah. Saat itu pria tersebut baru diterima bekerja di perusahaan swasta sebagai buruh kontrak. Namun bahtera rumah tangga mereka goyah ketika pandemi Covid-19 menyerang. Suami Anita terkena pemutusan hubungan kerja. Keduanya mesti putar otak untuk membayar ongkos rumah kontrakan. Kondisi ini membuat mereka dilanda frustrasi. Pertengkaran verbal tak bisa dihindari. Mereka akhirnya sepakat berpisah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rifka Annisa, lembaga non-pemerintah yang berfokus pada permasalahan kekerasan terhadap perempuan, mencatat ada 50 gugatan cerai dari total 85 kasus yang didampingi konselor hukum sepanjang 2020. Pada Januari-April 2021, terdapat 16 gugatan cerai. Pasangan yang memilih bercerai ini berusia produktif, yakni 25-50 tahun.
Kebanyakan dari mereka memutuskan berpisah karena tidak tahan dengan kondisi rumah tangga, antara lain lantaran penghasilan keluarga tidak mencukupi, kekerasan fisik dan verbal, serta perselingkuhan. Konflik terjadi sebelum dan selama pandemi.
Spanduk informasi pengambilan akta cerai di Pengadilan Agama Bandung, Jawa Barat, 19 Mei 2021./TEMPO/Prima Mulia
Menurut Arnita, salah satu konselor di Rifka Annisa, faktor yang paling dominan sebagai penyebab perceraian adalah menurunnya penghasilan keluarga akibat upah suami dipangkas atau suami terkena pemutusan hubungan kerja. Istri harus mencari tambahan penghasilan untuk menambal kebutuhan ekonomi. Namun relasi antara suami dan istri tersebut menjadi tak seimbang lantaran perempuan tetap membereskan pekerjaan rumah. Sedangkan sang suami yang menganggur enggan membantu.
Situasi inilah yang memicu pertengkaran dan berujung pada perceraian. Arnita mengatakan salah seorang kliennya terpaksa bekerja sebagai buruh cuci sejak pagi, mengurus anak, memasak, dan membersihkan rumah, tapi pada saat yang sama suaminya memilih duduk-duduk, bermain telepon seluler, atau tiduran.
Syamsiah, hakim yang juga juru bicara Pengadilan Agama Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengatakan ada indikasi peningkatan jumlah kasus perceraian selama pandemi. Ada 176 gugatan cerai dan 48 cerai talak pada April 2021. Sedangkan sepanjang 2020, terdapat 1.343 kasus gugatan cerai dan 435 cerai talak. “Faktor ekonomi yang paling dominan selama pandemi,” tuturnya, menguatkan pernyataan Arnita.
Seperti di Sleman, mayoritas perkara perceraian di Bandung disebabkan oleh problem ekonomi. “Dibanding tahun-tahun lalu, ekonomi sekarang lebih dominan,” ucap juru bicara sekaligus hakim Pengadilan Agama Bandung, Mustopa. Selain itu, sebagian pasangan memilih bercerai karena ditinggal pergi pasangan atau perselingkuhan.
Namun, jika dilihat secara nasional, masalah ekonomi berada di peringkat kedua. Data Pengadilan Agama 2020 yang dihimpun Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan penyebab perceraian terbesar adalah perselisihan berkelanjutan sebanyak 176.683 kasus, diikuti masalah ekonomi (71.194), meninggalkan salah satu pihak (34.671), dan kekerasan dalam rumah tangga (3.271).
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga menjadi masalah di banyak rumah tangga, termasuk yang tidak berakhir dengan perceraian. Pada 2020, misalnya, sebanyak 79 persen atau 6.480 dari 8.234 total laporan yang dihimpun oleh 120 lembaga adalah kasus kekerasan di ranah personal. “Dalam satu dekade terakhir, kekerasan di ranah personal secara konsisten merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.
Menurut Andy, ada beberapa faktor yang menyebabkan jumlah KDRT saat pandemi meningkat. Salah satunya keputusan mengenai bekerja dan belajar dari rumah menyebabkan beban perempuan berlipat. Perempuan harus bekerja dari rumah sekaligus membantu anaknya sekolah secara daring. Hal ini, Andy menjelaskan, dapat memicu ketegangan baru dalam hubungan antarpasangan. “Kebijakan tersebut juga memungkinkan intensitas kekerasan menjadi makin tinggi, terutama psikis,” katanya.
Psikolog klinis dewasa, Rena Masri, mengatakan umumnya pasangan yang bercerai di tengah pandemi telah menumpuk masalah sebelum pagebluk terjadi. Ketika dilanda pandemi, masalah kian banyak, misalnya penghasilan keluarga berkurang sehingga konflik di antara pasangan makin runcing. “Emosi jadi tidak stabil dan mudah tersulut sehingga ketika ada masalah kecil jadi gampang marah-marah,” tuturnya.
Agar pernikahan tak sampai berujung pada perceraian, Rena menyarankan pasangan belajar saling memahami sebelum pernikahan terjadi melalui konseling pra-pernikahan. Pasangan harus belajar, antara lain, tentang komunikasi untuk menyelesaikan masalah dalam pernikahan dan mengembangkan keintiman, juga menyampaikan harapan atau keinginan kepada pasangan.
Setiap orang juga perlu belajar mengelola emosi, antara lain dengan mengeksplorasi kegiatan apa yang bisa membuat setiap individu menjadi lebih nyaman dengan kondisi pandemi. “Mungkin masalah kita enggak selesai, tapi kita akan bisa mencari solusi alternatif masalah yang kita hadapi,” ujarnya.
NUR ALFIYAH, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), AHMAD FIKRI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo