Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Musuh Tak Bersenjata di Papua

Sampai 2020 Indonesia mencatat 254.055 kasus malaria, yang tertinggi di Papua. Hasil uji klinis terbaru vaksin malaria oleh University of Oxford di Burkina Faso menjadi kabar baik.

22 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pasien terjangkit penyakit malaria, dipeluk ibunya saat dirawat di RS Dian Harapan, Kota Jayapura, Papua, Januari 2018./ANTARA/Indrayadi TH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sampai tahun 2020 Indonesia mencatat 254.055 kasus positif malaria.

  • Kasus malaria terbanyak berada di Papua.

  • Hasil terbaru uji klinis vaksin malaria di Burkina Faso, Afrika menjadi kabar menggembirakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah pandemi seperti saat ini, demam biasanya langsung dikaitkan dengan gejala awal infeksi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19. Risma Samosir, warga Jayapura, Papua, punya pengalaman berbeda perihal demam. Ia mengingat pengalamannya pada Mei tahun lalu saat merasakan gejala panas-dingin. Awalnya dia mengira hal itu disebabkan kecapaian. “Sebagai guru pendidikan anak usia dini (PAUD), saya tak hanya mengajar online (daring), juga mengunjungi murid ke rumah,” ucapnya, Kamis, 20 Mei lalu.

Untuk mengusir demam itu, Risma pun meminum antibiotik. Bukannya sembuh, demamnya malah tambah tinggi. Pandangan matanya pun mulai gelap. Dia sangat ingin ke rumah sakit, tapi waswas akan terdiagnosis terjangkit Covid-19. Atas desakan keluarga, dia kemudian memeriksakan diri ke laboratorium. Barulah diketahui penyebabnya: dia menderita malaria tropika plus 4—tipe terberat dari empat jenis malaria. Dia baru pulih setelah menjalani perawatan di rumah sekitar satu bulan.

Popularitas malaria memang kalah jauh dari Covid-19 yang kini sudah menginfeksi lebih dari 1,7 juta orang di Indonesia. Menurut Guntur Argana, Koordinator Substansi Malaria Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan, sampai 2020, tercatat ada 254.055 kasus positif malaria. Jumlahnya turun dibanding pada 2010 yang sebanyak 465.764 kasus, tapi stagnan di kisaran 250 ribu sejak 2014. “Karena kasusnya dianggap rendah, jadi kurang diperhatikan,” ujar Guntur, Jumat, 21 Mei lalu.

Berbeda dengan vaksin Covid-19 yang ditemukan kurang dari setahun sejak wabah merebak, vaksin malaria hingga kini masih dalam pengembangan. Menurut Guntur, sebelumnya sudah ada vaksin yang diuji klinis di Malawi, Afrika, namun efikasinya baru sekitar 40 persen, di bawah standar Badan Kesehatan Dunia (WHO). Karena itu, ia menyebut sebagai kabar bagus saat mendengar hasil terbaru uji klinis vaksin malaria oleh University of Oxford di Afrika.

Menurut Eureka Alert edisi 23 April lalu, Jenner Institute pada University of Oxford bersama Serum Institute of India Private Ltd dan Novavax Inc telah menyelesaikan uji klinis tahap II vaksin malaria yang disebabkan parasit Plasmodium falciparum yang diberi nama R21/Matrix-M di Nanoro, Burkina Faso, dengan efikasi 77 persen. Menurut Adrian Hill, profesor di University of Oxford, ini pertama kalinya ada kandidat vaksin yang kemanjurannya di atas target vaksin malaria WHO, yaitu 75 persen. Kini mereka mulai mempersiapkan uji klinis fase III. 

•••

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


MALARIA adalah penyakit menular akibat infeksi parasit malaria (Plasmodium sp) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles gambiae. Nyamuk jenis ini banyak terdapat di daerah dengan iklim sedang seperti sebagian negara di Afrika, termasuk juga di Indonesia. Di Indonesia ada empat jenis Plasmodium yang mampu menginfeksi manusia, yaitu Plasmodium falciparum, P. vivax, P. malariae, dan P. ovale

Menurut Kementerian Kesehatan, daerah yang mencatat jumlah kasus positif malaria terbanyak adalah Papua, yaitu mencapai 216.841 kasus positif pada 2020. Berikutnya adalah Nusa Tenggara Timur dengan 15.305 kasus, Papua Barat (9.972), Kalimantan Timur (2.365), dan Riau (1.740). Di luar lima provinsi ini, jumlahnya di bawah 1.000 kasus. “Musuh di Papua itu, selain KKB (kelompok kriminal bersenjata), ya malaria,” kata Guntur. Dia menambahkan, angka kasus malaria di Papua tinggi karena daerahnya berawa dan banyak hutan.

Guntur menambahkan, saat ini, jika ada orang yang terkena gejala malaria akan lebih dulu diperiksa sediaan darah tepi untuk memastikan ada-tidaknya parasit Plasmodium di tubuhnya. Setelah itu, penderita diberi pengobatan kombinasi artemisininin based combination therapy (ACT). “ACT yang digunakan oleh program saat ini adalah DHP atau kombinasi Dihydroartemisinin dan Piperaquine dalam satu dosis,” ucap Guntur.

Salah satu obat malaria yang sangat populer di Indonesia adalah pil kina. Itu sudah masa lalu. Menurut Guntur, sejak 2007, pengobatan standar untuk penderita malaria oleh Kementerian Kesehatan menggunakan ACT. Sebelumnya juga sempat memakai Chloroquine. Namun dia menambahkan, untuk penderita malaria berat, selain ACT, kadang juga ada kombinasi dengan pil kina.

Peneliti Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Andria Agusta, mengatakan penyebab umum malaria memang adalah Plasmodium. Tapi karakter Plasmodium sudah berubah. Itulah yang membuat adanya resistansi terhadap pil kina setelah dipakai puluhan tahun. “Karakter organisme yang dapat menginfeksi itu akan selalu berusaha bertahan untuk hidup. Jadi agen infeksinya berusaha menyesuaikan dengan obat itu,” tuturnya, Senin, 17 Mei lalu.

Obat standar malaria masih impor. Pengadaannya dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Menurut Guntur, untuk daerah endemis tinggi, semua obat itu tersedia di pusat kesehatan masyarakat dan rumah sakit secara gratis. “Untuk daerah yang endemisnya rendah, obat itu hanya tersedia di dinas kesehatan dalam jumlah terbatas,” katanya. Hingga kini Indonesia belum pernah mengembangkan vaksin malaria.



Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) pernah meneliti rintisan vaksin Malaria pada 2011-2014. Menurut peneliti Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi Batan Mukhamad Syaifudin, waktu itu penelitian menggunakan nyamuk Anopheles dan Plasmodium berghei serta diujicobakan pada mencit. Plasmodium berghei memiliki siklus yang sama dengan jenis lainnya. Peneliti menggunakan iradiasi sinar gamma 100-260 gray untuk menguji dosis optimal yang bisa melemahkan parasit. 

Pada saat itu, kata Syaifudin, penelitian di Batan itu tarafnya masih praklinis dan hanya menemukan dosis iradiasi yang tepat untuk menciptakan antibodi dan melemahkan parasit. Penelitian itu tidak dilanjutkan ke tahap uji klinis. “Kendalanya di pendanaan dan izin untuk uji klinis,” ujarnya, Senin, 17 Mei lalu. Syaifudin menyebut hasil uji klinis University of Oxford sebagai “keberhasilan yang membanggakan”.

Andria  menambahkan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan pengembangan vaksin malaria lambat. Penyebab malaria adalah parasit yang memiliki kerumitan berbeda untuk membunuhnya. Malaria juga penyakit tropis, tempat sebagian besar negara berkembang. “Makanya yang cepat itu penemuan antibiotik. Sebab, itu ada di semua negara maju sehingga mereka benar-benar bisa fokus melakukan penelitian,” ucapnya.

Guntur mengatakan, dengan efikasi 77 persen, itu sangat menjanjikan. Namun yang juga harus dilihat adalah kesamaan Plasmodium yang diuji klinis. “Sebelum nantinya dipakai, perlu tahap uji coba. Sama seperti obat ACT, sudah ada penelitian sebelumnya di Indonesia,” tutur Guntur. Andria punya pandangan sama. “Kalau Plasmodium-nya sama, saya kira bisa dipakai di sini,” ujarnya.

ABDUL MANAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus