Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Konflik Kashmir Susah Diatasi

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama Musharraf melejit di peta internasional ketika ia menggulingkan Perdana Menteri Nawaz Sharif tujuh tahun silam. Nama Musharraf semakin penting ketika tragedi New York 11 September meledak karena jaringan Al-Qaidah yang berseliweran di Pakistan. Tetapi persoalan Kashmir adalah salah satu masalah "abadi" pada agenda politik Pakistan (dan India).

Perseteruan di Kashmir adalah pekerjaan rumah yang paling memusingkan Pakistan dan India sejak lepas dari Inggris pada 1947. Kini, jalan ke arah perdamaian paripurna mulai terbuka. Beberapa waktu lalu Presiden Pervez Musharraf memerintahkan tentaranya di barat laut Kashmir, Gilgit-Baltistan, dan Azad Kashmir untuk menahan senjata dan tidak melakukan provokasi. Hasilnya segera terasa. "Sejak kami berhenti menyerang mereka (India—Red) pun tidak lagi melakukan penembakan-penembakan," ujar Musharraf. Dia berharap dialog tiga partai antara Pakistan, India, dan Kashmir yang tengah digagas segera membawa damai ke wilayah itu.

Musharraf lahir di Delhi, India, pada 22 Juli 1945. Usianya baru dua tahun ketika Inggris pergi dan wilayah jajahan itu dibelah menjadi dua negara merdeka: Pakistan dan India. Orang tuanya membawa Musharraf pindah ke Pakistan. Pada 1961, dia masuk akademi militer. Kariernya menanjak cepat. Musharraf dianugerahi pangkat jenderal pada 1998 sekaligus diangkat menjadi pemimpin tentara Pakistan. Setahun kemudian, dia memimpin kudeta merebut tampuk pemerintahan dari Perdana Menteri Nawaz Sharif. Setelah menang dalam pemilu 20 Juni 2001, Musharraf secara resmi menjadi Presiden Pakistan.

Kali ini dia datang ke Jakarta untuk mengikuti Konferensi Asia-Afrika pada 22-24 April. "KAA sangat berguna untuk menciptakan koordinasi dan kerja sama Selatan-Selatan yang nyata," ujarnya. Kamis pekan lalu dia menerima Purwani Diyah Prabandari, Faisal Assegaf, Philipus Parera, Yophiandi Kurniawan, dan juru foto Santirta dari Tempo di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta.

Apa agenda yang Anda bawa ke Kon-ferensi Asia-Afrika?

Pada dasarnya kami meyakini pentingnya dialog dan kerja sama Selatan-Selatan. Tidak seperti interaksi Selatan-Utara yang selalu bermasalah terutama menyangkut bidang perdagangan dan aktivitas perekonomian, lebih-lebih setelah munculnya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Maksudnya?

Saya melihat pentingnya membina koordinasi dan kerja sama yang lebih nyata antara negara Selatan-Selatan. KAA sangat berguna untuk menciptakan koordinasi dan kerja sama yang nyata Selatan-Selatan. Konferensi ini juga memberikan kesempatan yang sangat bagus untuk memperkuat hubungan bilateral dengan Indonesia, mengadakan pertemuan dengan negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan membahas berbagai isu lain.

Bagaimana dengan isu Kashmir?

Ini konflik lama. Menurut saya, konflik ini sulit diatasi karena tidak ada rasa saling percaya dari kedua pihak. Diperlukan ketulusan dari dua belah pihak. Karena itu, sementara ini kami membangun ketulusan. Kami bicara mengenai pentingnya fleksibilitas dan memberi peluang kepada upaya-upaya untuk mencapai perdamaian.

Anda merintis jalan untuk perdamaian yang final?

Tentu. Masalah ini harus diselesaikan. Persoalannya, saya tidak percaya pada manajemen konflik. Yang terjadi adalah mendamaikan pihak yang bertikai, tapi menyembunyikan akar masalah di bawah permukaan. Sudah banyak deklarasi dan kesepakatan damai di akhir setiap perang, tapi mengapa konflik selalu berulang? Itu karena akar masalahnya masih ada. Kini kami menggunakan manajemen pemecahan masalah. Saya sangat yakin kami akan segera sampai pada kesepakatan terakhir yang menyelesaikan semua konflik dan perselisihan.

Bagaimana dengan pihak India?

Saya gembira karena ternyata ada kesesuaian pendapat antara saya dan Perdana Menteri India (Manmohan Singh—Red) untuk memusatkan perhatian pada penyelesaian konflik ini. Kami telah mengumumkan gencatan senjata secara sepihak di wilayah kekuasaan kami di Kashmir beberapa waktu lalu. Dan rupanya ini mendapat sambutan positif dari pihak India. Sejak kami berhenti menyerang, mereka pun tidak lagi melakukan penembakan-penembakan.

Apakah Anda akan memberikan Kashmir kepada India atau menjadikannya sebagai negara merdeka?

Itu tidak mungkin. Setelah berperang sekian lama. Kami akan mencari solusi yang diterima baik oleh Pakistan, India, dan yang terpenting oleh sebagian besar rakyat Kashmir. Memang, diplomasi mengajarkan kita untuk berusaha mencapai keuntungan maksimal. Tapi kalau ingin terjadi kesepakatan, setiap pihak yang bertikai harus bisa menahan diri dan melakukan kompromi.

Kalau begitu, apa yang akan Anda lakukan?

Saya tidak bisa menjelaskan secara detail penyelesaian yang akan kami tawarkan, karena perundingan tengah berlangsung. Saya khawatir kalau membocorkan informasi itu sekarang upaya perdamaian ini malah akan terhenti.

Mungkinkah itu berupa referendum untuk rakyat Kashmir?

Itu isi Resolusi PBB 1948, agar memberikan kesempatan kepada rakyat Kashmir untuk menentukan nasibnya sendiri. Tapi seperti yang telah saya ungkapkan, tiga pihak ini perlu lebih dahulu berdiskusi dan bersepakat. Ini bukan persoalan rakyat Kashmir semata, tetapi juga Pakistan dan India. Konflik ini tidak akan berakhir bila kepentingan ketiga pihak tidak diperhatikan.

Anda mengatakan ingin berdamai, tapi perlombaan nuklir dengan India masih saja terjadi.

Tidak ada perlombaan senjata nuklir dengan India. Dalam hal persenjataan strategi kami defensive deterrence (bertahan dengan cara mengimbangi kekuatan persenjataan lawan—Red ). Sejak India melakukan percobaan nuklir pada 1974, perimbangan persenjataan nonkonvensional kami berubah. Karena itu, kami lalu mengembangkan senjata nuklir agar menjadi seimbang kembali. Sekarang sudah seimbang lagi, baik sistem persenjataan konvensional maupun nonkonvensional.

Tidak khawatir terhadap Amerika Serikat yang selalu mengancam negara-negara yang mengembangkan persenjataan nuklir?

Setiap negara mempunyai kepentingan sendiri, termasuk dalam masalah keamanan. Kami memusatkan perhatian pada masalah strategi defensive deterrence agar tidak ada negara yang dapat mengancam kami. Ini adalah langkah bertahan karena kami melihat adanya ancaman. Sekarang kami menjadi negara nuklir dan mereka menerima hal itu.

Bagaimana dengan penjualan teknologi nuklir ke negara lain seperti Iran dan Libya yang melibatkan ahli nuklir Anda, Abdul Qadir Khan?

Memang benar Dr Abdul Kadir Khan melakukan itu. Itu sangat disesalkan dan kami mengecamnya. Tetapi kami telah membuktikan kepada dunia bahwa bukan pemerintah Pakistan yang melakukannya. Itu tindakan individu. Sekarang kami telah mengambil tindakan pencegahan. Kami melembagakan pengaturan yang secara efektif mengawasi dan mengontrol pengembangan serta produksi senjata strategis. Tempat penyimpanan senjata strategis pun dijaga dengan tingkat pengamanan maksimum. Jadi, tidak ada lagi alasan senjata strategis dapat jatuh ke tangan orang lain dan disebarluaskan.

Apakah anda akan menggunakan forum Konferensi Asia-Afrika ini untuk menjalin kerja sama antiterorisme?

Saya kira ini memang perlu dibahas dalam pertemuan tingkat tinggi, baik di tingkat dunia, maupun khusus negara-negara Islam. Bila Anda perhatikan, semua konflik, termasuk serangan teroris, ledakan bom, dan serangan bom bunuh diri terjadi di dunia Islam. Pelaku dan korbannya sama-sama muslim. Ini merupakan tragedi terbesar. Kita yang melakukan, kita yang menderita.

Menurut Anda, bagaimana caranya mengatasi kondisi ini?

Bila kita perhatikan kondisi negara-negara muslim: terbelakang, buta huruf, dan miskin. Ada dua pilihan yang kita hadapi, konfrontasi atau melakukan kompromi pertama-tama dengan diri kita sendiri dan pada saat bersamaan bekerja sama dengan Barat untuk menyelesaikan perselisihan politik, seperti yang terjadi di Palestina, Irak, dan Afganistan.

Benarkah kerja sama antarnegara muslim lebih lemah ketimbang kerja sama dengan Barat?

Itulah yang terjadi. Pada saat ini, semua indikator sosial di negara-negara muslim terburuk di dunia. Dari siapa kita mendapatkan bantuan? Dari mana kita mendapatkan sokongan ekonomi? Dengan siapa kita berdagang? Semuanya dengan negara-negara nonmuslim. Perdagangan antara negara-negara muslim hanya lima sampai delapan persen. Karena itu, OKI perlu dibenahi agar mampu melaksanakan strategi pencerahan dan modernisasi, sekaligus memberikan kontribusi terhadap pembangunan sosial dan ekonomi yang membantu negara-negara miskin.

Bagaimana hasil pertemuan anda dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono?

Sangat baik. Kami bicarakan banyak hal dari isu politik hingga perdagangan, termasuk rencana kerja sama di bidang intelijen melawan terorisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus