Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terkesiap Chou En Lai melihat dua lelaki muda keluar dari dalam mobilnya di depan Gedung Merdeka, Bandung. Belum habis kagetnya, kedua lelaki itu telah tegak di hadapan Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok (kini Republik Rakyat Cina) tersebut. Keduanya adalah Joesoef Isak dan Hari Sambiring, wartawan Harian Merdeka, Jakarta. Peristiwa ”mencegat” Chou En Lai itu terjadi saat Konferensi Asia Afrika di Bandung, 50 tahun lalu. ”Penjagaannya ketat. Tapi Hari punya banyak akal,” ujar Joesoef Isak, 77 tahun, mengenang peristiwa itu kepada Tempo.
Chou En Lai adalah primadona Konferensi Asia Afrika Bandung. Bagi Bandung—dan Indonesia—kehadiran dia sungguh istimewa. Karena itulah pertama kalinya pemimpin RRC itu hadir dalam sebuah konferensi besar, sejak negeri raksasa itu berdiri pada 1949. Sekitar 500 wartawan dari seluruh dunia yang berkumpul di Bandung ketika itu mengincarnya habis-habisan. Hari Sambiring dan Joesoef beruntung dapat mewawancarainya.
Pada 1955 ada 29 negara yang hadir di Bandung. Kini 103 negara datang, 44 di antaranya dipimpin langsung oleh kepala negara atau kepala pemerintahannya. Anggota Asia Afrika lebih dari 100 negara atau lebih dari separuh jumlah negara di atas bumi. Kehadiran mereka ditunggu sekitar 1.800 wartawan dalam dan luar negeri. Tapi mencegat para kepala negara dari dalam mobil ala Joesoef Isak dan Hari Sambiring pada Konferensi Asia Afrika II (KAA II, selanjutnya akan disebut juga dengan Konferensi) bagai menggantang asap.
Jangankan masuk, menyentuh pintu mobil saja susah. Rabu pekan lalu Tempo dicegat petugas keamanan ketika mendekati jejeran Toyota Camry di pelataran parkir Gedung Olahraga Bung Karno, Senayan, Jakarta. ”Tolong jangan di sini, Mas,” ujar seorang petugas keamanan.
Untuk mengamankan konferensi yang berlangsung di Jakarta Convention Centre (JCC), pemerintah DKI Jakarta menyiagakan lebih dari 24 ribu aparat keamanan. ”Tak ada istilah kecolongan pengamanan konferensi,” ujar Gubernur DKI Sutiyoso.
Di Bandung, pengamanan sudah dilakukan sejak sepuluh hari sebelum Konferensi digelar. Delapan tentara bersenjata lengkap setiap jam berkeliling di Taman Kota Tegalega di pusat Kota Bandung. ”Mereka berjalan berputar-putar saja,” kata seorang warga di sekitar taman. Delegasi Konferensi mengunjungi tempat itu saat memperingati ulang tahun emas KAA Bandung, Ahad pekan lalu.
Konferensi Asia Afrika II adalah perhelatan multinegara terbesar yang pernah diselenggarakan Indonesia. Selain delegasi 103 negara, hadir pula Perserikatan Bangsa-Bangsa dan 18 organisasi dunia. Bendera tiap negara berkibar gagah di depan JCC. Soal bendera ini membikin kita terkenang pada Sudan. Pada tahun 1955, negeri ini hanya diwakili bendera putih polos ditambah tulisan ”Sudan” di tengah. Soalnya, negara itu belum sepenuhnya merdeka di masa itu.
Ingar-bingar Konferensi bermula pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, November 2002. Presiden Afrika Selatan, Tabo Mbeki, mengajukan usul menggelitik: menggelar lagi KAA untuk menyulut kembali ”Semangat Bandung”. Dahulu, Konferensi Bandung menjadi inspirasi bagi gerakan kemerdekaan dan solidaritas negara-negara Asia-Afrika.
Inisiatif Phnom Penh ini bergulir cepat. Berbagai pertemuan susulan digelar. Dalam Asian African Sub-Regional Conference di Bandung tahun berikutnya, negara-negara peserta menunjuk Indonesia sebagai tuan rumah, dengan co-sponsor Afrika Selatan.
Presiden Megawati Soekarnoputri saat itu lantas membentuk panitia pelaksana di bawah pimpinan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Berbagai persiapan fisik dilakukan. Dari pembangunan jalan tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang, perbaikan gedung, lapangan udara, stasiun kereta, hingga membeli 60 sedan Toyota Camry 3.000 cc. Banyak yang memprotes pengeluaran negara yang besar untuk pergelaran Asia Afrika ini. Antara lain Rp 1,4 triliun untuk tol dan Rp 21 miliar untuk mobil. Pemerintah jalan terus.
Dalam hal fasilitas, Konferensi 1955 dan 2005 bagai langit dan bumi. Ketika itu Indonesia belum punya gedung konferensi. Panitia bersusah payah menyulap ballroom Gedung Merdeka di Jalan Asia Afrika, yang sebelumnya bernama Gedung Concordia dan Gedung Dwi Warna (aslinya Gedung Dana Pensiun), menjadi tempat pertemuan.
Itu pun tak sempurna benar. Masih ada yang bocor. Roeslan Abdulgani, Sekjen Konferensi 1955, pernah mengepel lantai Gedung Merdeka yang kebanjiran menggunakan hampir semua kain di tubuhnya. ”Saya bilang semua pintu ditutup. Tak boleh ada peserta yang masuk,” tutur Roeslan sembari tertawa kepada Yophiandi Kurniawan dari Tempo Interaktif. Untung hujan segera berhenti dan tak ada tamu memergoki Roeslan yang nyaris telanjang.
Pengalaman Roeslan jelas tak kan terulang. Begitu tahu Bandung akan disinggahi perserta Konferensi, atap Gedung Merdeka segera diganti dengan bahan fiber. Lobi disulap menjadi ruang pameran. Lantai dipercantik oleh keramik putih impor dari Italia. Pendingin ruangan diperbanyak.
Kita tahu, ketika mengusulkan Konferensi 1955 dalam pertemuan para pemimpin pemerintahan Asia-Afrika di Kolombo, Sri Lanka, di awal 1954, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo melontarkan satu pertanyaan yang menantang. Di hadapannya duduk Perdana Menteri Sri Lanka Sir John Kotelawala, PM Birma U Nu, PM India Jawaharlal Nehru, dan PM Pakistan Mohammed Ali. Ali Sastroamidjojo berkata: ”Di manakah kita, bangsa Asia, berdiri di tengah-tengah dunia dewasa ini?”
Saat itu Perang Dunia II baru usai. Imperialisme goyah. Namun, situasi dunia tak segera menjadi lebih baik. Saling berebut pengaruh antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet memilah dunia menjadi dua: Barat di bawah AS dan Timur di bawah Soviet. Soviet dan Amerika memang tak pernah berperang. Namun, intrik politik dan persaingan nuklir di antara mereka melahirkan Perang Dingin—demikian perselisihan itu disebut—menjadi salah satu masa yang paling menakutkan dalam sejarah modern pasca-Perang Dunia II.
Mulanya ada kekhawatiran bahwa Konferensi 1955 akan ”diganggu” AS atau Soviet. Roeslan bercerita betapa para peserta dan pelaksana sempat risau mendengar kabar pesawat Kashmir Princes yang membawa rombongan RRC jatuh di perairan Kepulauan Natuna, Indonesia. Ketika itu tanggal 11 April, seminggu sebelum Konferensi digelar.
”Ini bisa menggagalkan Konferensi,” tulis Roeslan dalam bukunya, The Bandung Connection. Pasti sabotase, pikir mereka. Soalnya, satu bulan sebelumnya PM India Jawaharlal Nehru hendak dibunuh di negaranya. Untung kabar baik segera datang. Chou ternyata belum meninggalkan RRC.
Seperti harapan setiap peserta, KAA I akhirnya memicu negara-negara Asia-Afrika untuk berjuang meraih kemerdekaan dan tidak terlibat dalam blok-blok. ”Hari kemerdekaan Aljazair ada dua. Pada 1 November, hari nasional kami, dan KAA 1955,” ujar Lakhdar Brahimi, mantan Menteri Luar Negeri Aljazair (1991-1993) yang kini menjadi penasihat khusus Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan.
Menurut Brahimi, yang pernah menjadi duta Front Pembebasan Aljazair untuk Asia Tenggara dan tinggal di Jakarta sejak 1956 hingga 1961, Konferensi 1955 telah mengilhami gerakan kemerdekaan Aljazair. Pada tahun-tahun pergerakan, hampir setiap pidato pemimpin Aljazair—dan Afrika umumnya—dimulai dengan mengutip Dasasila Bandung. Isinya, soal hak setiap bangsa untuk merdeka dan berdaulat.
Tidak selamanya Semangat Bandung menjadi inspirasi yang menyatukan. Indonesia, misalnya, pernah terlibat cekcok serius dengan Malaysia sebagai buntut dari perselisihan wilayah, dan akhirnya mundur dari PBB pada Januari 1965. Di Indocina, perang yang melibatkan Cina, Vietnam, dan Kamboja meletus pada tahun 1970-an. Jejak Soviet ada di sana.
Gema Konferensi 1955 akhirnya perlahan tenggelam oleh Gerakan Non-Blok yang lahir pada 1961. ”Generasi di Afrika sekarang jarang sekali ada yang tahu soal KAA,” ujar Brahimi. Orang lebih mengenal Non-Blok. Sebenarnya pada tahun 1965 pernah ada rencana menggelar KAA II. Namun perubahan politik di Aljazair—yang sedianya menjadi tuan rumah—membuyarkan rencana itu.
Pekerjaan rumah dari Konferensi 1955 di Bandung masih ada yang belum terjawab. Mulai dari Palestina hingga konflik Pakistan-India di Kashmir. Toh itu tak menghalangi para pemimpin negara yang berkumpul di Jakarta dan Bandung merumuskan arah perjuangan yang baru.
Situasi sudah berubah. Sedikitnya 88 negara Asia-Afrika telah merdeka sejak 1955. Soviet runtuh. Perang Dingin tinggal kenang-kenangan. Isu sentral hubungan politik internasional pun bergeser dari komunisme ke terorisme.
Garis perjuangan baru (Asia-Afrika, Red) telah dirumuskan. ”...Perang untuk kemaslahatan manusia,” ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya membuka KAA, Jumat pekan lalu.
Kofi Annan bangkit dan turut berpidato. Sekretaris Jenderal PBB itu menunjuk tiga tantangan terberat masa kini. Hama penyakit, kemiskinan, dan kelaparan. ”Perang terhadap mereka (penyakit, kemiskinan, dan kelaparan—Red) harus menjiwai agenda reformasi ini,” ujarnya. PBB telah mencanangkan ”Tujuan Pembangunan Milenium” (Millennium Development Goals) untuk memerangi ketiga masalah itu hingga 2015 nanti.
Di atas kertas, sebagai rumah dari 4,6 miliar manusia—atau lebih dari 70 persen penghuni bumi—dengan total pendapatan US$ 9,3 triliun (Rp 83.700 triliun)—Asia-Afrika menyimpan potensi yang dahsyat. Tapi, kalau garis perjuangan baru itu tidak ”membakar” negeri-negeri dua benua besar tersebut, potensi itu sia-sia. Mengutip Presiden Soekarno saat membuka Konferensi Bandung, ”Let a new Asia and a new Africa be born.”
Mari kita lahirkan Asia dan Afrika yang baru.
Philipus Parera (Jakarta), Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo