Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mahalnya Permintaan Maaf

Cina dan Jepang menolak saling minta maaf. Cina memanipulasi sikap anti-Jepang untuk menggeser posisi Jepang di Asia.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Luar Negeri Jepang, Nobutaka Machimura, tak bisa menyembunyikan wajahnya yang kesal saat meninggalkan Beijing, Senin pekan lalu. Pasalnya, pertemuannya selama dua jam dengan Menteri Luar Negeri Cina, Li Zhaoxing, tak berbuah. Padahal misi Machimura ke Beijing adalah menuntut permintaan maaf dan ganti rugi dari pemerintah Cina atas perusakan kantor diplomatik, perusahaan, dan restoran Jepang di Cina selama tiga pekan terakhir.

Tapi, apa jawab Li Zhaoxing? "Tak ada alasan bagi pemerintah Cina untuk minta maaf kepada rakyat Jepang," ujar Li. Tak ada senyum saat ia menyalami Machimura seusai pertemuan. Bahkan Wakil Menteri Luar Negeri Cina, Wu Dawei, menganggap sikap Jepang-lah yang membakar kemarahan rakyatnya. "Jepang-lah yang seharusnya minta maaf," kata Wu.

Inilah hubungan terburuk kedua negara itu sejak Cina dan Jepang membuka kembali hubungan diplomatik pada 1972. Pemicunya, isi buku sejarah Jepang yang menurut pemerintah Cina meniadakan fakta bahwa tentara Jepang membantai ratusan ribu penduduk sipil di Nanjing saat mereka menduduki Cina pada tahun 1937. Untuk pembantaian itu, sebetulnya Jepang secara resmi sudah minta maaf pada 1995.

Sehari sebelum kedatangan Machimura, demonstrasi anti-Jepang semakin marak. Di Shanghai, sekitar 10 ribu orang bergerak dari balai kota ke gedung konsulat Jepang. Shanghai adalah kota terbesar ketiga di dunia yang dihuni warga negara Jepang—ada 40 ribu orang—setelah New York dan Los Angeles. Kota dagang ini menikmati limpahan investasi Jepang di Cina yang tahun lalu tercatat US$ 48 miliar (Rp 450 triliun).

Meski saling dorong dengan massa, polisi berlagak pilon ketika massa yang sebagian besar mahasiswa melempari gedung konsulat dengan batu, telur, dan botol, atau mengotori dinding dengan cat hitam dan merah. "Babi Jepang, hengkang!" teriak massa. Tiga gadis cilik membawa spanduk bertuliskan "boikot produk Jepang".

Dalam berbagi demonstrasi anti-Jepang, polisi memang hanya menjadi penonton. Bahkan sehari sebelum demonstrasi, beredar pesan singkat lewat telepon seluler dari Kepala Polisi Shanghai agar penduduk Shanghai menunjukkan kecintaan terhadap Cina. Polisi juga memasang tanda penunjuk ke lokasi demonstrasi, dan Radio Shanghai menyiarkan rencana demonstrasi yang kali ini tak butuh izin polisi. Sikap polisi Cina itu dianggap sebagai sikap resmi pemerintah Beijing.

Pengamat Cina, Yu Jie, menilai pemerintah Beijing menjadikan isu buku sebagai komoditas politik. "Demonstrasi itu sarat dengan manipulasi," ujar Yu, seorang pengkritik pemerintah Cina. Menurut Yu, Cina memanipulasi sentimen anti-Jepang untuk memenangi kompetisi dengan Jepang. Meski Jepang masih lebih makmur dibandingkan dengan Cina, kesenjangan ekonomi kedua negara semakin kecil seiring dengan menggeliatnya ekonomi Cina yang siap mendampingi Jepang sebagai raksasa ekonomi Asia.

Selain itu, Cina berang karena Tokyo memihak Taiwan dan bersengketa atas perbatasan di timur laut Cina yang kaya minyak dan gas. Jepang menambang gas di wilayah yang sudah dieksplorasi Cina sejak 2003 itu.

Pada tingkat internasional, Cina menolak usul Amerika Serikat menjadikan Jepang sebagai salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Alasannya, Jepang belum jujur mengakui kekejamannya pada masa lalu. "Hanya negara yang menghargai sejarah yang dapat memenangi kepercayaan rakyat Asia dan seluruh dunia untuk mengambil tanggung jawab lebih besar dalam masyarakat internasional," kata Perdana Menteri Wen Jiabao.

Dari New York, Sekjen PBB berupaya mempertemukan Presiden Hu Jintao dengan Perdana Menteri Junichiro Koizumi di Bandung saat Konferensi Asia-Afrika. Jika pertemuan itu jadi, Hu Jintao siap dengan kartu truf berupa isu moral menghadapi Koizumi. "Cina kini memainkan kartu itu," kata Shi Yinbong, ahli hubungan internasional di Universitas Rakyat, Beijing.

Raihul Fadjri (Washington Post, NY Times, LA Times, The Independent)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus