Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka melanggar undang-undang dengan sengaja. Belasan ribu orang (lima ribu, kata polisi) dalam barisan sangat panjang: kepalanya di monu-men Ninoy Aquino di Epifano de los Santos Avenue (EDSA), buntutnya di kawasan bisnis Makati, Metro Manila. Hari itu, 24 Februari, Presiden Arroyo telah memberlakukan undang-undang darurat militer, undang-undang khusus yang melarang segala bentuk demonstrasi. Tapi, siapa ambil peduli. Hari itu mereka memperingati 20 tahun revolusi people power EDSA I.
Dulu Marcos, sekarang Arroyo, pikir mereka. Mereka berteriak-teriak meminta Presiden Arroyo meletakkan ja-batan. Polisi, yang semula menghalangi, akhirnya membolehkan mereka melangkah menuju EDSA. Pawai dipimpin mantan presiden Corazon Aquino. Lagu protes Bayan Ko berkumandang. Pita dan plakat berisi tuntutan pengundur-an diri Presiden Arroyo dilambaikan. ”Nyonya Presiden, saya minta Anda membuat pengorbanan agung dengan cara mengundurkan diri,” Cory, panggil-an akrab Corazon Aquino, mengulang apa yang telah disampaikannya Juli -tahun lalu.
Berbagai elemen bersatu, mendesak Arroyo menyingkir dari Istana Malacanang. Mereka Gerakan Hitam dan Putih, Laban ng Masa (Perjuangan Rakyat), kelompok militan miskin desa dan kota. Ada ”Dinky” Soliman, bekas Menteri Kesejahteraan Rakyat dalam kabinet Arroyo; bekas Menteri Keuang-an Roberto De Ocampo, bekas Menteri Pendidikan Florencio Abad, dan bekas gubernur bank sentral Jose Cuisia. Mere-ka kelompok ”The Hyatt 10” yang rajin berteriak menyerukan pengundur-an diri Arroyo. Di dalam barisan, juga tampak Ketua DPR Franklin Drilon dan Wali Kota Makati, Jejomar Binay, bekas wakil presiden Teofisto Guingona, Uskup- Agung Manila Kardinal Gaudencio Rosales, dan sejumlah anggota DPR.
Menteri Kehakiman Raul M. Gonzalez mengancam akan menahan dan mendak-wa siapa pun yang turun ke jalan se-bagai pemberontak. Tapi demonstrasi justru berlanjut esok hari. Kali ini mereka juga menentang pemberlakuan undang-undang darurat militer. Menurut Dinky, pemberlakuan undang-undang darurat militer ini mengingatkan pada taktik yang digunakan bekas presi-den Ferdinand Marcos mempertahankan- kekuasaan pada 1972. Dinky hengkang dari kabinet Arroyo pada 2003, dan ia melihat pemberlakuan undang-udang itu siasat Arroyo buat melindungi diri dari tuduhan yang menyudutkannya: main curang dalam pemilu 2004.
Korban pertama undang-undang da-rurat ini adalah koran oposisi Daily Tribun. Polisi menduduki kantor redaksi. ”Semua materi (pemberitaan) The Tribun menghasut orang untuk menjatuhkan pemerintah,” ujar juru bicara polisi, Samuel Pagdilao. Bukan cuma itu. Senin pekan lalu polisi mendakwa 51 orang yang terlibat pemberontakan, termasuk anggota kongres dan sejumlah tentara. Polisi juga memburu bekas perwira pembangkang Gregorio Honasan, yang juga dituduh terlibat dalam upaya kudeta itu.
Aksi disusul reaksi. Di kamp militer Fort Bonifacio, anggota marinir memprotes pencopotan komandan mereka, Mayor Jenderal Renato Miranda. Komandan Unit Marinir, Colonel Ariel Querubin, bersama Komandan Resimen Pertama Scout Ranger, Brigadir Jenderal Danilo Lim, melepas dukungan terhadap Presiden Arroyo. Pemerintah menuduh dua perwira ini melakukan upaya kudeta, dan mereka ditangkap Jumat dini hari. ”Mereka (Lim dan Querubin) berniat bergabung dengan gerakan massa di EDSA yang meminta Presiden Arroyo mundur,” ujar Panglima Angkatan Bersenjata Filipina, Jenderal Generoso Senga.
Tindakan Lim dan Querubin inilah yang dijadikan alasan bagi Presiden Arroyo menandatangani pemberlakuan undang-undang darurat militer yang disebut Proklamasi 1017, Jumat pukul 11.29 siang. Arroyo menyatakan, ada segelin-tir perwira militer menabrak rantai komando untuk melawan pemerintahnya untuk mendirikan rezim di luar konstitusi. ”Pemerintah telah menumpas aksi ilegal itu. Sebagai panglima angkatan bersenjata, saya mengontrol situasi,” ujar Arroyo lewat siaran televisi.
Menurut Arroyo, politisi oposisi ber-konspirasi dengan kelompok ekstrem kiri yang diwakili gerilyawan komunis Pasukan Rakyat Baru (NPA), dan kelompok ekstrem kanan yang diwakili perwira militer petualang. Rencananya, Arroyo akan dibunuh saat ia berkunjung ke akademi militer pada Februari atau Maret.
Sebagai bukti rencana kudeta itu, pemerintah menemukan memory card komputer yang berisi daftar nama sasaran pembunuhan dalam bentuk kode. Selain Arroyo, dalam daftar itu ada nama anggota kabinet Arroyo dan tokoh sipil. Dalam memory card tertera tiga tujuan kudeta: mendepak presiden, mendirikan pemerintahan transisi, dan mengubah sistem politik.
Tapi tuduhan Arroyo ini dianggap mengada-ada oleh kelompok kiri. Sebab, gerilyawan komunis NPA dan militer Filipina adalah dua kutub yang berbeda. Militer Filipina sejak rezim Marcos hingga kini adalah ujung tombak pemerintah menumpas NPA, sehingga mustahil mereka bersekutu menyingkirkan Arroyo. Tuduhan keterlibatan kelompok komunis dinilai hanya untuk mematahkan dukungan terhadap rencana kudeta kelompok perwira muda dalam tubuh militer.
Dalam tubuh militer, sentimen anti-Arroyo memang sudah di ubun-ubun. Dalam beberapa bulan, sejumlah perwira militer yang masih aktif maupun yang sudah pensiun berencana menyingkir-kan Arroyo dan menggantikannya de-ngan komite sipil dan militer. Kelompok pemberontak beralasan, korupsi sudah terlalu merembes sehingga negeri ini perlu dibersihkan dan menata kembali pemerintahan.
Menurut seorang sumber koran Philip-pine Daily Inquirer, Komandan Angkat-an Bersenjata Filipina Jenderal Genero-so Senga membuka diri pada gagasan menghentikan dukungan kepada Pre-siden Arroyo saat bertemu dengan Bri-gadir Jenderal Danilo Lim dan Kolonel Ariel Querubin, Kamis malam. Lim dan Querubin berencana membawa anggota militer tanpa senjata ikut demonstrasi pada peringatan 20 tahun people power-. Tapi belakangan, menurut sumber itu, Senga berubah sikap, dan menangkap Lim serta Querubin dengan tuduhan makar.
Militer tak sepenuhnya suka terhadap- Arroyo. Jenderal Senga berupaya membela korpsnya dengan menyatakan tindak-an Lim dan Querubin bukanlah rencana kudeta sebagaimana tuduhan Arroyo. ”Tak ada kudeta. Hanya upaya sejumlah serdadu bergabung dengan pawai protes rakyat,” kata Senga.
Analis politik lebih percaya pada per-sekutuan perwira militer dengan kekuatan sipil anti-Arroyo tinimbang konspirasi perwira militer dengan gerilyawan komunis NPA. Menurut bekas rektor Universitas Filipina, Francisco Nemenzo, ada pembicaraan antara kelompok anti-Arroyo dan anggota militer aktif. Mereka tak hanya mengingin-kan perubahan rezim, tapi juga perubahan sistem, dengan menerapkan sistem pemerintahan baru. ”Ini akan menjadi kombinasi gerakan massa dan kelompok militer reformis,” ujar Nemenzo.
Nemenzo memperingatkan, peme-rintahan Arroyo bakal berakhir karena semua pilar penopang kekuasaan negara, yakni hierarki Gereja, bisnis besar, dan mesin militer, menginginkan Arroyo mundur. Tapi, rupanya petinggi militer setengah hati menginginkan Pre-siden Arroyo terjungkal dari kekuasaan. Untuk sementara, Arroyo masih aman di Istana Malacanang, dan undang-undang darurat militer pun ia cabut Jumat pekan lalu.
Raihul Fadjri (Manila Times, Philippine Daily Inquirer, LA Times, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo