Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sang PM dan Perang Saudara

Kekerasan sunni-syiah di Irak makin panas. Desakan mundur terhadap PM Ibrahim Jaafari semakin kuat. Ia dianggap mewakili syiah garis keras yang anti Amerika.

6 Maret 2006 | 00.00 WIB

Sang PM dan Perang Saudara
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Matahari baru saja nongol. Tapi hiruk-pikuk pasar sayur di Zafaraniyah, daerah pemukiman padat kaum syiah di tenggara Bagdad, tidak seperti- biasa. Waktu itu, sebuah bom meledak —8 warga tewas, 14 luka-luka. Sekarang, teror bergerak menghampiri Kota Sadr, daerah kumuh syiah di timur Bagdad. Sasarannya sebuah minibus yang lagi berjalan—sopir dan seorang pe-numpang tewas, empat penumpang luka-luka. Irak pekan lalu, Irak pasca--peledakan Kompleks Makam Imam Hasan al-Askari di Samarra: negeri di tubir pe-rang saudara.

Ledakan bom susul-menyusul; korbannya bisa sunni, bisa syiah. Surat kabar Washington Post menyebut: hingga pekan lalu 1.300 orang tewas sejak peristiwa di Samarra. Serangan ke Sadr City membuktikan, bom bisa meledak di jantung pemukiman syiah itu. Tamparan yang menyakitkan. Sadr City atau Kota Sadr tempat tinggal para pendukung Muqtada Al-Sadr, ulama muda syiah, anti keberadaan pasukan asing di Irak. Dalam pemilihan tahun lalu, 98 persen dari dua juta warga Sadr City memilih partai pimpinan Muqtada Al-Sadr, Al-Kadr wa Nakhab Al-Wathoniyah Mustaqillah (Partai Kader dan Elit Nasional Independen).

Muqtada Al-Sadr ini pula yang dituding melindungi Tentara Mahdi, milsi- yang menyerang masjid-masjid dan ulama-ulama sunni Irak. Partai pimpin-an Muqtada pada Pemilu lalu menyetor- tidak sampai 10 wakil di parlemen Irak. Secara keseluruhan kaum syiah memenangkan 130 kursi dari 275 yang tersedia.

Kini keadaan semakin genting. Pe-rang- saudara di Irak punya konsekuen-si mengerikan: mengundang intervensi Arab Saudi membantu minoritas sunni-, menggelitik Iran menolong mayo-ritas syiah. Dan pemerintah baru yang dimpimpin PM Ibrahim Jaafari mesti- bergerak cepat. Sunni yang telah ber-kuasa sejak pembentukan negara Irak— sepanjang 90 tahun—masih susah menerima kenyataan bahwa mereka cuma minoritas, seperlima dari penduduk Irak. Sedangkan syiah tidak begitu -ikhlas berbagi kekuasaan dengan sunni. Apalagi para tokoh sunni tampak tidak berdaya menghentikan teror kaum militan sunni yang menghancurkan masjid-masjid syiah.

Pemerintah harus bertindak cepat, tapi PM Ibrahim Jaafari serba kikuk. Dalam pemilu, Jaafari mendapat dukungan Muqtada yang anti-AS. Kini, kelompok syiah militan pimpinan menuntut pemerintah tegas menindak pelaku peledakan salah satu tempat suci kaum syiah di Samarra itu. Dan kelompok Sunni minta pemerintah menangkapi pelaku peledakan masjid-masjid sunni dan pembunuhan ulama-ulamanya.

Kekerasan sektarian di lapangan, tampaknya segera pindah ke arena politik. Rabu pekan lalu, tiga pimpinan partai—sunni, Kurdi dan syiah sekuler pimpinan bekas Perdana Menteri Ayad Allawi—bersepakat menggusur Jaafari-. Mereka ingin menggantinya dengan kandidat syiah yang lebih moderat. Tapi Nuri Kamal Muhammad Hasan, anggota parlemen pendukung Jaafari dari Partai Dawah Islamiyah menolak keinginan sekelompok politisi itu. ”Kekerasan yang terjadi sekarang sengaja dicipta-kan untuk membusukan pemerin-tah pimpinan Sayyid Jaafari,” kata Wakil Pertama Dewan Revolusi Islam Irak itu kepada Tempo.

Menurut Nuri memusuhi pemerintahan pimpinan Jaafari sebuah kesalahan besar. Karena Perdana Menteri Jaafari lebih mementingkan persatuan bangsa- Irak, dari pada kelompoknya sendiri, Syiah. ”Sedari awal Sayyid Jaafari ingin- membentuk negara Irak yang bebas dari penjajahan. Dan pasukan asing harus keluar dari Irak sesuai dengan resolusi PBB No.1546 tahun 2004 segera setelah terbentuknya majelis Al-Wathoniyah (Dewan Nasional),” katanya.

Perdebatan terus bergulir, begitu juga teror yang menggiring negeri itu ke me-dan perang saudara. Presiden AS, George W Bush menelepon para pemimpin agar mereka mengutamakan persatuan. Ia meminta tentara AS tak ikut-ikutan dalam kekerasan antar-sekte itu. ”Solusi tergantung rakyat Irak, bukan dengan 130 ribu tentara,” ujarnya.

Kekerasan sekte adalah ”bom waktu” yang ditanam penguasa masa lalu. Selama rezim Partai Baath pimpinan Saddam Hussein berkuasa selama 35 tahun, rakyat Irak praktis berada dalam kehidupan yang serba tertekan. Saddam, dengan politik pecah belahnya, memanjakan minoritas sunni, menindas Kurdi dan mayoritas Syiah. Bahkan ulama-ulama serta politikus syiah dipenjarakan, diusir dan dibunuh dengan berbagai macam cara.

Pasukan koalisi asing berhasil me-nying-kirkan Saddam, tapi keberadaaan mereka di Irak juga menimbulkan banyak- masalah sekarang. Kaum sunni yang akan mengalami nasib sebagai kaum minoritas, berusaha memboikot pemilu. Mereka mengajukan berbagai alasan: dari keamanan yang tak kondusif, hingga menuntut jadwal penarik-an tentara AS yang jelas.

Namun desakan untuk terjadinya- pemilu begitu kuat. Keinginan AS berlama--lama mempertahankan pemerintahan ”boneka”nya, kalah kuat dengan keingin-an rakyat. Apalagi pemimpin spiritual Syiah Irak, Ayatullah Ali Sistani yang tinggal di Kota suci Najaf, menganjurkan Irak menempuh demokrasi dalam menentukan pimpinan. Walau begitu, tentara koalisi pimpinan AS masih dipertahankan untuk menjaga keamanan Irak.

Pemilihan umum dinilai cukup berhasil. Kaum Kurdi mendapat kursi Presiden, dengan wakil dari Syiah dan Sunni. Syiah memimpin pemerintahan dan Ketua Parlemen berasal dari Sunni. Usulan Jaafari membentuk negara federal ditolak kalangan sunni. Karena dianggap akan tak adil. Daerah-daerah yang dikuasai Kurdi dan syiah, le-bih makmur dan sumber daya alam yang berlimpah. Sedangkan penduduk mayo-ritas Sunni berada di daerah ”kering”.

Selain itu sunni militan yang disusupi jaringan teroris dari luar Irak (Al-Qaidah) pimpinan Abu Musab Al-Zarqawi, dibantu bekas loyalis Saddam, terus menerus mengoyak kehidupan masyarakat Irak. Ditambah lagi dengan militan Syiah yang kadang kala bertindak berlebihan.

Direktur Hak Asasi Manusia dari kantor misi bantuan PBB di Irak, John Pace menilai situasi saat ini lebih buruk dibandingkan pada zaman Saddam Hussein. ”Di bawah Saddam, kebebasan berekspresi, berpendapat dan berpolitik memang ditindas. Tapi yang sekarang terjadi, sangat primitif. Situasi chaotic, setiap orang tak tahu apa yang harus diperbuat dan apa yang terjadi,”katanya.

Duta Besar AS di Bagdad, Zalmay Khalilzad, meminta pemerintah saat ini memberi jabatan Menteri Dalam Negeri dari pihak Sunni. Jika tidak, Khalilzad mengancam akan meminta pemerintah AS menghentikan bantuannya kepada Irak. International Crisis Group dalam laporannya tentang Irak juga memberi jalan keluar yang sama, Menteri Dalam Negeri atau Menteri Pertahanan sebaik-nya diberikan kepada tokoh Sunni mo-derat yang berpengaruh. Akhirnya, memang cuma bagi-bagi kue kekuasaan. Namun, rakyatlah yang menjadi korbannya.

Ahmad Taufik (The Washington Post, ABC, BBC dan ICG Report)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus