Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAVOOD Taraji berdiri di dekat kulkasnya saat mengeluhkan kenaikan harga sejumlah bahan kebutuhan pokok, yang membuat mesin pendingin dua pintunya itu hampir melompong beberapa pekan terakhir. "Harga telur naik berlipat-lipat. Susu kini 40 persen lebih mahal. Harga buah dan sayuran naik 100 persen," kata sopir taksi di Teheran itu, seperti dilansir CNN, pertengahan Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komentar Taraji adalah keluhan sehari-hari warga Iran setelah pemerintah Amerika Serikat di bawah Donald Trump memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Negeri Para Mullah sejak 6 Agustus lalu. Trump mengoreksi kebijakan pendahulunya, Barack Obama, dengan menarik diri dari kesepakatan nuklir antara Iran dan enam negaraAmerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Cina, dan Rusiayang diteken pada 2015.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Taraji juga risau karena pekerjaannya sebagai sopir terancam hilang. Ia mengendarai mobil buatan Toyota, yang suku cadangnya terkena sanksi Amerika. Stok suku cadang pun menipis dan mahal karena nilai mata uang rial Iran melemah tajam. Pada 2010, US$ 1 setara dengan 45 ribu rial. Tapi, pada awal September lalu, nilai rial anjlok sampai 120 ribu per dolar Amerika.
Krisis ekonomi juga mendongkrak harga sewa rumah. "Fluktuasi pasar valuta asing mempengaruhi pasar perumahan," ucap Hesam Oqabai, Ketua Serikat Agen Properti Teheran. Akibatnya, harga properti naik dua kali lipat di beberapa kawasan permukiman di Teheran.
Menurut laporan bank sentral Iran, biaya perumahan menyumbang lebih dari 35 persen pengeluaran rumah tangga selama setahun terakhir. Sementara itu, pemerintah tidak dapat mengatasi masalah kenaikan upah saat tingkat inflasi sedang tinggi. Akibatnya, keluarga di Teheran harus mengurangi pengeluaran untuk mengimbangi kenaikan harga sewa atau mencari tempat tinggal yang lebih murah.
Fluktuasi kurs juga membuat penyewa rumah mematok harga bukan dengan rial, tapi koin emas. Esamil Jalali, pemilik properti di Vanak, Teheran utara, meminta calon penyewa membayar dengan dua koin emas untuk sewa apartemen 95 meter persegi sebulan. Harga koin emas 36-40 juta rial. "Saya tahu mungkin banyak yang tidak mampu membelinya. Tapi, jika terus menyewakan unit apartemen dengan rial, saya akan rugi," kata Jalali.
Kejatuhan rial terjadi sejak Desember tahun lalu, ketika Washington mengisyaratkan penarikan diri dari kesepakatan nuklir. Saat itu, nilai tukar rial berada di level 45 ribu per dolar. Namun kesulitan ekonomi sudah mulai menggigit ekonomi Iran, yang kemudian memicu unjuk rasa besar pada Desember 2017 dan terus berlangsung dalam jumlah kecil pada bulan-bulan berikutnya.
Pemerintah berusaha mencegah kurs merosot dengan menetapkan nilai tukar dolar di angka 42 ribu rial pada April. "Upaya unifikasi belum terbukti berhasil," tutur Ehsan Khoman, kepala penelitian dan ahli strategi di Mena, yang dinaungi lembaga pemberi pinjaman asal Jepang, MUFG. Nilai rial makin jatuh setelah Donald Trump resmi mengumumkan penarikan diri dari kesepakatan nuklir, Mei lalu.
Ketua Badan Peradilan Ayatullah Sadeq Amoli Larijani dalam surat kepada pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khamenei, 26 Juni lalu, menyatakan Amerika, Israel, pesaing regional Arab Saudi, dan lawan-lawan pemerintah yang tinggal di pengasingan telah mengobarkan kerusuhan. "Kondisi ekonomi khusus saat ini adalah perang ekonomi," kata Larijani. Ia menyarankan pembentukan pengadilan khusus untuk menangani kejahatan keuangan dengan cepat.
Khamenei setuju. Menurut Radio Farda, sampai akhir Juli lalu, 29 orang telah ditangkap atas tuduhan "mengganggu ekonomi". Juru bicara Badan Peradilan, Gholamhossein Mohseni Ejei, menyatakan 18 orang ditahan atas tudingan mengganggu pasar mata uang lokal dan mengimpor kendaraan secara ilegal. Banyak di antara mereka ditahan karena dituduh membeli koin emas dalam jumlah besar. Salah satunya Hameed Mazloumin, yang membeli lebih dari 2 ton koin emas dalam sepuluh bulan terakhir.
Bank sentral Iran menyebutkan kenaikan harga emas dan fluktuasi kurs tidak berkaitan dengan realitas ekonomi Iran. "Perkembangan terbaru di pasar emas dan valuta asing adalah bagian dari konspirasi musuh-musuh negara untuk mengguncang ekonomi," demikian pernyataan bank sentral Iran. Meski petinggi Iran menyalahkan Amerika atas krisis ini, jutaan orang telah berjuang di tengah kemerosotan ekonomi setidaknya selama setahun terakhir.
Menurut NBC, keluarga Iran menimbun belanjaan karena supermarket sering tidak memiliki produk sehari-hari di rak atau mereka takut harga akan segera melonjak. Ada hiperinflasi dan tingkat pengangguran nasional mencapai 12,5 persen. Kondisi kaum muda bahkan lebih buruk: sekitar 28 persen pemuda tak punya pekerjaan.
"Saya belum pernah melihat ekonomi begitu buruk. Orang-orang yang saya ajak bicara, yang telah bekerja selama 30 tahun terakhir atau lebih, mengatakan kondisi ini adalah yang terburuk yang pernah mereka lihat," ucap Pouria Pakan, pengelola pabrik pakaian anak-anak. "Ini sangat aneh. Anda melihat harga naik 30 persen, 40 persen, 50 persen dalam semalam."
Kelas menengah Iran lebih berhati-hati menanggapi krisis karena khawatir gejolaknya bisa membuat negara ini bernasib seperti Irak atau Suriah, yang terperosok ke dalam konflik. Menurut Peyman Pakan, saudara Pouria, awalnya semua orang sangat berharap pada hasil kesepakatan nuklir 2015. Beberapa bulan setelah kesepakatan itu dicapai dan sanksi dicabut, maskapai penerbangan Iran menandatangani kontrak pembelian lebih dari 300 pesawat dari Airbus dan Boeing. Pembelian itu bertujuan memperbaiki armada penerbangan sipil Iran yang tua karena puluhan tahun terkena sanksi Amerika. Hampir 2.000 warga Iran tewas dalam kecelakaan pesawat karena armadanya yang tua.
Menurut Time, situasi Iran memang tidak langsung membaik setelah sanksi dilonggarkan karena harga minyak dunia saat itu tengah turun. Ketika Presiden Trump menerapkan sanksi lagi pada 6 Agustus, industri penerbangan Iran menjadi salah satu korban. Parlemen meminta penjelasan Presiden Hassan Rouhani mengenai krisis ini dalam sidang pada akhir Agustus lalu. Selama delapan bulan terakhir, Rouhani didesak agar memecat tim ekonominya di tengah memburuknya krisis ekonomi. Menteri Tenaga Kerja serta Menteri Keuangan dan Ekonomi Iran pun sudah dilengserkan parlemen melalui mosi tidak percaya.
Di bawah rentetan kritik, dalam pidatonya, Rouhani menyatakan berfokus mengatasi dampak sanksi Amerika ini. Ihwal devaluasi mata uang Iran, Rouhani menyatakan "masalah sosial, psikologis, dan hubungan luar negeri lebih mempengaruhi tingkat pertukaran mata uang ketimbang alasan ekonomi".
Sebagian besar warga Iran menganggap pemerintah harus bertanggung jawab atas krisis ini. "Saya tidak berpikir situasi kami ada hubungannya dengan Amerika. Sanksi baru saja dimulai," kata Peyman Pakan. Ayatullah Khamenei, dalam pernyataannya, Senin lalu, menyebutkan, jika memiliki manajemen ekonomi baik, Iran dapat menahan dampak sanksi Amerika, termasuk sanksi perdagangan minyak yang direncanakan Presiden Trump berlaku pada 5 November mendatang.
Abdul Manan (CNN, NBC, Middle East Eye, Radio Farda, VOA News)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo