Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah bersama Bank Indonesia telah mengerahkan berbagai upaya untuk menahan pelemahan nilai rupiah, dari menaikkan pajak barang impor hingga mengawasi pembelian valuta asing. Langkah yang lebih fundamental seharusnya segera diambil demi menyelamatkan rupiah sekaligus mencegah krisis ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Medio pekan lalu, nilai rupiah nyaris menyentuh angka 15 ribu per dolar Amerika Serikat, posisi terendah sejak krisis moneter 1998. Pada akhir pekan, rupiah menguat tipis, tapi kondisi mata uang kita tetaplah kritis. Selain karena meredanya tekanan global, penguatan rupiah diperkirakan efek dari serangkaian kebijakan jangka pendek yang dijalankan bank sentral. Demi menahan gejolak rupiah, pekan lalu Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar valuta asing dan memborong surat berharga negara Rp 10,6 triliun di pasar sekunder.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan menggandeng Otoritas Jasa Keuangan, bank sentral juga mengawasi pembelian valuta asing yang tak wajar. Pengawasan itu memang dimungkinkan lewat Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Valuta Asing, khususnya untuk pelaku bisnis domestik. Hanya, cara ini tidak akan efektif untuk menolong rupiah dalam jangka panjang. Realitasnya, sekitar 40 persen surat utang negara dipegang investor asing. Mereka tak bisa dikendalikan karena Indonesia memberlakukan rezim devisa bebas setelah krisis moneter 1998. Investor bebas keluar-masuk sesukanya dan selama ini kita juga mengambil faedah dari masuknya modal asing.
Pemerintah juga telah mengeluarkan serangkaian kebijakan untuk menjinakkan rupiah. Pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menaikkan pajak penghasilan pasal 22 untuk 1.147 produk impor demi menekan defisit transaksi berjalan, biang merosotnya nilai tukar rupiah. Kenaikan pajak impor ini terutama ditujukan pada barang konsumsi dan barang mewah. Sebelumnya, pemerintah juga mewajibkan pemakaian bahan bakar solar dengan campuran 20 persen minyak sawit buat mengurangi impor minyak mentah.
Untuk mengurangi defisit transaksi berjalan, pemerintah seharusnya mengambil langkah yang lebih fundamental. Soalnya, angka defisit telah mencapai US$ 8 miliar atau 3,04 persen dari produk domestik bruto pada kuartal kedua tahun ini. Bank Indonesia menargetkan defisit neraca transaksi berjalan berada di bawah 3 persen pada akhir tahun. Tapi sasaran itu sulit dicapai jika pemerintah tidak melakukan langkah yang lebih signifikan.
Pemerintah seharusnya berani menaikkan harga bahan bakar minyak demi mengurangi defisit tersebut. Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan impor minyak dan gas bumi menyumbang defisit US$ 1,19 miliar atau 60 persen dari total defisit neraca perdagangan pada Juli lalu. Kenaikan harga bahan bakar minyak bisa menekan kebutuhan impor migas sekaligus mengurangi subsidi demi menyehatkan perekonomian.
Presiden Joko Widodo perlu mempertimbangkan kebijakan yang tak populer itu kendati akan menghadapi pemilihan umum tahun depan. Fundamen ekonomi Indonesia akan lebih bagus jika pemerintah tidak banyak menghamburkan anggaran negara untuk subsidi bahan bakar minyak. Pemerintah juga mesti mengubah asumsi makro anggaran negara 2019, termasuk asumsi nilai tukar rupiah, agar lebih realistis.
Faktor global, terutama penguatan dolar Amerika, yang terus-menerus menekan nilai tukar rupiah, jelas tak bisa kita kontrol. Tapi pemerintah bisa mengambil kebijakan yang lebih mendasar kendati akan terasa pahit demi mencegah krisis ekonomikeadaan yang justru makin tidak menguntungkan secara politis bagi Jokowi jika terjadi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo