HARI-hari terakhir musim dingin telah menyambut kedatangan PM Jepang Yasuhiro Nakasone di Beijing Tembakan kehormatan 19 kali, Jumat silam menggema di seantero Lapangan Tienanmen dan Balai Rakyat Agung yang dikawal ketat. Suhu bergerak dari 1 sampai 11 C, awal pergantian musim yang tampaknya amat cocok bagi tokoh kedua raksasa Asia itu untuk melancarkan pendekatan. Nakasone adalah PM Jepang keempat berkunjung ke Cina sejak normalisasi hubungan kedua negara tahun 1972. Lawatannya ini tidak sekedar membalas kunjungan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina Hua Yaobang ke Tokyo November lalu. Menjalin kerja sama lebih erat adalah tujuan utamanya terutama di bidang ekonomi dan teknologi. Kepada Nakasone Deng Xiao Ping, yang amat berkepentingan menyukseskan modernisasi Cina, telah mengundang ratusan bahkan ribuan pengusaha Jepang untuk menanamkan modal di negerinya. Seakan bermaksud memperbaiki kesalahan lama. Deng berjanji memberi perlindungan ekstra. Dan kalau perlu kompensasi diberikan bagi pengusaha Jepang yang merugi akibat tindakan Cina, yang, maklumlah, kurang berpengalaman. Uluran ramah dari Deng diimbangi Nakasone dengan satu paket pinjaman dan satu bingkisan bantuan. Kredit 470 milyar yen (sekitar Rp 2 trilyun) dimanfaatkan untuk tujuh proyek besar terutama di bidang angkutan dan pelabuhan. Sedangkan bantuan 5 milyar yen (Rp 22 milyar) akan digunakan membangun sebuah pusat telekomunikasi dan lembaga penelitian pengolahan daging. Nakasone, yang dijuluki "sahabat lama Cina" oleh Harian Rakyat terbitan Beijing, telah pula diimbau Deng untuk melakukan investasi di daerah istimewa ekonomi yang kini tersebar di empat wilayah, tiga di provinsi Kanton, satu di Hokian. Dalam masa depan yang dekat, RRC akan membuka daerah istimewa baru di Kota Dairen dan Shanghai. Sampai pada tahap ini segalanya tampak cerah, tapi baik Deng maupun Nakasone tidak menyembunyikan syak wasangka masing-masing. Cina, misalnya, keberatan dengan upaya militerisasi Jepang, kendati hal ini dilakukan Tokyo untuk membendung ancaman Soviet. Dalam tanggapannya, Nakasone yang berjanji "Jepang tidak akan berperang lagi" sekaligus bertanya "apakah Cina sudah mantap pada tekad modernisasi dan politik buka pintu pada dunia luar." Ini dilontarkan di Universitas Beijing, di hadapan mahasiswa yang kebanyakan berpakaian Barat. Acara itu disiarkan langsung oleh tv, sesuatu yang amat jarang terjadi di Cina. Dengan perlakuan akrab serupa itu, tak pelak lagi benih persahabatan telah disemaikan. Hal lain yang perlu dicatat ialah volume perdagangan yang meningkat dari US$ 1,1 milyar pada tahun 1972 menjadi US$ 10 milyar pada tahun 1981. Di luar dugaan, pada tahun 1983 RRC mencatat neraca perdagangan positif dengan Jepang. Nilai ekspornya US$ 5 milyar, sebagian besar meliputi minyak dan batubara. Pada 1983 itu pula Jepang mengekspor US$ 4,9 milyar ke RRC berupa besi baja, mesin, dan barang kimia. Belakangan, rintisan swasta Jepang, kendati belum menandingi swasta AS, bisa dibilang lumayan. Hitachi melayani pesanan komputer: 7 ukuran raksasa, 1 sedang, 10 kecil. Seluruhnya meliputi 1,8 milyar yen (Rp 8 milyar). Mitsubishi menyediakan pressure container senilai 1 milyar yen (Rp 4,5 milyar) untuk pembangkit listrik tenaga atom pertama di Cina. Dan Daihatsu adalah perusahaan mobil Jepang yang pertama mendapat kesempatan merakit tipe kendaraan truk ringan. Tidak mau kalah Bank Exim Jepang akan memberi kredit US$ 3 milyar mulai tahun depan untuk penambangan minyak dan batu bara. Setelah pengeboran minyak lepas pantai di Laut Bohai yang ikut dibiayainya menunjukkan tanda-tanda sukses dengan produksi minimal 250.000 barel per hari, bank itu mengalihkan sasaran ke ladang batu bara di Dzunggari dan Mongolia Dalam. Cina diperhitungkan memang akan memerlukan banyak sekali bahan bakar untuk menggerakkan industri di samping mengaut devisa. Yang disebut terakhir ini mutlak untuk membiayai lompatan modernisasi bagi satu milyar rakyat. Mengingat potensi pasar yang luar biasa itu, tak heran bila Jepang menggarap kerja sama ekonomi dan teknologi bidang yang bagi AS juga "aman" ketimbang isu Taiwan atau kerja sama militer. Adapun perundingan Sino-Soviet putaran keempat, yang boleh dibilang tidak menunjukkan kemajuan, sudah merupakan isyarat akan kecondongan sikap Cina di masa depan. Dalam rangka ini adalah wajar sekali bila Nakasone mematangkan gagasan pembentukan Komite Persahabatan Cina-Jepang abad ke-21, khusus membina hubungan bilateral jangka panjang, terutama di bidang budaya dan kepemudaan. Terlepas dari pendekatan politik atau militer yang hasilnya masih terlalu samar, kunjungan Nakasone telah memenangkan janji Deng Xiao Ping untuk meletakkan sebuah landasan kerja sama yang kukuh bagi kedua negara, selagi kesehatannya mengizinkan. Umur Deng sekarang 80 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini