Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Lima Tahun yang (Hampir) Sia-sia

NATO membutuhkan lebih banyak pasukan yang akan ditempatkan di Afganistan. Kekuatan Taliban tak terduga.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka datang dari selatan. Orang-orang Pashtun, bersorban hitam, pernah sangat berkuasa beberapa tahun silam. Tahun 2001, ketika pesawat-pesawat Amerika Serikat menghujani dengan bom, dan artileri Aliansi Utara tak henti menghantam, mereka meninggalkan Kabul. Ya, Taliban tidak mati tergencet. Me­reka pulang ke rumah-rumah lumpur di desa-desa kelahiran mereka di selatan Afganistan.

Hari itu, 2 September, di distrik ­Panj­wayi, dekat Kandahar, pasukan Kanada yang didukung pasukan Ame­rika Serikat, Belanda, dan Inggris, me­ngetes dalamnya air. Itulah pasukan terbesar yang pernah diterjunkan se­lama ini. Pertempuran hebat pecah beberapa hari dan mereka menyaksikan seribu Taliban muncul. Kali itu, Kana­da kehilangan lima tentaranya—satu di ­antaranya karena peluru tentara Amerika. Sedangkan di pihak Taliban, menurut keterangan pasukan sekutu, kehilangan 300 orang.

Minggu lalu, medan Afganistan me­nuntut banyak korban. Di Provinsi Hel­mand, serangan mendadak Taliban te­lah menewaskan lima serdadu Inggris. Di Kabul, 14 tentara Inggris meninggal setelah pesawat mereka jatuh. Ya, Afga­nistan bukan negeri yang gampang di­lipat. Solusinya, ”Kita membu­tuhkan 2.000 sampai 2.500 serdadu tambahan, juga helikopter pemburu dan pesa­wat pengangkut,” kata Jenderal James L. Jones, komandan pasukan NATO di sana.

Inilah bulan kedua ketika pasukan NATO, gabungan pasukan negara-ne­gara Atlantik Utara, menggantikan posisi pasukan Amerika. Tapi inilah Afganistan yang punya aneka masalah: pe­merintahan pusat yang tak berdaya, wilayah yang seolah-olah tidak bertepi, dan jumlah pasukan yang tak memadai. Sekitar 18 ribu personel pasukan NATO (dari 37 negara), ditambah tentara na­sional Afganistan, sisa pasukan Amerika, mencoba menghadapi musuh yang tak terduga: Taliban, kadang-kadang juga para warlord.

”Konflik di Afganistan lebih intens dibanding di Irak,” kata Jones. Dan masing-masing negara yang mengirimkan pasukan harus menghadapi dua me­dan sekaligus: memenangi medan Afganistan, meringankan tekanan dari dalam negeri masing-masing. Majalah The Economist menyebut betapa pihak Amerika suka membesar-besarkan pemilu 2004 dan 2005 sebagai alasan memperkuat legitimasi pasukannya di sana. Sedangkan Jerman selalu menekankan betapa pentingnya keberadaan pasuk­annya di sana, kendati sedapat mungkin mereka menghindari medan ber­bahaya. Ya, meyakinkan publik dalam negeri sendiri tak begitu mudah. Apalagi meyakinkan rakyat Afganistan.

Tahun ini Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengumumkan produksi opium Afganistan naik 49 persen. Bahkan di Provinsi Helmand, pangkalan 3.000 tentara Inggris, panen opium sukses besar; naik 162 persen dibanding tahun lalu. Diperkirakan Taliban mengguna­kan uang opium untuk membeli senjata dan kebutuhan tempur lain.

Mengambil hati rakyat Afganistan m­emang tak mudah. Tapi kesempat­an emas mungkin terbuka tak lama lagi: musim dingin, ketika pertempuran me­reda. Pasukan NATO bisa memper­luas jaringan listrik di negeri itu—kurang dari satu persen rakyat yang menikmati listrik. Di musim dingin nanti, pertempuran Taliban-NATO mungkin tidak banyak menggunakan amunisi, me­lainkan uang tunai. Uang tunai buat menawan hati masyarakat yang selama ini luput dari perhatian para petarung di medan perang.

Tapi inilah Afgansitan yang tak p­as­ti. Jumat pekan lalu, sebuah sedan To­yo­ta Corolla biru melesat melewati­ mobil ­lain. Pengendaranya seorang pemuda, ­se­­raya memacu kendaraan di ja­lanan tak ­le­­bar itu lebih cepat. Tak lama, orang pun tahu yang bersembu­nyi di dalam pi­kiran­nya. Ia menabrakkan kendaraannya pada ­sebuah kendaraan iring-­iringan patroli pasukan Amerika Serikat tak jauh dari Kedutaan Ameri­ka Serikat di dekat ­Lapangan Ahmad Shah Masoud, Kabul. Ada 16 orang tewas, ­termasuk dua ser­dadu Amerika, Jumat pekan lalu. Seorang saksi mata memberikan ke­terangan ini kepada kantor berita AFP.

Idrus F. Shahab (AFP, Reuters, The Economist)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus