Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIRNYA keputusan itu pun keluar dari meja hakim pengadilan pemilu federal pada Selasa pekan lalu. Pengadilan menyatakan Felipe Calderón, 44 tahun, sebagai presiden terpilih dalam pemilu 2 Juli lalu. Di luar gedung, kelompok kiri pendukung seteru Calderón, Andres Manuel López Obrador, mengumbar kemarahan dengan menyulut mercon dan melempari gedung pengadilan dengan sampah. ”Curang, curang, curang,” teriak mereka.
Keputusan pengadilan itu merupakan kelanjutan keputusan tujuh hakim dua pekan sebelumnya, yang menolak gugatan López Obrador, 52 tahun, dengan tuduhan kecurangan besar-besaran dalam penghitungan suara. Jajak pendapat menunjukkan 30 persen penduduk Meksiko yakin bahwa pemilu dicurangi. Tapi tujuh hakim pengadilan pemilu federal punya pendapat lain. ”Klaim López Obrador sama sekali tak ditemukan,” ujar Leonel Castillo, hakim ketua pengadilan pemilu.
Bekas Wali Kota Meksiko ini menuntut penghitungan ulang semua kertas suara, tapi pengadilan hanya melakukan penghitungan ulang terbatas. Hasilnya, suara Calderón hanya menyusut 4.000, sehingga bekas menteri energi dalam kabinet Presiden Vicente Fox ini tetap unggul tipis 240 ribu suara (0,56 persen) atas perolehan suara López Obrador.
Sebelumnya keriuhan berlangsung di gedung Kongres. Anggota parlemen pendukung dari Partai Revolusi Demokratis kubu López Obrador menghalangi Presiden Fox naik ke podium untuk menyampaikan pidato kenegaraan. Di Zócalo, alun-alun kota, pendukung López Obrador membakar poster sang presiden. ”Mampuslah Fox,” teriak mereka. Fox akhirnya menyingkir dan membacakan pidatonya di istana kepresidenan.
Ribuan pendukung López Obrador yang membangun tenda terpal kecil mengepung Zócalo dan jalan utama Paseo de la Reforma. ”Kami akan tinggal di sini selama dibutuhkan agar López Obrador dinyatakan sebagai pemenang,” ujar Norma Cruz, 48 tahun, seorang ibu rumah tangga miskin dari desa di selatan Oaxaca. Norma bersama suami dan empat anaknya telah hampir sebulan tinggal di tenda di Zócalo. ”Hanya ini cara yang tersisa yang bisa dilakukan atas monopoli kekuasaan ekonomi di Meksiko,” kata Norma.
Tapi kalangan menengah Meksiko justru berharap keputusan pengadilan itu bisa mengakhiri aksi protes yang sudah berlangsung selama dua bulan. ”Sekarang kita dapat tidur dengan mudah. Meksiko tak butuh Robin Hood modern seperti yang dicoba dilakukan López Obrador,” ujar Josefina del Castillo, yang meneguk kopi di kafe mewah di Kota Meksiko.
Maklum, demonstrasi panjang kaum papa itu menimbulkan masalah bagi penduduk Kota Meksiko. Jalan macet, bisnis pun terganggu. Konfederasi pengusaha memperkirakan blokade selama enam pekan telah merugikan kegiatan bisnis kota sekitar US$ 375 juta. Padahal kerumunan tenda itu tak jelas kapan akan menghilang.
Tapi penduduk kelas menengah semacam Josefina del Castillo salah duga. Putusan pengadilan itu justru membuat López Obrador kalap. Ia menuduh hakim, penyelenggara pemilu, media, dan pengusaha kelas kakap bersekongkol melawan dirinya.
Dalam pidato harian di hadapan ribuan pendukungnya yang memadati tenda-tenda kecil di Alun-alun Zócalo, López Obrador menyatakan tak akan bernegosiasi dengan Calderón, dan juga tidak mengakui legitimasi Calderón sebagai presiden. ”Saya tak mengakui seorang yang mencoba bertindak sebagai ketua eksekutif federal (presiden) yang tak punya legitimasi,” ujar López Obrador. Pendukungnya menjawab: ”Felipe, rakyat tak menginginkan Anda!”
Situasi semakin runyam ketika pendukung López Obrador menandatangani tekad menggelar konvensi nasional yang akan membentuk pemerintah baru dengan López Obrador sebagai presiden. Konvensi itu rencananya akan berlangsung pada 16 September, berbarengan dengan parade militer dalam rangka hari kemerdekaan.
Tak mengherankan bila kalangan kanan menuduh López Obrador bukan seorang demokrat karena tak bisa menerima kekalahan. ”Dia seorang revolusioner dengan mentalitas totalitarian dan aspirasi mesiahnya yang menggunakan retorika demokrasi untuk merusak upaya demokrasi di Meksiko,” tulis Enrique Krauze, pengamat politik Meksiko dalam editorial koran Washington Post.
Sebaliknya hiruk-pikuk López Obrador dan pendukungnya ditanggapi kalem oleh seterunya, Felipe Calderón. ”Pemilu sudah berakhir. Sekarang waktunya bersatu dan bersepakat,” kata Calderón. Ia malah mengajak Lopez Obrador bergabung dengannya menutup perpecahan politik yang meluas selama kampanye pemilu dan ketegangan selama dua bulan menanti keputusan pengadilan. ”Untuk sekarang, sikap ini (perlawanan) tak membantu mengatasi situasi penderitaan dan kesengsaraan kehidupan rakyat paling miskin di negeri ini,” kata Calderón.
Reaksi keras López Obrador membuat Felipe Calderón terpaksa melunakkan garis politik kanannya yang sangat pro-pasar dan menguntungkan pengusaha besar. Apalagi separuh dari 130 juta populasi Meksiko adalah penduduk miskin yang merupakan pendukung López Obrador. Menurut Ernesto Cordero, tim transisi Calderón, Calderón berencana menambah 60 miliar peso (US$ 5,5 miliar) pengeluaran pada tahun pertama untuk meluaskan akses kesehatan, subsidi rumah, dan bantuan lain untuk kaum miskin.
Penasihat Calderón mengatakan, mereka tahu bahwa mereka harus meloloskan perundang-undangan yang mencolok untuk penduduk miskin jika mereka ingin memiliki popularitas yang dimiliki López Obrador. ”Sifat mesiah Andres Manuel Lopez Obrador telah melakukan pelayanan terbesar pada rakyatnya,” ujar George Grayson, pengamat politik dari Virginia, Amerika, yang menulis biografi López Obrador. ”Dia membuat takut elite Meksiko yang manja, yang hidup sejahtera, membayar sedikit pajak, menelantarkan kaum miskin, dan membelanjakan sedikit anggaran untuk kesehatan dan pendidikan bagi kaum miskin,” katanya.
Kebijakan ini sejatinya identik dengan jualan kampanye pesaingnya, Lopez Obrador. Bahkan Calderón menunda niatnya melakukan privatisasi terhadap perusahaan minyak negara yang memonopoli industri minyak Meksiko. ”Kita harus sabar,” ujar Cordero.
Calderón tak hanya merayu rakyat miskin pendukung López Obrador dengan rencana program yang populis, anggota tim transisi Calderón juga bergerilya di parlemen untuk mengamankan kursinya. Mereka sedang berjuang membangun koalisi di kongres dengan bekas partai pemerintah, PRI, yang jagonya menempati urutan ketiga dalam pemilihan presiden. Pendukung Calderón juga berupaya merayu anggota partai López Obrador di parlemen.
Tapi López Obrador bukan politisi kemarin sore. Keberhasilannya memboyong ribuan penduduk miskin menggelar tenda selama dua bulan ini dan mempermalukan Presiden Fox di parlemen dianggap sebagai bukti kemampuannya sebagai pemimpin politik. Apalagi López Obrador dikenal sebagai politisi yang berpengalaman mengelola aksi jalanan. ”Dia adalah operator politik paling baik di negeri ini,” ujar Daniel Lund, analis politik di Kota Meksiko.
Masalahnya, jika semua upaya kelompok kiri menjegal Calderón yang secara resmi akan menduduki kursi presiden pada Desember mendatang gagal, banyak pihak khawatir situasi politik Meksiko semakin buruk: Meksiko terbelah. Apalagi sikap politik López Obrador semakin radikal. Ia siap menjadi presiden jalanan. Tapi, bagi analis Meksiko Armand Peschard-Sverdrup, López Obrador justru meraih kemenangan politik yang sesungguhnya. ”Calderón lebih fokus pada masalah kesejahteraan sosial yang diperjuangkan López Obrador,” kata analis dari Pusat Studi Strategis dan Internasional di Washington ini.
López Obrador menjadi mesiah tanpa harus menjadi presiden. Maka kelas menengah semacam Josefina del Castillo pun bisa tidur lelap.
Raihul Fadjri (Washington Post, LA Times, NY Times, Business Week)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo