Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKAN karpet merah atau kalungan bunga yang menyambut Alex Hesegem di Kwamki Lama. Padahal Wakil Gubernur Papua itu, yang datang ke sana pada Kamis pekan lalu, berniat menjadi juru damai. Warga kampung di Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika—yang semula ingin diajak dialog—justru sibuk sendiri. Sebagian lari mengendap-endap sambil merentangkan busur. Ada yang menghunjamkan tombak lalu bertawur.
Alex, yang dikawani Ketua Majelis Rakyat Papua Agus Alua beserta sejumlah anggota rombongan, bergegas pergi. Tawuran berdarah terus berlanjut.
Pemicunya, Betseda Wandig Wandigau, 28 tahun, istri seorang anggota bintara pembina desa, luka parah terkena panah di dadanya.
Perjanjian damai yang ditandatangani pada 3 Agustus lalu bubar seketika. Upacara tradisional patah panah dan bakar batu pada Hari Kemerdekaan RI tak berbekas. Total korban tewas, sejak konflik ini pecah pada 24 Juli lalu, menjadi 17 orang. Ratusan luka-luka. Puluhan rumah terbakar, mengepulkan asap pekat.
Kisruh panjang ini bukan bermula di Kwamki Lama. Seorang anak tenggelam di Satuan Pemukiman (SP) XIII, Kecamatan Kuala Kencana pada 20 Juli (lihat infografik). Jaraknya puluhan kilometer dari Kwamki Lama. Ibu dan ayah anak ini—keduanya berasal dari suku Dani dan Damal—saling menyalahkan. Keluarga dari suku Damal datang melayat sembari membawa busur dan anak panah. Salah paham meluas hingga dua orang suku Dani menjadi korban. Karena keduanya penduduk Kwamki Lama, pertikaian pun pindah tempat.
Perang Suku Dani dan Damal bukan hal baru. Sejak tahun 1920-an, kedua pihak kerap bertikai. ”Ada benih dendam masa lalu,” kata Markus Haluk, Sekretaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Indonesia.
Namun, yang berperang kini bukan hanya dua itu, seperti ditulis Tempo edisi 31 Juli, melainkan kelompok atas, tengah, dan bawah. Kelompok-kelompok ini mencerminkan lokasi tempat tinggal mereka di Kwamki Lama. Pendiri kampung, Pendeta Abdiel Tinal, menyebutnya perang saudara. ”Karena di dua kelompok ada orang Dani dan Damal. Kakaknya di kelompok atas, adiknya di kelompok tengah,” kata Tinal.
Tak cukup di situ, suku Mee yang semula netral kini geram karena seorang warganya jadi korban. Berduyun-duyun ratusan warga suku Mee mendatangi pusat Kabupaten Mimika. Mereka memprotes aparat yang tidak tegas bertindak. Kaca-kaca gedung pemerintahan dan gedung serbaguna dan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Mimika pecah. Ruangan porak-poranda. Dua unit bus dibakar.
BAGI warga Mimika, kampung Kwamki Lama identik dengan situasi rawan. Inilah kampung permukiman padat yang tak berbeda dari Tanah Abang atau Matraman di Jakarta. Letaknya di pinggir Kota Timika, dekat dengan bandar udara Moses Kilangin. Penduduknya tujuh suku sekaligus: Amungme, Kamoro, Nduga, Damal, Dani, Moni, dan Ekari.
Sebagian penduduk berasal dari wilayah penambangan PT Freeport Indonesia di pegunungan. Di Kwamki Lama, mereka diberi rumah dan lahan untuk bercocok tanam. Tapi kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan tiadanya lapangan kerja membuat penduduk mudah disulut konflik.
Saat mereka bertempur, misalnya, simbol kesukuan masih kental terasa. Anak panah dan tombak berhias bulu burung beterbangan. Demikian pula hunjaman tulang kasuari. Jangan terkecoh. ”Mereka itu anak-anak kota yang biasa pakai telepon genggam,” kata Albert Rumbekwan, Ketua Komnas HAM Papua.
Tapi ini bukan tawuran ala Jalan Matraman. Kamis lalu, dua tokoh agama, Pendeta Agustinus Waetapu dan anggota Majelis Gereja GKII Efata, Marthen Alom, ikut menjadi korban. Waetapu tewas dengan luka senjata tajam di leher, sementara Alom meninggal terkena panah di perut. Gereja pun diserbu. ”Ini pola baru, orang Papua tidak begitu,” kata Albert.
Apalagi saat polisi menggelar razia, seorang petani tercokok membawa benda tak lazim. Namanya Alo Nerigi alias Kogoya (38 tahun) dari suku Nduga. Saat ditangkap dia sedang naik ojek dari Timika menuju Kwamki Lama. ”Di dalam tas nokennya ditemukan 10 butir peluru kaliber 5,56 yang biasa digunakan pada senjata jenis SS-1 atau M-16,” kata Direktur Reskrim Polda Papua Komisaris Besar Paulus Waterpauw, Jumat lalu. Sekitar 600 personel polisi pun diturunkan menjaga Kwamki Lama.
Ada persoalan lain. Sudah tiga tahun kursi DPRD Mimika kosong akibat sengketa. Padahal Mahkamah Agung sudah mengetukkan palu pada 20 Juni lalu. Semestinya gubernur sudah mengeluarkan surat keputusan perihal anggota DPRD. Proses pemilihan kepala daerah yang sedianya jatuh pada Desember ini terhambat. ”Dengan baku hantam begini, siapa yang ingat masalah itu?” tanya Albert Rumbekwan.
Bupati Klemen Tinnal punya versi sendiri. Menurut dia, di wilayah Kwamki Lama rawan terjadi gesekan antargolongan. Statusnya hanya kelurahan, namun tingkat migrasinya terlampau tinggi. ”Mencapai 26 ribu jiwa,” tuturnya.
Sampai Kamis lalu bentrokan masih terus berlangsung, meski berpindah-pindah tempat. Penduduk mulai mengungsi ke gereja. Ibu-ibu kubu tengah—yang terjepit musuh—berang. Mereka menebang sebagian pohon di jalan demi memaksa aparat menetap. Enam sekolah di Kwamki Lama, dari SD sampai SMA, terpaksa diliburkan. Ada 1.316 murid pindah belajar ke Timika.
Pendeta Tinal sedih tak tak terkira melihat penduduk Kwamki Lama dicekam ketakutan setiap ada konflik. ”Ini daerah saya buka bukan untuk orang baku bunuh. Sekolah tutup, anak sekolah ikut perang,” katanya. Dia menitikkan air mata.
Kurie Suditomo, Marsellius Dou, Tjahjono Ep. (Timika), Cunding Levi (Jayapura)
Bara Mimika
Perang di Kampung Kwamki Lama, Mimika, tak kunjung berhenti. Sembilan orang tewas dan lebih dari 200 orang terluka. Aparat dituduh tidak tegas.
20 Juli Bocah pengidap epilepsi warga Satuan Pemukiman 13, Timika, tewas tenggelam di sungai. Ayah (suku Damal) dan ibu (suku Dani) si korban berselisih. Perkelahian berlanjut menjadi perang antara suku Damal dan suku Dani di Kampung Kwamki Lama.
23 Juli Bupati Mimika, Clemmen Tinal, gagal mempertemukan kelompok yang bertikai. Esoknya, lebih dari 2.000 orang bentrok.
3 Agustus Panglima perang kelompok kedua kubu sepakat berdamai. Pada 12 Agustus, mereka kembali bentrok. Empat tewas, puluhan luka-luka, dua polisi terpanah.
14 Agustus Kapolda Papua, Irjen Polisi Tonny Yacobus, memimpin upacara patah panah untuk mengakhiri pertikaian. Juga upacara bakar batu pada perayaan 17 Agustus di lapangan Timika Indah.
1 September Bentrokan pecah lagi. Perang berlangsung dari pagi hingga sore. Dua pendeta tewas, 60 terluka.
2 September Massa menuduh aparat tidak tegas. Aksi berlanjut dengan perusakan gedung DPRD Mimika.
3 September Dua mobil PT Freeport Indonesia ditembak di mil 6-9. Tak ada korban jiwa.
6 September Perang pecah lagi. 16 terluka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo