Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Lintas Internasional

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fiji
Berakhirnya Petualangan Speight?

AKHIRNYA, penyelesaian konflik di Fiji mendapat titik terang. Harapan itu muncul setelah pemimpin sementara Fiji, Komodor Vorge Bainimarama, bertemu dengan anggota delegasi negara-negara Persemakmuran yang dipimpin Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer, di Suva, pekan silam. Hasil dari pertemuan ini, penguasa sementara Fiji itu berjanji akan menyelesaikan konflik dengan mengembalikan demokrasi di negeri itu.

Selanjutnya, dengan dukungan negara Persemakmuran, Bainimarama mendapat mandat untuk menjalankan reformasi politik di negeri itu. Tugasnya, antara lain, mengembalikan negara itu pada Konstitusi 1997, yang memberikan kesempatan yang merata bagi penduduk Fiji. Ia berjanji akan mewujudkan hal itu dalam dua tahun mendatang.

Namun, hal yang mendesak untuk dilakukan dia adalah membebaskan para sandera politik yang masih berada di tangan pemimpin kudeta sipil George Speight. Bila persoalan itu selesai, barulah pemerintahan sipil akan segera dibentuk untuk mengambil alih tampuk pemerintahan. "Kami menutup kemungkinan keikutsertaan Speight dan kelompok pemberontak yang menyandera 31 orang di Gedung Parlemen," ujarnya.

Menyadari posisinya menjadi sulit, George Speight mendesak perlunya pertemuan Dewan Ketua Raya—semacam lembaga tradisional yang berkuasa di Fiji yang terdiri atas tokoh masyarakat (GCC) untuk mendukung pemerintahan sipil baru. Ia memiliki keyakinan akan mendapatkan suara mayoritas di GCC. Tampaknya, Speight masih belum mau menyerah.

Solomon
Bila Kanguru Menjinakkan Elang Malaita

BERBEDA dengan di Fiji, penyelesaian konflik politik di Kepulauan Solomon masih remang-remang. Meski, Kamis pekan silam, Perdana Menteri Solomon Bartholomew Ulufa'alu telah mengundurkan diri sesuai dengan permintaan para pemberontak, hal itu tak mengubah keadaan. Kepulauan Solomon masih diselimuti ketegangan.

Hingga akhir minggu lalu, kelompok milisi bersenjata Pasukan Elang Malaita (MEF) masih bercokol di Honiara dan dikabarkan merampok penduduk. Namun, hal itu dibantah. Mereka malah menuduh perampokan itu dilakukan oleh kelompok Isatabu—rival mereka yang tengah berusaha menebar teror di Guadalcanal, pulau utama negeri itu.

Gubernur Jenderal Sir John Ini Lapli memerintahkan agar para pemberontak menyerahkan senjata. Perlucutan senjata memang menjadi bagian penting dalam penyelesaian damai di negeri ini.

Menanggapi perintah itu, pihak Elang Malaita menyatakan bahwa pihaknya akan melucuti senjatanya bila rival mereka, Gerakan Pembebasan Isatabu (IFM), melakukan hal yang sama. Menurut juru bicara MEF, Andrew Nori, mereka akan tetap bersenjata sampai IFM menyerah atau meletakkan senjata. Sebaliknya, IFM menyatakan akan meletakkan senjata dengan syarat MEF juga melakukannya.

Yang jelas, konflik yang tak berkesudahan itu mengundang Australia untuk ikut menyelesaikan masalah. Australia mengirimkan Peter Baxter sebagai utusan khusus Menteri Luar Negeri Alexander Downer. Bersama Duta Besar Australia untuk Solomon, Martin Sharp, Baxter akan mendorong semua pihak yang bertikai di sana agar mengakhiri krisis dengan cara damai melalui pembentukan konstitusi baru.

Uganda-Rwanda
Konflik Tak Kunjung Reda

SETELAH pertikaian selama hampir dua tahun, ternyata konflik antara Rwanda dan Uganda tak juga mereda. Ini setidaknya terlihat dengan urungnya rencana penarikan pasukan kedua negara itu dari Kongo, yang seharusnya dilakukan Jumat pekan silam. Ternyata, keduanya bersikukuh pada posisi siap berperang.

Padahal, kesepakatan itu diambil setelah mereka bertempur habis-habisan dua pekan silam. Dalam pertempuran ini, setidaknya 150 penduduk sipil tewas dan seribu orang terluka. Pertempuran yang berlangsung selama tujuh hari itu berakhir setelah pasukan Rwanda berhasil mengusir tentara Uganda dari bagian utara Kisangani.

Pengingkaran ini bukan yang pertama terjadi. Sebelumnya, sebulan yang lalu, mereka sepakat menarik pasukan masing-masing dari Kisangani. Namun, lagi-lagi mereka melanggar kesepakatan itu.

Maka, peperangan yang telah berlangsung selama dua tahun itu membuat PBB pusing. Sampai-sampai Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan pernah menggertak akan memberlakukan "Pasal Tujuh" jika kedua negara itu tidak segera menarik pasukannya dari Kongo. Pasal itu bisa berarti maut karena memberikan kewenangan kepada Dewan Keamanan PBB untuk menjatuhkan sejumlah sanksi, termasuk operasi militer. Ancaman itu urung dilakukan karena pihak masing-masing menolaknya. Namun, ini bukan berarti sanksi berat itu urung dilakukan.

Sementara waktu, PBB memerintahkan agar Rwanda dan Uganda membayar kerusakan yang diakibatkan pertempuran itu. Agaknya, upaya ini cukup membawa hasil. Presiden Uganda Yoweri Museveni berjanji akan menarik pasukannya dari Kongo. Tapi bisakah dia membayar janjinya?

Irfan Budiman (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus