Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Assad pun Berlalu

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sulit membayangkan Timur Tengah tanpa Hafez al-Assad. Mendiang presiden Suriah itu seperti pelukis ekspresionis di kanvas Timur Tengah. Ia telah menunjukkan kebolehannya menciptakan "warna-warna tak terduga" dalam proses perundingan damai di Jazirah Arab. Posisi Assad di percaturan politik Timur Tengah bisa disetarakan dengan mendiang Raja Hussein dari Yordania, Yitzak Rabin dari Israel, dan Anwar Sadat dari Mesir. Tapi kebengisannya tetap tak tertandingi. "Saya menghormati Assad, tapi saya juga ngeri dengan sifat jahatnya," kata Perdana Menteri Israel Ehud Barak. Lebih dari 10.000 penduduk Hama tewas oleh tentara Suriah, 1982, setelah Assad memerintahkan penghancuran total kota itu dengan meriam sebagai balasan atas tewasnya ketua Partai Baath oleh para pemberontak Persaudaraan Muslim. Memang lelaki yang dijuluki "Singa dari Damaskus" itu alergi pada kaum Sunni fundamentalis. Ia lahir dari kelompok minoritas Alawite yang beraliran Syiah di Desa Qerdaha, dekat kota pelabuhan Latakia, 1930. Sebelum lulus sebagai pilot pesawat tempur terbaik didikan Mesir dan Uni Soviet, Assad sudah malang-melintang di dunia politik. Pada usia 16 tahun, ia telah aktif sebagai anggota Partai Sosialis Arab Ba'ath yang dikenal sangat sekuler itu. Karirnya di militer terhitung pesat. Setelah menjabat panglima angkatan udara Suriah, Mayor Jenderal Assad diangkat menjadi menteri pertahanan. Dalam jabatan inilah Assad memimpin kudeta damai, November 1971. Sejak menjadi presiden, Assad dikenal sebagai orang yang gemar memenjarakan lawan politiknya dan bertekad mempertahankan posisinya dengan segala cara. Namun, di dunia internasional, namanya tak seburuk kebanyakan diktator lain. Assad dianggap berjasa dalam membawa perundingan damai Timur Tengah dengan Israel ke tingkat dunia melalui konferensi damai Madrid, Oktober 1991. Assad kemudian mempertegas komitmennya terhadap upaya perdamaian Timur Tengah itu pada Bill Clinton di Jenewa, Januari 1994. Ia juga tak sungkan melontarkan pujian-pujian kepada Barak ketika terpilih menjadi perdana menteri Israel, Mei 1999. Tapi, begitu pintu ruang perundingan ditutup, sikapnya tak semanis di panggung terbuka. Assad bersikeras untuk mendapat kembali semua tanah Suriah di Dataran Tinggi Golan dari Tel Aviv setelah perang Arab-Israel berakhir pada 1973. Ia menolak berkompromi terhadap permintaan Israel atas selempeng tanah di pantai Laut Galilea, bahkan juga untuk permintaan memulangkan jenazah Eli Cohen, mata-mata Israel yang dihukum gantung di Damaskus pada 1965. Assad ingin setiap jengkal tanah Suriah dikembalikan sebelum sebuah perjanjian damai ditandatangani. Keinginan yang dibawanya hingga akhir hayat. BB (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus