Para mahasiswa Korea Selatan ngamuk menuntut presidennya, Roh Tae Woo, turun tahta. Ada yang memprotes dengan cara membakar diri. MEREKA kembali turun ke jalan. Puluhan, bahkan ratusan ribu, mahasiswa meneriakkan "Ganyang Roh Tae Woo!" di seantero Korea Selatan. Di dada mereka terpasang selempang hitam tanda berkabung. Tak cuma sekadar berteriak, dengan keberanian yang tak terbayangkan, sudah tiga orang mengorbankan nyawanya untuk menuntut pengunduran diri sang presiden yang mereka anggap bertanggung jawab atas kematian seorang rekannya. Pada awalnya hanya sebuah demonstrasi kecil-kecilan di Universitas Myungji, Seoul, Jumat dua pekan lalu. Saat sekitar 400 mahasiswa ribut memprotes pemimpin Dewan Mahasiswa di sana. Ternyata, polisi antihuru-hara ringan tangan. Seorang demonstran yang baru setahun jadi mahasiswa, Kang Kyung Dae, tertangkap dan digebuki polisi dengan pipa besi. Malang tak dapat ditolak, Kang tewas di tangan lima orang yang dikenal dari kesatuan Paegoldan -- - artinya seram -- Korps Tengkorak. Tak kurang dari 18 luka di sekujur tubuhnya, dahinya pun hancur. Kematian Kang ibarat memercikkan api di atas tumpahan bensin. Kemarahan mahasiswa Korea Selatan yang dikenal sangat militan itu, bagai air bah yang tak terbendung lagi. Hampir setiap hari sepanjang pekan lalu, demonstrasi marak hampir di semua kota besar. Yang menyedihkan, kematian Kang lalu menyeret beberapa nyawa teman-temannya. Dimulai oleh seorang mahasiswi tingkat II, Park Seung Hee, protes dengan cara membakar diri segera menjadi mode baru yang trendy di kalangan demonstran. Park sampai sekarang masih dalam keadaan kritis di rumah sakit. Tetapi dua rekannya yang lain, Kim Yong Gyun dan Chon Se Yong, tak tertolong lagi. Keduanya baru berusia 20 tahun! Drama kematian Chon Se Yong sangat menggiris hati. Disaksikan ribuan temannya, ia membakar diri di lantai dua gedung Universitas Kyongwon, tempatnya belajar. Begitu api membakar tubuhnya, ia segera terjun menghunjam ke bumi seraya meneriakkan slogan antipemerintah. Chon tewas tujuh jam kemudian di rumah sakit. Di balkon tempat ia terjun, sebuah surat ditemukan. Bunyinya puitis dan dahsyat: "Teman-teman mahasiswa, perjuangan harus diteruskan sehingga saya dapat tidur dengan damai." Sebenarnya, dalam dua tahun terakhir ini demonstrasi mahasiswa kurang mendapat dukungan rakyat. Orang Korea mulai bosan melihat para mahasiswa yang tidak pernah tidak militan, setiap kali selalu memprotes pemerintah dan membuat kerusuhan. Tetapi situasi sekarang sudah berbalik 180. Di pinggir jalan rakyat bahu-membahu dengan mahasiswa. Mereka ikut berteriak mendukung demonstrasi. Kelompok oposisi pun ikut memanfaatkan kesempatan langka ini. Kim Dae Jung, pemimpin Uni Demokratik Baru yang merupakan saingan berat Presiden Roh Tae Woo, menuntut agar presiden dan kabinet segera mengundurkan diri. "Jika sampai 9 Mei mereka tak mundur, jalan satu-satunya adalah berjuang di jalanan," kata Kim memanaskan suasana. Tanggal 9 Mei nanti adalah akhir masa sidang parlemen di Korea Selatan. Tantangan yang dihadapi Roh makin berat setelah federasi buruh yang paling radikal, Chonnohyop, tiba-tiba ikut menggabungkan diri dengan mahasiswa. Dengan barisan yang panjang mereka berparade untuk merayakan 'Hari Mei', sebuah peringatan yang sebenarnya terlarang di Korea. Puncak perayaan 'Hari Mei' akan jatuh tanggal 18 nanti sebagai peringatan pembunuhan ratusan demonstran di Kwangju yang terjadi tahun 1980. Tampaknya, suasana tidak akan mereda, bahkan bisa jadi bakal makin panas. Selain puncak peringatan pada 18 Mei nanti, pemakaman Kang yang dijadwalkan Rabu pekan ini diperkirakan bakal menyulut demonstrasi yang lebih dahsyat. Terlebih lagi Kang akan dikuburkan di Kwangju yang secara tradisional dikenal sebagai basis kaum pembangkang militan. Di tengah kegalauan itu, Roh Tae Woo sebetulnya sudah bertindak cepat untuk meredakan suasana. Ironisnya, Roh terpaksa menyatakan penyesalannya itu dalam peringatan Hari Hukum di Korea yang jatuh Rabu pekan lalu. "Mestinya polisi bertindak lebih dewasa sehingga tidak terjadi insiden seperti ini. Kematian itu sangat menyedihkan," tuturnya. Selain meminta maaf, Roh segera memecat Menteri Dalam Negeri, Ahn Eung Mo, yang membawahkan 140 ribu anggota polisi. Menteri yang baru, Lee Sahng Yeon, segera melebur Paegoldan ke dalam kesatuan polisi huru-hara biasa. Korps Tengkorak ini memang musuh besar mahasiswa. Mereka bergerak dalam unit-unit kecil dan bersenjata tongkat panjang seperti yang dipakai untuk menggebuki Kang. Korps inilah yang menjadi ujung tombak polisi antihuru-hara dalam berkelahi di jalanan melawan demonstran militan. Itu semua tampaknya belum cukup bagi mahasiswa. Sejarah sudah membuktikan, kekuatan mahasiswa kalau sudah meledak sungguh susah dilawan. Empat tahun lalu, misalnya, Presiden Chun Doo Hwan terpaksa mengadakan pemilihan presiden secara langsung yang akhirnya membawa dirinya pada keruntuhan. Ketika itu, gelombang demonstrasi dahsyat benar-benar tak tertahankan. Dan peletus gelombang demonstrasi raksasa itu, sama dengan biangnya sekarang: tewasnya seorang mahasiswa di tangan polisi. Ketika itu Lee Han Yol, mati gara-gara terkena selongsong peluru gas air mata yang ditembakkan satuan antihuru-hara. Upacara pemakaman Lee meledakkan protes yang kemudian terus merongrong sampai Chun jatuh. Tampaknya, Roh Tae Woo harus berjuang keras agar tidak mengalami nasib yang sama dengan pendahulunya. Terlebih lagi, Juni ini Korea Selatan akan menyelenggarakan pemilihan umum lokal untuk pertama kalinya setelah 30 tahun. Sungguh pekerjaan yang tidak gampang bagi Roh yang baru tiga tahun menjadi presiden. Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini