Pengadilan Cina memvonis mati 22 aktivis aksi di Lapangan Tiananmen, 1989. Kecaman Barat ternyata tak menggoyahkan Beijing. HARI-HARI ini para algojo di Cina tampak cukup sibuk. Sebuah laporan yang beredar di Beijing, 28 April lalu, menyebutkan bahwa 15 orang telah menjalani hukuman mati di muka umum di Wuhan. Lusanya, harian berbahasa Inggris Beijing Daily menurunkan tulisan tentang tujuh orang lain yang menjalani hukuman serupa di depan regu tembak. Sejak kampanye antikejahatan dicanangkan pada 1990, memang telah ratusan orang roboh di tangan para algojo Cina. Media massa menyebut mereka itu sebagai "perampok, permerkosa, pembunuh, dan pengacau" -- yang akhir merupakan istilah lain untuk mereka yang terlibat aksi mahasiswa dan intelektual, Juni 1989. Disebutnya para "pengacau" dalam deretan mereka yang menjalani hukuman mati itu telah mengundang banyak kecurigaan bahwa di antara korban ada orang-orang yang terlibat aksi politik menuntut hak-hak demokrasi di Lapangan Tiananmen, dua tahun silam. Tak heran bila isu itu selalu dipertanyakan kelompok pembela hak-hak asasi manusia di forum dunia. Di samping itu, mereka juga mengkritik proses peradilan yang dijalankan di Cina, yang di Barat dinilai mengabaikan hak-hak asasi manusia. Di Cina, terdakwa pelaku kejahatan biasanya diajukan ke suatu "pengadilan rakyat", dan sidang berlangsung kilat. Terdakwa sama sekali tak diberi hak dan kesempatan yang cukup untuk membela diri. Apabila hukuman mati sudah dijatuhkan, pelaksanaan hukuman dijalankan pada waktu itu juga. Cara itu, menurut para pengritik sistem peradilan di Cina, terlalu kejam. Sementara itu, naik banding tidak dimungkinkan karena regu tembak langsung beraksi setelah vonis mati dijatuhkan. Yang tak kurang mengenaskan, konon, segera setelah eksekusi dilaksanakan (dilakukan dengan menyarangkan peluru di bagian belakang kepala terhukum yang disuruh berlutut) pemerintah memerintahkan sanak keluarga terhukum membayar beberapa yuan sebagai pengganti harga peluru yang digunakan. Kritik-kritik terhadap sistem peradilan kilat itu tampak tak begitu dipedulikan Cina. Malah, sejak para pemimpin garis keras berkuasa, setelah kekalahan faksi reformis akibat peristiwa Tiananmen, hukuman mati semakin kerap terjadi. Bersamaan dengan pelaksanaan hukuman mati atas 22 "pengacau", April lalu, media massa Cina memberitakan bahwa tak kurang dari 125 pelaku tindak kriminal telah dijatuhi hukuman yang tak disebutkan jenisnya. Diduga, hukuman "menebus dosa lewat kerja" -- hukuman yang lebih umum selain hukuman mati. Tapi hukuman ini tak kalah berat, karena terhukum sama saja dengan dijebloskan ke dalam kamp kerja paksa. Sikap keras yang diperlihatkan peradilan Cina terhadap aksi berbeda pendapat setelah peristiwa berdarah di Lapangan Tiananmen, sekalipun mendapat kecaman keras di Barat, tidak membuat negeri berpenduduk 1,1 milyar itu tersisih. Amerika memang sempat membekukan semua program bantuan ekonomi dan kerja sama kebudayaan sesudah tragedi Lapangan Tiananmen. Langkah serupa juga dilakukan Jepang dan negara-negara Eropa Barat. Namun, tindakan yang dilakukan negara-negara industri itu -- dilaksanakan sebagai hasil tekanan lembaga swasta dan organisasi massa yang merasa prihatin atas pelanggaran hak asasi manusia oleh para penguasa Beijing -- ternyata tak berlangsung lama. Hubungan Cina dengan negara-negara Barat segera "normal" lagi begitu Beijing melakukan langkah-langkah pendekatan. Mungkin karena itu rangkaian hukuman mati kali ini tak banyak mengganggu citra internasional Cina. Buktinya, sehari setelah eksekusi 22 "pengacau" diberitakan, Menteri Luar Negeri Prancis Roland Dumas tiba di Beijing untuk misi perbaikan hubungan kedua negara. Walau dalam pembicaraan selama tiga jam dengan Menlu Qian Qichen Dumas mengetengahkan soal hak-hak asasi yang dikaitkan dengan hubungan dagang, tampaknya pertalian Beijing-Paris akan kuat lagi. Di Washington, Presiden Bush bersikeras mempertahankan Cina dalam daftar yang mendapat keistimewaan pajak ekspor ke Amerika. Alasannya, hubungan baik dengan Cina adalah demi kepentingan Amerika. "Benar, ada pelanggaran hak-hak asasi di Cina, dan orang Amerika tak ada yang akan menenggangnya," kata Bush. "Tapi ada perubahan di sana yang menguntungkan Amerika." Bush memberi contoh tentang faedah memelihara hubungan baik dengan Cina yang dinikmati Amerika. Cina, sebagai salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB sama sekali tidak memveto langkah kekerasan yang diambil Amerika atas Irak dalam Perang Teluk. Argumentasi Bush itu ternyata tak membuat politikus Amerika, terutama di Kongres, menutup mata terhadap langkah-langkah politik Cina. Mereka bahkan minta agar Amerika terus menekan Cina. Saat ini hubungan Cina-Amerika sedang terganggu karena adanya bukti-bukti kuat keterlibatan Cina dengan usaha beberapa negara berkembang, di antaranya Aljazair, dalam pembuatan senjata nuklir. Atas dasar itulah Amerika menolak menjual suku cadang untuk satelit yang sangat diperlukan Cina. Meski demikian, Cina tampak tetap akan mempertahankan kebijaksanaan keras mereka. Harian Jepang Tokyo Shimbun, 30 April lalu, memberitakan pertemuan delegasi pengusaha dan politikus Jepang dengan Perdana Menteri Li Peng dalam sebuah resepsi di Beijing. Dalam pertemuan tersebut seorang anggota parlemen Jepang, Tadashi Kuranari, menanyakan apakah Cina sebagai satu-satunya negara sosialis garis keras tak merasa terasing dalam pergaulan antarbangsa. "Karena Cina punya penduduk 1,1 milyar, kami tak akan kesepian walaupun kami adalah satu-satunya negara sosialis," ujar Li. Jawaban itu barangkali ada benarnya juga. Bukankah satu di antara lima penduduk dunia adalah orang Cina?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini