Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI mimbar, Paul Davis Ryan terlihat berusaha tersenyum. Ketua House of Representatives-semacam Dewan Perwakilan Rakyat-ini menunggu pertanyaan dari hadirin di hadapannya, para wartawan. Seseorang bertanya apa pendapatnya tentang hasil jajak pendapat terbaru yang mengindikasikan lebih banyak kaum Republiken dan simpatisan Partai Republik yang percaya kepada Donald Trump untuk memimpin partai.
"Saya berharap orang itu Donald Trump. Dia akan mendapatkan nominasi," kata Ryan, seperti tampak dalam tayangan MSNBC pada Selasa pekan lalu. "Dia akan memastikan pencalonannya."
Menurut hasil jajak pendapat oleh NBC News/SurveyMonkey itu, enam dari sepuluh anggota dan simpatisan Partai Republik percaya kepada Trump, kandidat kuat calon Presiden Amerika Serikat dari partai ini, untuk memimpin partai. Proporsi mereka yang percaya kepada Ryan hanya 39 persen.
Meski tak mempersoalkan hasil survei itu, Ryan, yang merupakan wakil Partai Republik untuk Negara Bagian Wisconsin, mengelak dari desakan untuk memberikan pernyataan mendukung Trump. Dan persis begitulah sikapnya, sejauh ini, sekalipun dia telah bertemu dengan Trump di Washington, DC, pada Kamis dua pekan lalu. Pertemuan yang diharapkan bisa menyelesaikan perbedaan di antara mereka berdua ini berlangsung tanpa hasil yang definitif.
Dalam konferensi pers seusai pertemuan, mereka mengeluarkan pernyataan bersama yang berisi seruan kepada kaum Republiken agar "bersatu di sekitar prinsip-prinsip bersama kita, memajukan agenda konservatif, dan mengerjakan apa saja yang bisa kita lakukan untuk menang pada (pemilihan presiden) musim gugur nanti". Mereka juga menilai pertemuan pertama mereka itu "merupakan langkah sangat positif menuju penyatuan".
Pertanyaan yang bersifat normatif itu sesungguhnya menunjukkan perbedaan di dalam Partai Republik perihal pencalonan Trump belum juga bisa diakurkan. Partai masih terbelah. Sementara sebagian elite partai mulai bisa berdamai dengan kenyataan bahwa taipan properti itu tak terbendung untuk jadi calon presiden, Ryan masih bertahan dengan ketidaksepakatannya, mewakili mereka yang memilih berseberangan.
Penolakan Paul Davis Ryan untuk mengabsahkan Donald Trump sebetulnya mengherankan mengingat perkembangan yang terjadi dalam persaingan menuju pencalonan-yakni Trump kian pasti menjadi nomine. Dia malah sebelumnya berkali-kali menegaskan bahwa ia terikat kewajiban untuk mendukung siapa pun yang akan dipilih partai menjadi calon presiden, karena jabatannya sebagai Ketua Komisi Nasional Republiken. Padahal dia juga mengkritik Trump, misalnya soal usul melarang muslim memasuki wilayah Amerika.
Belakangan, Ryan malah aktif beredar di muka publik. Ada yang menduga dia berupaya mengatrol profilnya agar dalam konvensi pada Juni nanti ada yang mendorongnya sebagai kompetitor atau alternatif Trump. Tapi calon wakil presiden dari Partai Republik pada pemilihan 2012 ini menepis spekulasi itu; dia menegaskan tak akan menerima bila partai mencalonkannya.
Ryan menyatakan keprihatinannya bahwa Partai Republik bakal "tak punya teladan yang menjunjung standar-standar kita". "Kaum konservatif ingin tahu apakah dia punya nilai-nilai yang sama dengan kita?" katanya. "Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang kaum konservatif ingin ada jawaban, termasuk saya sendiri."
Menurut Russell Berman, yang menulis di The Atlantic pada awal bulan ini, nominasi Trump bakal mengancam visi Ryan untuk mewujudkan agenda kaum konservatif di Washington. Dalam beberapa kesempatan, Trump memang mengkritik proposal Ryan untuk membongkar lagi program jaminan kesehatan Medicare dan Medicaid serta menciutkan pemerintahan yang dianggapnya sudah terlalu gemuk. Dia juga berseberangan dengan Ryan dalam isu imigrasi dan kebijakan perdagangan.
Mengingat perbedaan yang tajam dalam isu-isu itu, ada kalangan yang sangsi akan kesungguhan atau peluang keduanya bisa bersepakat. Bagi sebagian kaum Republiken, penolakan terhadap Trump harus diwujudkan dalam gerakan untuk mengganjal laju kemenangan Trump. Mereka berhimpun dan menamai gerakan ini "Never Trump". Dalam beberapa waktu belakangan, mereka kian gencar bermanuver, dengan tujuan memunculkan tokoh yang bisa menjadi calon independen.
Jumlah mereka sebenarnya tak banyak. Tapi mereka terdiri atas para konsultan veteran dan anggota intelektual konservatif. Di antara mereka ada Mitt Romney, calon Partai Republik untuk pemilihan presiden 2012; William Kristol dan Erick Erickson, komentator politik; serta Mike Murphy, Stuart Stevens, dan Rick Wilson, para ahli strategi.
Menurut laporan The Washington Post, selain diam-diam membiayai penyelenggaraan jajak pendapat, mereka menggalang dana dan membujuk tokoh-tokoh yang berpotensi menjadi penantang. Sementara sebelumnya hanya berupa upaya sporadis, langkah-langkah ini menjadi lebih intensif dalam sepuluh hari setelah Trump secara efektif menutup peluang elite Partai Republik melirik kandidat lain.
Mereka paham waktu yang tersedia terlalu singkat, hanya beberapa pekan. Mereka juga tahu peluang keberhasilan dari apa yang mereka lakukan teramat kecil. Tapi mereka tak peduli; mereka lebih tak bisa menerima kemungkinan bahwa Trump bakal menjadi pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam keputusasaan seperti ini, mereka bisa melakukan apa saja. Tak mengherankan bila di antara tokoh-tokoh yang mereka incar juga termasuk selebritas televisi.
Sebagian kaum anti-Trump memilih "mendiskon" ambisi: mereka lebih membidik negara-negara bagian tertentu ketimbang target berskala nasional. Mike Murphy, yang membantu mantan Gubernur Florida Jeb Bush dalam pertarungan untuk menjadi calon dari Partai Republik kali ini, termasuk di antaranya. Dia membayangkan seorang kandidat independen untuk melakukan apa yang menurut dia "misi terhormat" di Colorado, New Hampshire, dan Ohio. Ketiga negara bagian ini merupakan medan pertempuran penting dengan peraturan yang relatif longgar.
Murphy melihat pencalonan kandidat anti-Trump di beberapa negara yang memiliki dukungan berimbang antara Partai Demokrat dan Partai Republik sebagai langkah sangat menarik. "Anda dapat menolak pencalonan Trump... dengan memberikan alternatif lain kepada pemilih Republiken yang membenci Hillary Clinton dan tak bisa melanggar batas moral untuk memilih Trump," ujarnya.
Tujuan dari langkah itu adalah mencegah Clinton ataupun Trump meraup suara electoral college, yang cukup untuk disahkan sebagai presiden. Jika mereka gagal mencapai jumlah suara untuk itu, berdasarkan Amendemen ke-12 Konstitusi Amerika, penetapan pemenang akan diserahkan kepada House of Representatives. Skenario ini dimainkan pada 1824, ketika Andrew Jackson akhirnya dikalahkan oleh John Quincy Adams.
Yang jadi masalah-mengingat terjalnya jalan menuju ke sana-adalah siapa yang mau mendanai. Dan Senor, bekas penasihat Romney dan orang kepercayaan Ryan, secara tak resmi telah memberikan gambaran kepada para donor penting Partai Republik yang menolak Trump. Menurut sumber-sumber yang ikut terlibat, para pemilik uang itu setuju "berinvestasi" jika ada kandidat yang tepat.
Spencer Zwick, kepala keuangan Romney pada 2012, menyatakan yakin bakal tak ada cukup uang kalau Never Trump hanya merupakan sebuah opsi dan jelas tak ada harapan menang. "Jika ada alternatif nyata, ini mengubah dinamika. Tapi siapa yang akan melakukannya?" katanya.
Mungkinkah sesungguhnya Ryan masih membuka opsi untuk itu?
Purwanto Setiadi (ABC News, CNN, Politico, The Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo