PATUTKAH perpecahan di dalam tubuh Organisasi Pembebasan
Palestina (PLO) dipandang sebagai sesuatu yang luar biasa? "Kita
justru heran melihat mereka tahan bersatu sekian lama," ujar
seorang pengamat masalah Palestina. Sejak semula, organisasi ini
menghimpun dalam dirinya berbagai kelompok dengan kekuatan dan
pandangan berbeda-beda.
Al Fatah merupakan kelompok terbesar, dan dengan sendirinya
banyak menentukan. Dari kelompok ini pula Yasser Arafat mencuat
ke puncak kepemimpinan PLO, di tahun 1968. Di dalam Dewan
Nasional Palestina, semacam parlemen de facto, Fatah menduduki
mayoritas kursi.
Kelompok terbesar kedua adalah Front Rakyat untuk Pembebasan
Palestina (PFLP). Grup ini dipimpin oleh George Habash, dokter
lulusan Universitas Amerika di Beirut, yang kemudian menjadi
seorang Marxis. Tak heran bila ia menganut garis keras. Bagi
Habash, negara Palestina hanya bisa ditegakkan melalui
perjuangan bersenjata.
Sejak penghujung 1960-an PFLP, yang banyak menerima bantuan
Suriah dan Libya, retak. Beberapa pengikut Habash memisahkan
diri dan membentuk kelompok baru: Front Demokratis untuk
Pembebasan Palestina dipimpin oleh Naif Hawatmeh, dan Front
Rakyat untuk Pembebasan Palestina Komando Umum (PFLP-GC)
dipimpin oleh Ahmad Jibril. Tapi yang kemudian terkenal adalah
PFLP-GC.
Kelompok PFLP-GC hanya beranggotakan 400 sampai 500 gerilyawan.
Namun kegarangannya mengesankan. Mereka memperkenalkan diri
dengan meledakkan pesawat jet Swissair yang sedang menuju Tel
Aviv, Februari 1970. Tiga bulan kemudian mereka menyerang bis
sekolah di Qiryat Shmoneh, membunuh 12 orang -- delapan di
antaranya anak-anak. Di kawasan yang sama, 11 April 1974, tiga
anggota pasukan bunuh diri PFLP-GC menewaskan 20 orang Yahudi.
Dua kelompok lain dalam PLO yang juga dibantu Suriah dan Libya
adalah Front Perjuangan Rakyat, dan Al Sa'iqah. Akan halnya
Front Perjuangan Rakyat (PSF), tak jelas benar asal-usulnya.
Konon PSF didirikan sebelum Perang 1967, oleh seorang mayor
Angkatan Bersenjata Yordania yang hanya dikenal dengan nama
samaran "Khalid". Dia ini dibunuh Israel pada 1968. Terakhir PSF
dipimpin Bahjat Abu Gharbiyah, dan Dr. Samir Ghawshaw.
Akan Sa'iqah boleh dikatakan bagian dari Angkatan Bersenjata
Suriah. Sekretaris Jenderal Sa'iqah, Zuhayr Muhsin, bahkan
pernah disebut-sebut sebagai calon Suriah untuk menggantikan
Arafat sebagai pemimpin PLO. Sa'iqah menghimpun sekitar 5.000
gerilyawan. Mereka pernah menyatakan iri sebagai "bagian dari
Partai Sosialis Baath Arab." Merekalah yang menyerang dan
menghancurkan markas polisi Israel di Baniyas, Dataran Tinggi
Golan, 13 September 1968.
Masih terdapat beberapa kelompok yang bernaung di bawah PLO,
dengan jumlah anggota yang berkisar antara puluhan sampai
ratusan. Masmg-masing mempunyai sponsor, dan kerap kali pula
mereka melakukan aksi keluar-masuk organisasi yang dipimpin
Yasser Arafat itu. Sudah tentu Arafat tidak mampu sepenuhnya
mengontrol kelompok yang berpencaran ini. Malah Al Fatah saja
tidak bisa sepenuhnya dikendalikan Arafat.
Fatah memang yang tertua di antara organisasi perlawanan
Palestina. Ia menerima "mandat sejarah" dari Komite Tinggi Arab
(AHC). Organisasi ini didirikan oleh sekelompok Arab Palestina
di Jerman Barat, 1956. Mereka adalah Arafat, yang ketika itu
sedang menambah pengetahuan tekniknya di Stuttgart, Khalil
al-Wazir (Abu Jihad), Salah Khalaf (Abu Iyad), dan Faruz
al-Qaddumi (Abu Luft).
Dalam soal organisasi, Fatah mungkin yang terbaik di antara
kelompok perlawanan Palestina. Di puncak organisasi terdapat
Komite Sentral, yang sejak Fatah berdiri sampai sekarang,
diketuai Yasser Arafat. Komite Sentral ini membawahkan Komando
Umum, Dewan Militer, Dewan Revolusioner, Intelijen, Masalah
Yordan, Informasi, Keuangan, Luar Negeri, Organisasi, dan
Mobilisasi.
Beberapa tahun setelah berdiri, Fatah membentuk Angkatan
Bersenjatanya, Al-'Asifah. Menurut Faruz al-Qaddumi, pada
permulaan operasinya, Januari 1965, Al-'Asifah hanya memiliki 26
serdadu. Pada akhir tahun itu juga jumlah ini bertambah menjadi
200. Hingga penghujung 1980, Al-'Asifah diperkirakan memiliki
sekitar 12.000 pasukan komando, dan 15.000 tentara cadangan yang
siap dikerahkan dalam tempo 24 jam.
Mengenai keanggotaan, Al-'Asifah membatasi diri pada warga
Palestiha yang berumur antara 20 dan 30 tahun saja. Dan mereka
diwajibkan mengangkat sumpah. Isi sumpah, antara lain, siap
ditugaskan selama 24 jam, sanggup menyimpan rahasia organisasi,
dan tidak pernah membicarakan tugas yang diberikan pimpinan
dengan siapa pun. Untuk menjaga kerahasiaan, Al-'Asifah dibangun
dalam jaringan sel. Hanya pemimpin sel yang mengenal anggotanya.
Organisasi Fatah sendiri merupakan kombinasi antara sistem sel
dan komite. Model ini kemudian banyak ditiru oleh kelompok
perlawanan Palestina lainnya. Sel-sel Fatah yang pertama
dibentuk di Jerman Barat dan Kuwait. Mereka menyusup ke dalam
kamp pengungsi, kampus universitas, dan serikat buruh.
Kekuasaan tertinggi dalam Al-Fatah dipegang oleh Kongres
Nasional. Kongres inilah yang memilih Komite Sentral -- lembaga
ini merupakan badan koordinasi dan pengambil keputusan
tertinggi.
Fatah mendirikan kantor cabangnya di berbagai negeri Arab dan
non-Arab. Setahun setelah Perang Karameh, keanggotaan Fatah
konon terserak di 80 negeri. Dari Asia ke Afrika. Dan di
seantero Benua Amerika.
Sebelum Perang Karameh, 1967, kepemimpinan Fatah ditandai oleh
homogenitas politik, dan kesamaan pendapat untuk menghadapi
Israel dengan kekuatan militer. Tapi sekitar Agustus 1968,
kepemimpinan mulai terpecah oleh perbedaan sikap menghadapi
Yordan.
September tahun itu juga Fatah menyelenggarakan kongres. Namun
keadaan rupanya agak sulit diselamatkan. Setahun setelah
kongres, mulai terdengar suara santer mengkritik kepemimpinan
Arafat. Ia dituduh mempengaruhi pemilihan anggota Komite Sentral
untuk keuntungannya sendiri. Langkah ini memecah kepemimpinan
Fatah ke dalam kelompok kanan, tengah, dan kiri. Masing-masing
kelompok ini mulai berebut pengaruh, dan kadang-kadang tidak
bisa menguasai emosi. Pada penghujung 1971 tersingkaplah untuk
pertama kalinya usaha pembunuhan atas diri Arafat.
Setahun kemudian komandan militer Fatah di Libanon Timur, Abu
Yusuf Al-Kayid, melakukan pemberontakan. Tapi Arafat berhasil
memadamkan perlawanan ini. Dan Al-Kayid dipindahkan ke kantor
perwakilan Fatah di Aljazair.
Pemberontakan dalam Fatah berulang lagi tahun 1976. Kali ini
digerakkan oleh Muhammad Daud, serta Sabri al-Banna alias Abu
Nidal. Untuk menegakkan kewibawaan dan mempertahankan
kepemimpinannya di dalam PLO, Fatah sendiri melakukan sejumlah
"pembersihan" -- usaha yang diduga tidak bisa dilepaskan dari
tanggung jawab Arafat. Tercatat puluhan orang yang dijatuhi
hukuman mati oleh mahkamah militer yang dibentuk Arafat.
Bila disimak dengan teliti, perpecahan dalam Fatah sekaligus
terjadi di tiga lapisan organisasi. Pada tingkat pertama, para
pemimpin puncak Fatah mulai berbeda pendapat tentang sikap dan
strategi menghadapi dunia Arab dan lingkungan internasional.
Dalam tingkat ini, perbedaan pendapat berkisar di sekitar
pendiri Fatah. Masing-masing mulai mencari sponsor di antara
negara-negara Arab kaya.
Di lapisan kedua, mulai terbentuk klik-klik di antara pemimpin
eselon dua. Celakanya, justru lapisan ini yang paling disasar
oleh beberapa negara Arab yang tidak begitu bersenang hati atas
keutuhan Fatah. Dengan dananya yang besar, negara-negara Arab
itu makin memperuncing persaingan antarklik.
Pada lapisan ketiga, dalam tubuh Fatah sendiri muncul generasi
baru, yang mulai mempertanyakan "hak sejarah" para pemimpin yang
berangkat tua. Generasi baru ini membentuk lapisan sendiri,
yang lebih pragmatis, tapi juga lebih terbatas dalam kemampuan.
Tadinya, dukungan keuangan yang utama diperoleh Fatah dari Arab
Saudi, Kuwait dan Uni Emirat Arab. Ada pula sumbangan dari kaum
yang menamakan diri Palestina Bebas -- mereka terdiri dari
hartawan Palestina yang tidak terikat kepada salah satu gerakan
perlawanan yang lain.
Tapi dengan retaknya Al Fatah, dukungan keuangan dan politis
juga terbagi-bagi. Kelompok kanan lebih banyak menerima bantuan
komersial, sedangkan kelompok kiri unggul dalam dukungan
politis.
Sayap kanan Fatah biasanya dihubungkan dengan kelompok yang
dipimpin al-Hasan bersaudara. Kedua tokoh ini, bersama Kamal
'Udwan dan Yusuf al-Najjar, tampil dengan gaya pragmatis
menghadapi negara-negara Arab. Mereka menjalin hubungan baik
dengan Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab.
Sayap kiri diwakili Salah Khalaf, Nimr Salih, dan Hamdan 'Ashur.
Ke dalam kelompok kiri ini juga terisap para pengikut
mendiang Abu 'Ali Iyad (tidak ada hubungannya dengan Khalaf) di
Yordan. Kelompok ini berusaha mendorong Fatah menjalin hubungan
lebih erat dengan pemerintahan kiri -- terutama di negeri
sekitar Arab.
Di antara kedua kelompok inilah berdiri golongan tengah -- yang
berjasa mempertahankan eksistensi Fatah. Arafat termasuk dalam
kelompok ini bersama mendiang Kamal Nasir, al-Wazir, dan
al-Qaddumi.
Pertentangan antarkelompok ini makin lama makin runcing. Para
penentang Arafat mulai menagih prinsip-prinsip yang diletakkan
Fatah pada 1965, ketika serikat ini mulai melancarkan ofensif
militer. Prinsip itu diawali kalimat: "kekerasan revolusioner
adalah sistem satu-satunya untuk pembebasan tanah leluhur kami."
Dalam prinsip itu juga dinyatakan bahwa tujuan Fatah ialah
"melumatkan Zionisme dalam segala bentuknya." Aksi
"revolusioner" itu harus bebas dari setiap pengawasan partai
atau negeri, dan berlangsung dalam jangka panjang. Arafat
sendiri, di sekitar tahun-tahun itu, pernah menandaskan, "kami
menentang keinginan beberapa pemimpin Arab untuk menyelesaikan
pertikaian (dengan Israel) melalui persetujuan perdamaian."
Mampukah Arafat, yang pernah dijuluki "Saladin abad ke-20" itu,
keluar dari rimba sengketa yang gelap ini? Yang pasti, bukan
sekali dua insinyur sipil jebolan Universitas Fuad I (kini
Universitas Kairo) ini menghadang mara bahaya. Sampai-sampai
dinas rahasia Israel memuji kehebatannya mengelakkan diri dari
sasaran lawan-lawannya.
Dilahirkan 1929, konon di sekitar Tembok Ratapan, Yerusalem,
Arafat pada mulanya bernama Abdurahman Abdurauf. Kelak, di
kalangan Fatah dan PLO, ia mendapat nama Abu Ammar. Pada usia 17
Arafat menjadi sekretaris pribadi Abdulkadi al-Husayni, satu
dari beberapa al-Husayni, yang mengangkat senjata menentang
pembentukan negara Israel. Ibu Arafat juga berasal dari clan
ningrat ini.
Sekitar 1951 keluarga Arafat pindah dari Gaza ke Kairo. Di sana
ia menamatkan sekolahnya seraya aktif dalam kegiatan politik
mahasiswa. Ia selain berhubungan dengan para nasionalis
Palestina, juga dengan Ikhwanul Muslimun.
Arafat pernah mendapat latihan siasat gerilya di Akademi Militer
Mesir. Adalah dia yang memimpin komando Palestina dan Mesir
melawan Inggris di Terusan Suez, 1951-1952. Sebagai letnan dalam
Angkatan Bersenjata Mesir, ia ikut melawan Prancis dan Inggris
di Port Said dan Abu Kabir, 1956.
Dalam menghadapi pertentangan di dalam tubuh Fatah dan PLO
sekarang, Arafat tidak sendirian. Paling tidak ia masih
dipertahankan oleh tokoh lama seperti, Faruz al-Qaddumi, Khalil
al-Wazir, dan Kamal Nasir.
Faruz al-Qaddumi, alias Abu Luft, lahir di Nablus pada 1931,
dari keluarga pemilik tanah golongan menengah. Pada 1948
al-Qaddumi masuk partai Baath, hingga 1958. Ia pernah bekerja
sebagai direktur hubungan masyarakat dan personil Aramco di Arab
Saudi, 1952-1954.
Pada 1954 ia menolak kesempatan belajar di Universitas Cornell,
dan memilih melanjutkan pendidikan ekonomi di Universitas
Amerika di Kairo. Di sinilah ia berjumpa dengan Arafat, Khalaf
dan al-Wazir. Setelah menyelesaikan pendidikannya, al-Qaddumi
bekerja setahun di Libya, kemudian pindah ke Arab Saudi, lalu
Kuwait, seraya mulai terlibat membangun struktur organisasi
Fatah.
Setelah Perang Juni 1967, Abu Luft menjadi penghubung Fatah
dengan Mesir. Peranannya kemudian di dalam PLO lebih banyak di
lapangan diplomatik. Dialah yang mengetuai delegasi PLO ke PBB.
Kata orang, Abu Luft, tokoh perlawanan Palestina yang
disebut-sebut paling manusiawi, adalah "otak" di belakang segala
sepak terjang Arafat.
Akan halnya Khalil al-Wazir, alias Abu Jihad, menjadi titik
penting dalam hubungan Fatah dengan Aljazair, Suriah, RRC, Korea
Utara, Vietnam, dan Uni Soviet. Lahir 1936, al-Wazir tokoh
pendiam yang sangat mengelakkan publikasi. Ia bergabung dengan
para gerilyawan setelah Perang 1948. Berjumpa dengan Arafat di
Kairo, mereka kemudian bersama-sama menuntut ilmu di Universitas
Stuttgart, Jerman Barat.
Al-Wazir pernah menjadi komandan Al-'Asifah, dan disebut-sebut
sebagai ahli siasat. Ia sering dipercayakan melatih pasukan,
membenahi organisasi, dan menyusun doktrin taktis.
Di luar berbagai perbedaan pendapat yang sudah berakar di
kalangan gerilyawan Palestina sebelumnya, kesangsian pada
kepemimpinan Arafat semakin menjadi-jadi setelah penarikan
mundur PLO dari Beirut, tahun lalu. Bahkan pembantaian para
pengungsi Palestina di kamp Sabra dan Satila, 16-18 September
1982, dipersalahkan di pundaknya.
Puncak kecaman terhadap Arafat muncul pada sikapnya yang
menyetujui usul perdamaian Ronald Reagan. Menurut George Habash,
kompromi demikian sudah terlalu mendasar. "Dia sudah ditelan
imperialisme," ujar Mahmud, seorang gerilyawan di Lembah Bekaa.
"Kita mesti menyingkirkan dia."
Selama 15 tahun terakhir Arafat memang berjuang mengatasi
perbedaan pendapat di dalam tubuh PLO. Tidak dinyana,
pembangkangan kini datang dari induk pasukannya sendiri, Al
Fatah. Aksi ini dipimpin oleh Kolonel Abu Musa -- orang
kepercayaan Arafat yang mengepalai bagian operasi.
Abu Musa yang berperawakan jangkung, dan berkepala botak gampang
tersenyum dan cepat menularkan pengaruh. Bekas perwira Yordania
ini lahir di sekitar Yerusalem, 1927. Dan Abu Musa dikenal teguh
dalam pendirian. "Konon di surga ada malaikat," katanya kepada
wartawan The Gardian dua pekan lalu. "Jika para malaikat ini
merintangi jalan saya menuju Palestina, saya akan melawan
mereka."
Ia memang tak suka jalan diplomatis. "Kami bukan tentara
reguler, melainkan pejuang," katanya. "Kami hidup bersama
rakyat, perang kami adalah perang rakyat. Kami tidak mau menjadi
tentara reguler yang harus melayani kepentingan Arafat demi
penyelesaian melalui perundingan." Kelemahan Abu Musa, yang juga
dikenal sebagai Kolonel Said Musa, adalah ia belum terlalu
terkenal.
Yang juga melawan Arafat adalah Abu Saleh, Qadri, dan Abu Akram.
Abu Saleh termasuk pendiri Fatah dan Al-'Asifa. Sebelum sidang
Dewan Nasional Palestina, Februari lalu, keanggotaan Abu Saleh
di Komite Sentral dicabut dengan alasan "pelanggaran disiplin."
Ia terkenal tajam mengkritik kepemimpinan Arafat dan Fatah, yang
dinilainya siap berkompromi. Konflik pertamanya dengan Arafat
terbuka ketika Saleh ketahuan mempersenjatai pasukan kiri
Libanon selama perang sipil.
Abu Akram memasuki medan pertentangan dengan Arafat melalui
jumpa pers 1 Juni lalu. Dalam kesempatan itu ia mencela "korupsi
birokratis yang terjadi di dalam tubuh Fatah." Ia kurang
ditanggapi. Tetapi sebagai bekas kepala Fatah di Libanon, ia
berhasil mengajak beberapa pemimpin lokal Fatah menyertai
pemberontakannya.
Namun yang paling berbahaya agaknya ialah Abu Nidal, pemimpin
Gerakan Pembebasan Nasional Palestina, yang membunuh Isam
Sartawi. Setiap orang Palestina yang menerima kehadiran negara
Israel dinilai kelompok ini sebagai "pengkhianat". "Dan Anda
tahu tindakan apa yang patut diterima seorang pengkhianat," ujar
seorang juru bicara kelompok ini. "Hukuman mati".
Abu Nidal keluar dari PLO, 1974. Ia menilai Arafat mulai lunak
menghadapi Israel. Sejak itu, Arafat dan Abu Nidal berusaha
saling membunuh. Kelompok Abu Nidal dituduh PLO membunuhi
anggota perwakilan organisasi itu di Eropa, selama lima tahun
terakhir.
Tidak banyak diketahui tentang Abu Nidal, pria 40-an tahun yang
lahir sebagai Sabri al-Banna ini. Ia berasal dari keluarga
miskin di Jaffa, bersaudara 14 orang. Sejak 1967 ia bergabung
dengan cabang Fatah di Yordania. Memiliki banyak sel di Eropa
Barat Abu Nidal diperkirakan memimpin sekitar 500 pengikut.
Tapi ada pula pengamat Barat yang melihat konflik ini seperti
dibangkitkan Arafat sendiri. Menurut pendapat ini, melalui
konflik terbuka Arafat akan mengetahui dengan jelas siapa saja
yang berdiri di belakangnya, dan yang memusuhinya, untuk
melangkah lebih lanjut menyelesaikan masalah Palestina.
Salah seorang pemimpin Fatah berkata "sangat sedikit di antara
kami yang tidak setuju dengan tuntutan kaum pemberontak, tapi
kami tidak bisa membenarkan cara mereka." Arafat sendiri nampak
tidak begitu terpukul. Ia seperti sudah bisa memperhitungkan
peristiwa ini sebelumnya.
Pertengahan pekan lalu, kekuatan-kekuatan dalam tubuh gerilyawan
Palestina yang saling bertentangan setuju melakukan gencatan
senjata 12 jam. Pengumuman gencatan senjata di Lembah Bekaa itu
dilakukan beberapa jam setelah Yasser Arafat membuka pertemuan
darurat Komite Eksekutif PLO di Tunis, Tunisia, yang membahas
krisis hubungan Suriah dan Palestina, serta perpecahan di tubuh
Fatah. Tapi sampai kapan gencatan senjata itu bisa
dipertahankan, sulit diramalkan.
Sementara dunia Arab umumnya mengharapkan keuntuhan PLO,
pemimpin Libya Muammar Qaddafi tetap mengipas para pemberontak.
Ia mengimbau untuk "menyingkirkan pemimpin-pemimpin reaksioner
yang mudah takluk." Arafat rupanya berang juga. "Hai semut,"
katanya yang dialamatkan kepada Qaddafi "kembalilah di dalam
lubangmu. Ini revolusi besar, yang tidak bisa digagalkan oleh
uang dan senjatamu. Aku bersumpah untuk sekali waktu memotong
lidahmu!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini