Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Malaikat sekalipun dilawan

Pertentangan dalam tubuh gerilyawan palestina bukan cerita baru. Arafat pernah melakukan pembersihan. sampai berapa lama gencatan senjata bisa dipertahankan.

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PATUTKAH perpecahan di dalam tubuh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dipandang sebagai sesuatu yang luar biasa? "Kita justru heran melihat mereka tahan bersatu sekian lama," ujar seorang pengamat masalah Palestina. Sejak semula, organisasi ini menghimpun dalam dirinya berbagai kelompok dengan kekuatan dan pandangan berbeda-beda. Al Fatah merupakan kelompok terbesar, dan dengan sendirinya banyak menentukan. Dari kelompok ini pula Yasser Arafat mencuat ke puncak kepemimpinan PLO, di tahun 1968. Di dalam Dewan Nasional Palestina, semacam parlemen de facto, Fatah menduduki mayoritas kursi. Kelompok terbesar kedua adalah Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Grup ini dipimpin oleh George Habash, dokter lulusan Universitas Amerika di Beirut, yang kemudian menjadi seorang Marxis. Tak heran bila ia menganut garis keras. Bagi Habash, negara Palestina hanya bisa ditegakkan melalui perjuangan bersenjata. Sejak penghujung 1960-an PFLP, yang banyak menerima bantuan Suriah dan Libya, retak. Beberapa pengikut Habash memisahkan diri dan membentuk kelompok baru: Front Demokratis untuk Pembebasan Palestina dipimpin oleh Naif Hawatmeh, dan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina Komando Umum (PFLP-GC) dipimpin oleh Ahmad Jibril. Tapi yang kemudian terkenal adalah PFLP-GC. Kelompok PFLP-GC hanya beranggotakan 400 sampai 500 gerilyawan. Namun kegarangannya mengesankan. Mereka memperkenalkan diri dengan meledakkan pesawat jet Swissair yang sedang menuju Tel Aviv, Februari 1970. Tiga bulan kemudian mereka menyerang bis sekolah di Qiryat Shmoneh, membunuh 12 orang -- delapan di antaranya anak-anak. Di kawasan yang sama, 11 April 1974, tiga anggota pasukan bunuh diri PFLP-GC menewaskan 20 orang Yahudi. Dua kelompok lain dalam PLO yang juga dibantu Suriah dan Libya adalah Front Perjuangan Rakyat, dan Al Sa'iqah. Akan halnya Front Perjuangan Rakyat (PSF), tak jelas benar asal-usulnya. Konon PSF didirikan sebelum Perang 1967, oleh seorang mayor Angkatan Bersenjata Yordania yang hanya dikenal dengan nama samaran "Khalid". Dia ini dibunuh Israel pada 1968. Terakhir PSF dipimpin Bahjat Abu Gharbiyah, dan Dr. Samir Ghawshaw. Akan Sa'iqah boleh dikatakan bagian dari Angkatan Bersenjata Suriah. Sekretaris Jenderal Sa'iqah, Zuhayr Muhsin, bahkan pernah disebut-sebut sebagai calon Suriah untuk menggantikan Arafat sebagai pemimpin PLO. Sa'iqah menghimpun sekitar 5.000 gerilyawan. Mereka pernah menyatakan iri sebagai "bagian dari Partai Sosialis Baath Arab." Merekalah yang menyerang dan menghancurkan markas polisi Israel di Baniyas, Dataran Tinggi Golan, 13 September 1968. Masih terdapat beberapa kelompok yang bernaung di bawah PLO, dengan jumlah anggota yang berkisar antara puluhan sampai ratusan. Masmg-masing mempunyai sponsor, dan kerap kali pula mereka melakukan aksi keluar-masuk organisasi yang dipimpin Yasser Arafat itu. Sudah tentu Arafat tidak mampu sepenuhnya mengontrol kelompok yang berpencaran ini. Malah Al Fatah saja tidak bisa sepenuhnya dikendalikan Arafat. Fatah memang yang tertua di antara organisasi perlawanan Palestina. Ia menerima "mandat sejarah" dari Komite Tinggi Arab (AHC). Organisasi ini didirikan oleh sekelompok Arab Palestina di Jerman Barat, 1956. Mereka adalah Arafat, yang ketika itu sedang menambah pengetahuan tekniknya di Stuttgart, Khalil al-Wazir (Abu Jihad), Salah Khalaf (Abu Iyad), dan Faruz al-Qaddumi (Abu Luft). Dalam soal organisasi, Fatah mungkin yang terbaik di antara kelompok perlawanan Palestina. Di puncak organisasi terdapat Komite Sentral, yang sejak Fatah berdiri sampai sekarang, diketuai Yasser Arafat. Komite Sentral ini membawahkan Komando Umum, Dewan Militer, Dewan Revolusioner, Intelijen, Masalah Yordan, Informasi, Keuangan, Luar Negeri, Organisasi, dan Mobilisasi. Beberapa tahun setelah berdiri, Fatah membentuk Angkatan Bersenjatanya, Al-'Asifah. Menurut Faruz al-Qaddumi, pada permulaan operasinya, Januari 1965, Al-'Asifah hanya memiliki 26 serdadu. Pada akhir tahun itu juga jumlah ini bertambah menjadi 200. Hingga penghujung 1980, Al-'Asifah diperkirakan memiliki sekitar 12.000 pasukan komando, dan 15.000 tentara cadangan yang siap dikerahkan dalam tempo 24 jam. Mengenai keanggotaan, Al-'Asifah membatasi diri pada warga Palestiha yang berumur antara 20 dan 30 tahun saja. Dan mereka diwajibkan mengangkat sumpah. Isi sumpah, antara lain, siap ditugaskan selama 24 jam, sanggup menyimpan rahasia organisasi, dan tidak pernah membicarakan tugas yang diberikan pimpinan dengan siapa pun. Untuk menjaga kerahasiaan, Al-'Asifah dibangun dalam jaringan sel. Hanya pemimpin sel yang mengenal anggotanya. Organisasi Fatah sendiri merupakan kombinasi antara sistem sel dan komite. Model ini kemudian banyak ditiru oleh kelompok perlawanan Palestina lainnya. Sel-sel Fatah yang pertama dibentuk di Jerman Barat dan Kuwait. Mereka menyusup ke dalam kamp pengungsi, kampus universitas, dan serikat buruh. Kekuasaan tertinggi dalam Al-Fatah dipegang oleh Kongres Nasional. Kongres inilah yang memilih Komite Sentral -- lembaga ini merupakan badan koordinasi dan pengambil keputusan tertinggi. Fatah mendirikan kantor cabangnya di berbagai negeri Arab dan non-Arab. Setahun setelah Perang Karameh, keanggotaan Fatah konon terserak di 80 negeri. Dari Asia ke Afrika. Dan di seantero Benua Amerika. Sebelum Perang Karameh, 1967, kepemimpinan Fatah ditandai oleh homogenitas politik, dan kesamaan pendapat untuk menghadapi Israel dengan kekuatan militer. Tapi sekitar Agustus 1968, kepemimpinan mulai terpecah oleh perbedaan sikap menghadapi Yordan. September tahun itu juga Fatah menyelenggarakan kongres. Namun keadaan rupanya agak sulit diselamatkan. Setahun setelah kongres, mulai terdengar suara santer mengkritik kepemimpinan Arafat. Ia dituduh mempengaruhi pemilihan anggota Komite Sentral untuk keuntungannya sendiri. Langkah ini memecah kepemimpinan Fatah ke dalam kelompok kanan, tengah, dan kiri. Masing-masing kelompok ini mulai berebut pengaruh, dan kadang-kadang tidak bisa menguasai emosi. Pada penghujung 1971 tersingkaplah untuk pertama kalinya usaha pembunuhan atas diri Arafat. Setahun kemudian komandan militer Fatah di Libanon Timur, Abu Yusuf Al-Kayid, melakukan pemberontakan. Tapi Arafat berhasil memadamkan perlawanan ini. Dan Al-Kayid dipindahkan ke kantor perwakilan Fatah di Aljazair. Pemberontakan dalam Fatah berulang lagi tahun 1976. Kali ini digerakkan oleh Muhammad Daud, serta Sabri al-Banna alias Abu Nidal. Untuk menegakkan kewibawaan dan mempertahankan kepemimpinannya di dalam PLO, Fatah sendiri melakukan sejumlah "pembersihan" -- usaha yang diduga tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab Arafat. Tercatat puluhan orang yang dijatuhi hukuman mati oleh mahkamah militer yang dibentuk Arafat. Bila disimak dengan teliti, perpecahan dalam Fatah sekaligus terjadi di tiga lapisan organisasi. Pada tingkat pertama, para pemimpin puncak Fatah mulai berbeda pendapat tentang sikap dan strategi menghadapi dunia Arab dan lingkungan internasional. Dalam tingkat ini, perbedaan pendapat berkisar di sekitar pendiri Fatah. Masing-masing mulai mencari sponsor di antara negara-negara Arab kaya. Di lapisan kedua, mulai terbentuk klik-klik di antara pemimpin eselon dua. Celakanya, justru lapisan ini yang paling disasar oleh beberapa negara Arab yang tidak begitu bersenang hati atas keutuhan Fatah. Dengan dananya yang besar, negara-negara Arab itu makin memperuncing persaingan antarklik. Pada lapisan ketiga, dalam tubuh Fatah sendiri muncul generasi baru, yang mulai mempertanyakan "hak sejarah" para pemimpin yang berangkat tua. Generasi baru ini membentuk lapisan sendiri, yang lebih pragmatis, tapi juga lebih terbatas dalam kemampuan. Tadinya, dukungan keuangan yang utama diperoleh Fatah dari Arab Saudi, Kuwait dan Uni Emirat Arab. Ada pula sumbangan dari kaum yang menamakan diri Palestina Bebas -- mereka terdiri dari hartawan Palestina yang tidak terikat kepada salah satu gerakan perlawanan yang lain. Tapi dengan retaknya Al Fatah, dukungan keuangan dan politis juga terbagi-bagi. Kelompok kanan lebih banyak menerima bantuan komersial, sedangkan kelompok kiri unggul dalam dukungan politis. Sayap kanan Fatah biasanya dihubungkan dengan kelompok yang dipimpin al-Hasan bersaudara. Kedua tokoh ini, bersama Kamal 'Udwan dan Yusuf al-Najjar, tampil dengan gaya pragmatis menghadapi negara-negara Arab. Mereka menjalin hubungan baik dengan Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab. Sayap kiri diwakili Salah Khalaf, Nimr Salih, dan Hamdan 'Ashur. Ke dalam kelompok kiri ini juga terisap para pengikut mendiang Abu 'Ali Iyad (tidak ada hubungannya dengan Khalaf) di Yordan. Kelompok ini berusaha mendorong Fatah menjalin hubungan lebih erat dengan pemerintahan kiri -- terutama di negeri sekitar Arab. Di antara kedua kelompok inilah berdiri golongan tengah -- yang berjasa mempertahankan eksistensi Fatah. Arafat termasuk dalam kelompok ini bersama mendiang Kamal Nasir, al-Wazir, dan al-Qaddumi. Pertentangan antarkelompok ini makin lama makin runcing. Para penentang Arafat mulai menagih prinsip-prinsip yang diletakkan Fatah pada 1965, ketika serikat ini mulai melancarkan ofensif militer. Prinsip itu diawali kalimat: "kekerasan revolusioner adalah sistem satu-satunya untuk pembebasan tanah leluhur kami." Dalam prinsip itu juga dinyatakan bahwa tujuan Fatah ialah "melumatkan Zionisme dalam segala bentuknya." Aksi "revolusioner" itu harus bebas dari setiap pengawasan partai atau negeri, dan berlangsung dalam jangka panjang. Arafat sendiri, di sekitar tahun-tahun itu, pernah menandaskan, "kami menentang keinginan beberapa pemimpin Arab untuk menyelesaikan pertikaian (dengan Israel) melalui persetujuan perdamaian." Mampukah Arafat, yang pernah dijuluki "Saladin abad ke-20" itu, keluar dari rimba sengketa yang gelap ini? Yang pasti, bukan sekali dua insinyur sipil jebolan Universitas Fuad I (kini Universitas Kairo) ini menghadang mara bahaya. Sampai-sampai dinas rahasia Israel memuji kehebatannya mengelakkan diri dari sasaran lawan-lawannya. Dilahirkan 1929, konon di sekitar Tembok Ratapan, Yerusalem, Arafat pada mulanya bernama Abdurahman Abdurauf. Kelak, di kalangan Fatah dan PLO, ia mendapat nama Abu Ammar. Pada usia 17 Arafat menjadi sekretaris pribadi Abdulkadi al-Husayni, satu dari beberapa al-Husayni, yang mengangkat senjata menentang pembentukan negara Israel. Ibu Arafat juga berasal dari clan ningrat ini. Sekitar 1951 keluarga Arafat pindah dari Gaza ke Kairo. Di sana ia menamatkan sekolahnya seraya aktif dalam kegiatan politik mahasiswa. Ia selain berhubungan dengan para nasionalis Palestina, juga dengan Ikhwanul Muslimun. Arafat pernah mendapat latihan siasat gerilya di Akademi Militer Mesir. Adalah dia yang memimpin komando Palestina dan Mesir melawan Inggris di Terusan Suez, 1951-1952. Sebagai letnan dalam Angkatan Bersenjata Mesir, ia ikut melawan Prancis dan Inggris di Port Said dan Abu Kabir, 1956. Dalam menghadapi pertentangan di dalam tubuh Fatah dan PLO sekarang, Arafat tidak sendirian. Paling tidak ia masih dipertahankan oleh tokoh lama seperti, Faruz al-Qaddumi, Khalil al-Wazir, dan Kamal Nasir. Faruz al-Qaddumi, alias Abu Luft, lahir di Nablus pada 1931, dari keluarga pemilik tanah golongan menengah. Pada 1948 al-Qaddumi masuk partai Baath, hingga 1958. Ia pernah bekerja sebagai direktur hubungan masyarakat dan personil Aramco di Arab Saudi, 1952-1954. Pada 1954 ia menolak kesempatan belajar di Universitas Cornell, dan memilih melanjutkan pendidikan ekonomi di Universitas Amerika di Kairo. Di sinilah ia berjumpa dengan Arafat, Khalaf dan al-Wazir. Setelah menyelesaikan pendidikannya, al-Qaddumi bekerja setahun di Libya, kemudian pindah ke Arab Saudi, lalu Kuwait, seraya mulai terlibat membangun struktur organisasi Fatah. Setelah Perang Juni 1967, Abu Luft menjadi penghubung Fatah dengan Mesir. Peranannya kemudian di dalam PLO lebih banyak di lapangan diplomatik. Dialah yang mengetuai delegasi PLO ke PBB. Kata orang, Abu Luft, tokoh perlawanan Palestina yang disebut-sebut paling manusiawi, adalah "otak" di belakang segala sepak terjang Arafat. Akan halnya Khalil al-Wazir, alias Abu Jihad, menjadi titik penting dalam hubungan Fatah dengan Aljazair, Suriah, RRC, Korea Utara, Vietnam, dan Uni Soviet. Lahir 1936, al-Wazir tokoh pendiam yang sangat mengelakkan publikasi. Ia bergabung dengan para gerilyawan setelah Perang 1948. Berjumpa dengan Arafat di Kairo, mereka kemudian bersama-sama menuntut ilmu di Universitas Stuttgart, Jerman Barat. Al-Wazir pernah menjadi komandan Al-'Asifah, dan disebut-sebut sebagai ahli siasat. Ia sering dipercayakan melatih pasukan, membenahi organisasi, dan menyusun doktrin taktis. Di luar berbagai perbedaan pendapat yang sudah berakar di kalangan gerilyawan Palestina sebelumnya, kesangsian pada kepemimpinan Arafat semakin menjadi-jadi setelah penarikan mundur PLO dari Beirut, tahun lalu. Bahkan pembantaian para pengungsi Palestina di kamp Sabra dan Satila, 16-18 September 1982, dipersalahkan di pundaknya. Puncak kecaman terhadap Arafat muncul pada sikapnya yang menyetujui usul perdamaian Ronald Reagan. Menurut George Habash, kompromi demikian sudah terlalu mendasar. "Dia sudah ditelan imperialisme," ujar Mahmud, seorang gerilyawan di Lembah Bekaa. "Kita mesti menyingkirkan dia." Selama 15 tahun terakhir Arafat memang berjuang mengatasi perbedaan pendapat di dalam tubuh PLO. Tidak dinyana, pembangkangan kini datang dari induk pasukannya sendiri, Al Fatah. Aksi ini dipimpin oleh Kolonel Abu Musa -- orang kepercayaan Arafat yang mengepalai bagian operasi. Abu Musa yang berperawakan jangkung, dan berkepala botak gampang tersenyum dan cepat menularkan pengaruh. Bekas perwira Yordania ini lahir di sekitar Yerusalem, 1927. Dan Abu Musa dikenal teguh dalam pendirian. "Konon di surga ada malaikat," katanya kepada wartawan The Gardian dua pekan lalu. "Jika para malaikat ini merintangi jalan saya menuju Palestina, saya akan melawan mereka." Ia memang tak suka jalan diplomatis. "Kami bukan tentara reguler, melainkan pejuang," katanya. "Kami hidup bersama rakyat, perang kami adalah perang rakyat. Kami tidak mau menjadi tentara reguler yang harus melayani kepentingan Arafat demi penyelesaian melalui perundingan." Kelemahan Abu Musa, yang juga dikenal sebagai Kolonel Said Musa, adalah ia belum terlalu terkenal. Yang juga melawan Arafat adalah Abu Saleh, Qadri, dan Abu Akram. Abu Saleh termasuk pendiri Fatah dan Al-'Asifa. Sebelum sidang Dewan Nasional Palestina, Februari lalu, keanggotaan Abu Saleh di Komite Sentral dicabut dengan alasan "pelanggaran disiplin." Ia terkenal tajam mengkritik kepemimpinan Arafat dan Fatah, yang dinilainya siap berkompromi. Konflik pertamanya dengan Arafat terbuka ketika Saleh ketahuan mempersenjatai pasukan kiri Libanon selama perang sipil. Abu Akram memasuki medan pertentangan dengan Arafat melalui jumpa pers 1 Juni lalu. Dalam kesempatan itu ia mencela "korupsi birokratis yang terjadi di dalam tubuh Fatah." Ia kurang ditanggapi. Tetapi sebagai bekas kepala Fatah di Libanon, ia berhasil mengajak beberapa pemimpin lokal Fatah menyertai pemberontakannya. Namun yang paling berbahaya agaknya ialah Abu Nidal, pemimpin Gerakan Pembebasan Nasional Palestina, yang membunuh Isam Sartawi. Setiap orang Palestina yang menerima kehadiran negara Israel dinilai kelompok ini sebagai "pengkhianat". "Dan Anda tahu tindakan apa yang patut diterima seorang pengkhianat," ujar seorang juru bicara kelompok ini. "Hukuman mati". Abu Nidal keluar dari PLO, 1974. Ia menilai Arafat mulai lunak menghadapi Israel. Sejak itu, Arafat dan Abu Nidal berusaha saling membunuh. Kelompok Abu Nidal dituduh PLO membunuhi anggota perwakilan organisasi itu di Eropa, selama lima tahun terakhir. Tidak banyak diketahui tentang Abu Nidal, pria 40-an tahun yang lahir sebagai Sabri al-Banna ini. Ia berasal dari keluarga miskin di Jaffa, bersaudara 14 orang. Sejak 1967 ia bergabung dengan cabang Fatah di Yordania. Memiliki banyak sel di Eropa Barat Abu Nidal diperkirakan memimpin sekitar 500 pengikut. Tapi ada pula pengamat Barat yang melihat konflik ini seperti dibangkitkan Arafat sendiri. Menurut pendapat ini, melalui konflik terbuka Arafat akan mengetahui dengan jelas siapa saja yang berdiri di belakangnya, dan yang memusuhinya, untuk melangkah lebih lanjut menyelesaikan masalah Palestina. Salah seorang pemimpin Fatah berkata "sangat sedikit di antara kami yang tidak setuju dengan tuntutan kaum pemberontak, tapi kami tidak bisa membenarkan cara mereka." Arafat sendiri nampak tidak begitu terpukul. Ia seperti sudah bisa memperhitungkan peristiwa ini sebelumnya. Pertengahan pekan lalu, kekuatan-kekuatan dalam tubuh gerilyawan Palestina yang saling bertentangan setuju melakukan gencatan senjata 12 jam. Pengumuman gencatan senjata di Lembah Bekaa itu dilakukan beberapa jam setelah Yasser Arafat membuka pertemuan darurat Komite Eksekutif PLO di Tunis, Tunisia, yang membahas krisis hubungan Suriah dan Palestina, serta perpecahan di tubuh Fatah. Tapi sampai kapan gencatan senjata itu bisa dipertahankan, sulit diramalkan. Sementara dunia Arab umumnya mengharapkan keuntuhan PLO, pemimpin Libya Muammar Qaddafi tetap mengipas para pemberontak. Ia mengimbau untuk "menyingkirkan pemimpin-pemimpin reaksioner yang mudah takluk." Arafat rupanya berang juga. "Hai semut," katanya yang dialamatkan kepada Qaddafi "kembalilah di dalam lubangmu. Ini revolusi besar, yang tidak bisa digagalkan oleh uang dan senjatamu. Aku bersumpah untuk sekali waktu memotong lidahmu!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus