Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Jatuhnya persia

Persia, yang dulu baghdad, jatuh karena menyembunyikan keresahan dan pergolakannya sendiri. alternatif yang datang dari lain pihak, yang mungkin menyelamatkannya, tak diterima oleh penguasa.

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hatiku penuh dengan kata-kata karena itu tak kuucapkan sepatah pun suara. TAK mudah untuk menebak dalam situasi apa Jalaluddin Rumi, penyair sufi itu menuliskan kalimatnya. Barangkali kata-kata itu mengandung kedalaman pikiran seorang yang lama merenung dalam tasawuf. Tapi barangkali itu juga pernyataan sikap seorang cendekia, di suatu zaman yang tak mudah. Zaman seperti itu memang pernah ada bahkan siapa tahu selalu saja terasa bekasnya. Di Persia, misalnya, adalah seorang yang bernama Omar Khayyam. Dia termasyhur hingga sekarang karena sajaksajaknya, dalam bentuk rubayyat, yang diterjemahkan ke seluruh bahasa di dunia termasuk ke dalam bahasa Indonesia. Yang agak kurang kita ketahui ialah kenapa justru ia hanya dikenang karena puisi itu. Padahal Omar Khayyam adalah seorang ahli matematika, juga astronom terpandang. Dia seorang pengikut Ibnu Sinna, dan dikenal pula sebagai seorang pemikir yang didatangi orang untuk bertanya jawab. Tapi toh ia tak meninggalkan buku yang menakjubkan di bidang-bidang keilmuan yang dikuasainya itu. Apa sebabnya? Teramat sedikit diketahui tentang Khayyam, namun ada suatu kalimat menarik dalam risalah singkatnya tentang aljabar yang ia tulis di abad ke-12 itu. Di situ Omar Khayyam menyelipkan satu keluhan: "Kita adalah korban dari suatu zaman ketika para ahli ilmu dijatuhkan namanya . . . " Khayyam, salah seorang ahli ilmu, mungkin mengalami sesuatu yang pahit. Dan karena itu ia memilih diam. Seperti kata-kata Rumi: hatinya penuh dengan isi, tapi ia tak mencoba mengundang orang lain bertukar pikiran. Ia malah menolak disebut sebagai ahli filsafat. Dengan cara mengelak yang agaknya khas melalui rubayyatnya, Khayyam berkata: . . . sejak aku tiba di lembah air mata ini, bahkan tak bisa kukatakan siapa diriku. Kita seperti merasa bahwa tokoh ini sesungguhnya berolok-olok. Dan barangkali saja seluruh karya rubayyatnya cuma sekadar cara mengelakkan diri agar tidak dianggap teramat serius. Di sana ia tampil sebagai seorang epikurian: menyerukan agar anggur ditenggak dan cinta dinikmati, tanpa menunda lagi hari esok -- karena di hari esok segalanya berakhir. Bagaimana mungkin seorang ahli aljabar bicara demikian, sementara di dalam kesempatan lain ia nampak orang yang alim dan hati-hati? Ali Dashti, seorang penelaah kesusastraan klasik Persia, menulis tentang teka-teki Omar Khayyam ini dan melukiskan suasana zamannya: inilah abad yang, beberapa tahun setelah Khayyam wafat, Einolqozat Hamadani dihukum bakar sampai mati. Inilah masa setelah Al Hallaj disalibkan, dan kemudian Shehaboddin Soravardi dibunuh. "Mereka semua orang-orang yang penuh pengabdian, orang yang beriman kepada Allah yang Satu dan para zuhud yang terkenal tak seorang di antara mereka itu punya maksud menumbangkan pemerintah atau mengganggu tata politik. Satu-satunya kejahatan mereka ialah karena menggabungkan diri dengan ajaran filsafat yang tak sesuai dengan kaum formalis, para budak tradisi dan keortodoksan . . . " Ali Dashti, dengan mengatakan demikian, memang menunjukkan sesalnya yang besar terhadap zaman seperti itu. Kita tentu tidak perlu marah kepada sebuah masa yang lampau, yang mungkin punya soal-soal tersendiri dan mencoba penyelesaian yang tersendiri pula. Dari dalam ketakutannya bicara di bidang ilmu dan filsafat Omar Khayyam toh menuliskan rubayyat, yang mengilhami banyak orang dengan keindahan yang asyik. Namun tentu saja kita juga tak bisa membebaskan diri dari kenyataan bahwa kita semua hidup dalam zaman yang berbeda: yang melihat dengan ngeri kekejaman terhadap pikiran, dan merasa gelap mendekat di saat seperti itu. Sebab dunia yang menyembunyikan keresahan dan pergolakannya sendiri adalah dunia yang pura-pura dan rapuh. Orang kemudian bisa bilang bahwa kerapuhan itulah yang menyebabkan Persia yang dulu, Baghdad yang dulu, tidak bertahan. Alternatif yang mungkin menyelamatkannya telah ditutup, karena alternatif dianggap tak seharusnya ada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus