Hatiku penuh dengan kata-kata
karena itu tak kuucapkan sepatah pun suara.
TAK mudah untuk menebak dalam situasi apa Jalaluddin Rumi,
penyair sufi itu menuliskan kalimatnya. Barangkali kata-kata itu
mengandung kedalaman pikiran seorang yang lama merenung dalam
tasawuf. Tapi barangkali itu juga pernyataan sikap seorang
cendekia, di suatu zaman yang tak mudah.
Zaman seperti itu memang pernah ada bahkan siapa tahu selalu
saja terasa bekasnya. Di Persia, misalnya, adalah seorang yang
bernama Omar Khayyam. Dia termasyhur hingga sekarang karena
sajaksajaknya, dalam bentuk rubayyat, yang diterjemahkan ke
seluruh bahasa di dunia termasuk ke dalam bahasa Indonesia. Yang
agak kurang kita ketahui ialah kenapa justru ia hanya dikenang
karena puisi itu.
Padahal Omar Khayyam adalah seorang ahli matematika, juga
astronom terpandang. Dia seorang pengikut Ibnu Sinna, dan
dikenal pula sebagai seorang pemikir yang didatangi orang untuk
bertanya jawab.
Tapi toh ia tak meninggalkan buku yang menakjubkan di
bidang-bidang keilmuan yang dikuasainya itu. Apa sebabnya?
Teramat sedikit diketahui tentang Khayyam, namun ada suatu
kalimat menarik dalam risalah singkatnya tentang aljabar yang ia
tulis di abad ke-12 itu. Di situ Omar Khayyam menyelipkan satu
keluhan: "Kita adalah korban dari suatu zaman ketika para ahli
ilmu dijatuhkan namanya . . . "
Khayyam, salah seorang ahli ilmu, mungkin mengalami sesuatu yang
pahit. Dan karena itu ia memilih diam. Seperti kata-kata Rumi:
hatinya penuh dengan isi, tapi ia tak mencoba mengundang orang
lain bertukar pikiran. Ia malah menolak disebut sebagai ahli
filsafat. Dengan cara mengelak yang agaknya khas melalui
rubayyatnya, Khayyam berkata:
. . . sejak aku tiba di lembah air mata ini, bahkan tak bisa
kukatakan siapa diriku.
Kita seperti merasa bahwa tokoh ini sesungguhnya berolok-olok.
Dan barangkali saja seluruh karya rubayyatnya cuma sekadar cara
mengelakkan diri agar tidak dianggap teramat serius. Di sana ia
tampil sebagai seorang epikurian: menyerukan agar anggur
ditenggak dan cinta dinikmati, tanpa menunda lagi hari esok --
karena di hari esok segalanya berakhir. Bagaimana mungkin
seorang ahli aljabar bicara demikian, sementara di dalam
kesempatan lain ia nampak orang yang alim dan hati-hati?
Ali Dashti, seorang penelaah kesusastraan klasik Persia, menulis
tentang teka-teki Omar Khayyam ini dan melukiskan suasana
zamannya: inilah abad yang, beberapa tahun setelah Khayyam
wafat, Einolqozat Hamadani dihukum bakar sampai mati. Inilah
masa setelah Al Hallaj disalibkan, dan kemudian Shehaboddin
Soravardi dibunuh.
"Mereka semua orang-orang yang penuh pengabdian, orang yang
beriman kepada Allah yang Satu dan para zuhud yang terkenal tak
seorang di antara mereka itu punya maksud menumbangkan
pemerintah atau mengganggu tata politik. Satu-satunya kejahatan
mereka ialah karena menggabungkan diri dengan ajaran filsafat
yang tak sesuai dengan kaum formalis, para budak tradisi dan
keortodoksan . . . "
Ali Dashti, dengan mengatakan demikian, memang menunjukkan
sesalnya yang besar terhadap zaman seperti itu.
Kita tentu tidak perlu marah kepada sebuah masa yang lampau,
yang mungkin punya soal-soal tersendiri dan mencoba penyelesaian
yang tersendiri pula. Dari dalam ketakutannya bicara di bidang
ilmu dan filsafat Omar Khayyam toh menuliskan rubayyat, yang
mengilhami banyak orang dengan keindahan yang asyik.
Namun tentu saja kita juga tak bisa membebaskan diri dari
kenyataan bahwa kita semua hidup dalam zaman yang berbeda: yang
melihat dengan ngeri kekejaman terhadap pikiran, dan merasa
gelap mendekat di saat seperti itu.
Sebab dunia yang menyembunyikan keresahan dan pergolakannya
sendiri adalah dunia yang pura-pura dan rapuh. Orang kemudian
bisa bilang bahwa kerapuhan itulah yang menyebabkan Persia yang
dulu, Baghdad yang dulu, tidak bertahan. Alternatif yang mungkin
menyelamatkannya telah ditutup, karena alternatif dianggap tak
seharusnya ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini