RAMADHAN berdarah berulang lagi dalam sejarah Organisasi
Pembebasan Palestina (PLO). Bulan puasa tahun lalu mereka
tersekap hujan roket dalam gempuran tank Israel di Beirut.
Namun tragedi yang terjadi di Lembah Bekaa, dua pekan silam,
punya rasa pahit dan tekanan yang berbeda. kali ini darah
mengalir karena tangan saudara sendiri. Sesudah pembangkangan
Abu Musa dan kawan-kawan, bentrokan senjata rupanya tak dapat
dihindarkan lagi antara kelompok Al-Fatah yang pro dan
anti-Yasser Arafat.
Keadaan dalam tubuh gerilyawan Palestina menggawat. Tapi Arafat,
pemimpin AlFatah merangkap ketua PLO, belum dapat berbuat
banyak. Sementara perpecahan yang mengancam Al-Fatah, ia diusir
pula oleh Pemerintah Suriah.
Masih asyik dengan kesenangan berdiplomasi, Arafat begitu tiba
di Tunis dari Damaskus, segera mengadakan sidang Komite
Eksekutif PLO untuk membahas perpecahan Al-Fatah dan krisis
hubungan Suriah-Palestina. Setelah itu dia terbang kc
Cekoslowakia. Apa maunya? Arafat seakan mengajak orang lain ikut
berperan dan bermain dalam krisis Al-Fatah.
Dan memang itulah yang terjadi. Raja Fahd dari Arab Saudi dan
Presiden Aljazair mengutus delegasi enam orang ke Damaskus untuk
menjembatani pihak-pihak yang bersengketa. Tujuh organisasi yang
tergabung dalam PLO, tiga di antaranya kelompok garis keras yang
dipimpin George Habash, Nayef Hawatmeh, dan apa yang disebut
Saiqa, sepakat mengimbau dihentikannya pertentangan. Bahkan
kelompok Saiqa, yang dibantu Suriah, menyerukan dukungan lagi
PLO dan Yasser Arafat.
Adakah Arafat bisa keluar dari kemelut paling parah sepanjang
sejarah Al-Fatah ini? Apakah kelompok moderat yang merupakan
unsur terbesar dalam tubuh PLO bisa kembali utuh? Sulit diduga.
Yasser Arafat komandan yang lebih berbakat sebagai politisi dan
diplomat ini, memang bukan tandingan Abu Musa dan kawan-kawan.
Mencari penggantinya di kalangan PLO, juga tidak mudah. Sebab ia
tokoh yang diterima di banyak negara Arab (kecuali Libya dan
Suriah) dan di bawah asuhannya PLO diakui oleh lebih 100 negara
di dunia. Tapi kelebihan semacam ini rupanya sedang tidak
dibutuhkan -- setidaknya oleh sayap kiri Al-Fatah.
Mereka yang berhaluan kiri ini menuntut kepemimpinan kolektif
(bukan kepemimpinan tunggal model Arafat) dan sikap lebih tegas
menghadapi Israel. Tersengat impian pada negara Palestina
merdeka, yang barangkali ditiup-tiupkan lagi oleh Suriah dan
Libya, para pemberontak mempertaruhkan modal mereka yang tinggal
satu-satunya, yakni persatuan PLO. Impian itu belakangan ini
memang digarap secara lebih praktis oleh Arafat, lewat diplomasi
bertahap, dan sedikit "main mata" dengan rencana perdamaian
Reagan.
Main mata itu ternyata harus ditebus mahal oleh Arafat. Sebab
hal itu sangat tidak berkenan di mata pemberontak. Tapi
segalanya sudah telanjur. Kini tinggal bagaimana Arafat
menjinakkan Abu Musa -- yang nampaknya juga bukan perkara
ringan.
Isu perpecahan dalam PLO sebenarnya sudah mulai menghantu sejak
Januari silam. Manakala rencana perdamaian Fez yang, antara
lain, memperjuangkan negara Palestina merdeka tidak mendapat
sambutan di Washington, apalagi di Tel Aviv, maka rasa kecewa
pun terbit. Benar, moral PLO lebih kuat sesudah penggusuran
Beirut Barat, dan posisi politik lebih mantap, tapi potensi
militer mereka sudah dipreteli. Tak terelakkan lagi, keputusan
Araht meninggalkan Beirut dan pengiriman 15.000 PLO ke delapan
negara Arab mulai dikecam.
Serentak dikecam juga birokrasi dan korupsi, penyalahgunaan dana
revolusi, tak terkecuali pendekatan dengan Raja Yordania
Hussein. Abu Musa kabarnya paling sakit hati akan adanya
pertemuan Arafat-Hussein. Dokumen hasil pertemuan itu
mengesankan adanya kecenderungan ke arah kapitulasi di pihak
Arafat, tanpa menjelaskan lebih terperinci. Dia juga keberatan
adanya kontak Arafat-Mesir. Sebelum itu, Abu Saleh, yang juga
pemberontak sudah secara terbuka mengkritik kompromi-kompromi
Arafat. Dan Abu Akram, tokoh pemberontak yang lain, menghantam
birokrasi dan korupsi dalam Al-Fatah.
Tentang pemberontakan itu sendiri, seorang pejabat PLO
berkomentar: "Itu semacam katarsis yang tak dapat dihindarkan
sesudah guncangan besar-besaran akibat serbuan Israel ke
Libanon." Tapi, Musa, jelas tidak berpikir tentang katarsis. Di
balik itu semua, yang membuat mereka naik pitam ialah keputusan
Arafat menunjuk orang-orang tak bertanggung jawab untuk
membawahkan pos-pos penting. Abu Hajem, semula komandan pos
Sidon, dipercaya jadi komandan seluruh pasukan PLO di Libanon.
Hajj Ismail dari pos selatan dipindahkan ke pos utara (di
Libanon) yang kini lebih aktif. Kedua pemimpin itu, menurut
pemberontak, berbakat pengecut. Bahkan Abu Hajem senang
bermewah-mewah.
Mengapa Arafat memilih mereka? Tentang ini ada spekulasi paling
berani. Arafat, katanya, menunjuk Hajem dan Ismail semata-mata
untuk memancing terjadinya sebuah pemberontakan. Lewat ini, ia
akan lebih mudah memisahkan siapa kawan siapa lawan di antara
kelompok yang santer mengkritiknya di Al-Fatah.
Spekulasi itu sulit untuk diterima. Karena jelas terlalu riskan
bagi Arafat ataupun PLO. Tapi melihat sikap Arafat yang rada
lamban menjawab gertakan pemberontak, bukan tidak mungkin ia
sudah bersiap-siap untuk kemungkinan paling buruk sekalipun.
Lagi pula tokoh-tokoh pemberontak mewakili suara kiri dalam
Al-Fatah (lihat: Malaikat Sekalipun Akan Dilawan).
Kritik terhadap korupsi dan salah urus bukan "kecap" baru di
kalangan PLO yang bangga dengan tradisi demokrasi dan gaya
konsultasi mereka. "Cuma sedikit yang tidak setuju dengan
tuntutan kaum pemberontak," ucap seorang tokoh Al-Fatah. "Tapi
kami keberatan akan cara mereka, yang merugikan persatuan dan
membuka peluang bagi para penguasa Arab ikut campur dalam proses
pengambilan keputusan."
Soal "orang luar" ikut campur itu, juga bukan barang baru dalam
sejarah PLO. Terbentuk tahun 1964, PLO mulanya hanya
perpanjangan dari kegiatan Liga Arab. Dalam pertempuran
al-Karameh (1968) di tepi timur Sungai Yordan, gerilyawan
Palestina dengan gemilang berhasil menahan serangan tentara
Israel. Sejak itu mereka memenangkan kehormatan dan prestise
politis. Setahun kemudian, gerilyawan sepenuhnya menguasai PLO.
Tahun 1970, sesudah penumpasan Black September yang dilancarkan
Raja Hussein, PLO tampil sebagai organisasi merdeka di kawasan
Arab.
Pada pertemuan puncak di Rabbat (1974), pemimpin dinasti
Hashemite itu terpaksa mengakui PLO sebagai satu-satunya wakil
sah rakyat Palestina. Padahal Hussein sebelumnya merasa berhak
untuk berperan sebagai wakil yang sah itu. Ia juga terpaksa
merelakan Tepi Barat dan rencananya membentuk Kerajaan Persatuan
Arab (1972) berupa federasi Palestina (Tepi Barat) dan Yordania
(Tepi Timur). Di Rabbat juga berkumandang Janii negara-negara
Arab untuk bersama-sama mendukung perjuangan Palestina
selanjutnya. Janji ini terasa hampa kelak. Dalam pengepungan
Beirut Barat, PLO dibiarkan sendiri oleh rekan-rekan Arabnya,
hingga Arafat berkata, "Untuk ini mereka berutang dan kelak
harus membayarnya pada PLO."
Dalam perkembangan selanjutnya PLO tampil sebagai satu-satunya
organisasi gerilyawan pejuang kemerdekaan yang diakui oleh 100
lebih negara di dunia, anggota Majelis Umum PBB, dan tak ubahnya
sebuah negara meski tanpa wilayah. Keberhasilannya yang lain
ialah dalam upaya politisasi penduduk Arab Palestina di Tepi
Barat, Jalur Gaza, bahkan Israel. Akibatnya dalam pemilihan
pertama yang diselenggarakan Israel sesudah mereka menyerbu ke
wilayah itu, yang menang justru tokoh-tokoh Palestina yang
pro-PLO.
Tak heran bila warga Tepi Barat mendukung PLO dan Arafat. Waktu
mendengar kemelut Al-Fatah ini mereka konon prihatin sekali,
khawatir jangan-jangan PLO pecah dan perjuangan ke sebuah negara
Palestina mereka kandas di tengah jalan. Akibatnya, mereka,
berjumlah empat juta orang, harus mulai dari awal lagi.
Di kalangan negara Arab, Mesir dan Suriah paling menonjol dalam
usaha membantu perjuangan PLO. Tapi tahun 1978 Mesir terbentur
persetujuan Camp David dengan Israel dan AS. Hingga mereka tidak
bisa bicara banyak. Tinggal Suriah, dalam pertempuran lawan
Israel kehilangan Dataran Tinggi Golan, yang mendukung. Tidak
heran jika dalam tiap perundingan yang menyangkut PLO dan
Israel, Presiden Suriah Hafez Assad, tidak mau diabaikan.
Utusan khusus AS Philip Habib bukan tidak menyadari hal ini.
Buktinya, ia sampai perlu mengingatkan Perdana Menteri Israel
Menachem Begin agar tidak bertindak sembarangan. Tapi tatkala
mereka merundingkan penarikan mundur tentara Israel dari
Libanon, sayang sekali Assad sama sekali tidak mendapat bisikan,
konon pula ditanyakan pendapatnya. Sekalipun Assad punya 40.000
tentara di Lembah Bekaa.
Mengapa? Banyak yang menduga Washington ingin cepat-cepat
mengamankan Libanon yang porak poranda itu. Tapi tidak mengira
bahwa kalau Israel mundur, Suriah belum tentu mau mundur. Dan
memang itulah yang terjadi. Akibatnya perjanjian yang prosesnya
berbelit-belit tidak sepenuhnya terwujud. Libanon kini masih
berupa daerah pendudukan tentara asing. Situasi yang tidak
menentu ini segera dimanfaatkan Suriah untuk memperkuat
tentaranya dengan puluhan rudal, pasukan tank yang baru lengkap
dengan penasihat militer Uni Soviet. Dan, sebelum AS dapat
melakukan sesuatu yang berarti untuk perjuangan Palestina,
Suriah memanfaatkan barisan tank mereka membantu pemberontak
Al-Fatah.
Keadaan sudah telanjur runyam. Padahal sebelum Menlu AS
Alexander Haig mengundurkan diri, dalam agendanya sudah
tercantum upaya mengamankan Tepi Barat dan Jalur Gaza untuk
tanah air Palestina. Washington yang di satu pihak bersikeras
tidak mengakui PLO, di pihak lain juga konon tidak sedia melihat
organisasi itu hancur. Dan PLO bukan pula tidak punya niat
tersembunyi. Menurut sumber Israel, mereka sedia meletakkan
senjata jika saja AS mengakui eksistensi PLO. Inilah barangkali
yang disinyalir Abu Musa sebagai kapitulasi Arafat.
Konon untuk pengakuan seperti itu PLO secara sepihak, juga sedia
mengakui Israel. Pengakuan semacam ini memang tersirat dalam
rencana perdamaian Fahd, tapi sama sekali tidak bergema dalam
rencana perdamaian Fez. Ini ditafsirkan orang sebagai mewakili
sikap kelompok garis keras PLO plus Suriah dengan Libya di
baliknya. Dengan demikian cara perjuangan Arab semakin tidak
realistis, PLO semakin kehilangan peluang, dan Arafat sibuk
sendiri dengan lobi-lobinya.
Sekarang PLO benar-benar sendiri. Menolak kerja sama dengan
Hussein untuk perundingan bersama AS dan Israel, Arafat tak ayal
menggalang dukungan sampai-sampai ke New Delhi, Bukares, dan
Moskow. Dia mengantungi pesan Andropov untuk Assad, tapi
tiba-tiba "Assad menusuk dari belakang."
Sebenarnya kesetiakawanan Suriah sudah bisa ditakar PLO, sejak
perang Libanon. Kalah dalam pertarungan udara melawan Israel,
Suriah kemudian menarik diri. Ketika PLO dikepung habis-habisan
di Beirut Barat, Damaskus adem ayem. Kepada sayap kiri Al-Fatah,
kini diberinya kebebasan bergerak dan bantuan militer. Arafat
yang sebelumnya menjual senyum persahabatan dengan Assad, sadar
sudah akan adanya musuh lain, di samping Israel.
Mengenai dana untuk PLO ataupun para pengungsi Palestina tampak
masih akan terus mengalir -- khususnya dari Arab Saudi, Kuwait,
negara-negara Emirat Arab, dan Bahrain. Tahun 1978, dalam
semangat menentang perjanjian Camp David, beberapa negara Arab
kaya itu bertekad menyumbang sejumlah besar uang untuk
meningkatkan jihad membendung perjanjian Camp David yang
samar-samar bicara tentang otonomi Tepi Barat untuk warga
Palestina. Israel menafsirkan ini sebagai otonomi administratif
saja, sedangkan Mesir bersikap menunggu, tergantung perundingan
selanjutnya tentang pasal tersebut. Menlu AS George Shultz, yang
menggantikan Haig, sesudah mempelajari persetujuan tersebut,
mengakui Camp David mengandung banyak peluang untuk penafsiran
berbeda. Apa yang harus dilakukan sekarang, kata seorang pejabat
AS, yakni menggerakkan kepemimpinan AS, kemudian berunding
dengan pihak Arab, sesudah itu baru bicara dengan Menachem
Begin.
Sebelum itu terlaksana, lagu orang usiran tampak masih
berkumandang untuk empat juta warga Palestina. Apa yang
sebaiknya dilakukan Arafat ke luar ialah membendung ambisi dan
campur tangan Suriah, sedang ke dalam membatasi pemberontakan
Musa dan kawan-kawan supaya tidak menjalar lebih luas.
Sejak penggusuran dari Beirut Barat, makin jelas bagi para
gerilyawan bahwa persatuan adalah satu-satunya modal dan alat
perjuangan yang mereka miliki. Sekarang persatuan itu terancam.
"Sengketa perpecahan terlalu mewah untuk kami," ucap seorang
tokoh PLO. "Pintu masih terbuka bagi Abu Musa dan kawan-kawan,
tapi harus lewat saluran demokratis," kata Arafat menjawab
pertanyaan majalah Newsweek terbitan 4 Juli 1983. Dia juga
yakin para pemberontak itu cuma alat Suriah. Kalau benar begitu,
keutuhan Al-Fatah dan kelangsungan PLO akan ditentukan kelak
dalam percaturan antara Damaskus dan Musa di Lembah Bekaa serta
Arafat di Tunisia. Apakah kepemimpinan Arafat akan lolos ujian?
Itu juga agaknya akan ditentukan dari Tunisia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini