Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Menunggu badai reda selamat tinggal PLO

Organisasi PLO guncang, terjadi perpecahan dalam kelompok al-fatah. sejarah al-fatah dan profil abu muso, sayap kiri al-fatah yang melakukan pembrontakan. (ln)

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAMADHAN berdarah berulang lagi dalam sejarah Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Bulan puasa tahun lalu mereka tersekap hujan roket dalam gempuran tank Israel di Beirut. Namun tragedi yang terjadi di Lembah Bekaa, dua pekan silam, punya rasa pahit dan tekanan yang berbeda. kali ini darah mengalir karena tangan saudara sendiri. Sesudah pembangkangan Abu Musa dan kawan-kawan, bentrokan senjata rupanya tak dapat dihindarkan lagi antara kelompok Al-Fatah yang pro dan anti-Yasser Arafat. Keadaan dalam tubuh gerilyawan Palestina menggawat. Tapi Arafat, pemimpin AlFatah merangkap ketua PLO, belum dapat berbuat banyak. Sementara perpecahan yang mengancam Al-Fatah, ia diusir pula oleh Pemerintah Suriah. Masih asyik dengan kesenangan berdiplomasi, Arafat begitu tiba di Tunis dari Damaskus, segera mengadakan sidang Komite Eksekutif PLO untuk membahas perpecahan Al-Fatah dan krisis hubungan Suriah-Palestina. Setelah itu dia terbang kc Cekoslowakia. Apa maunya? Arafat seakan mengajak orang lain ikut berperan dan bermain dalam krisis Al-Fatah. Dan memang itulah yang terjadi. Raja Fahd dari Arab Saudi dan Presiden Aljazair mengutus delegasi enam orang ke Damaskus untuk menjembatani pihak-pihak yang bersengketa. Tujuh organisasi yang tergabung dalam PLO, tiga di antaranya kelompok garis keras yang dipimpin George Habash, Nayef Hawatmeh, dan apa yang disebut Saiqa, sepakat mengimbau dihentikannya pertentangan. Bahkan kelompok Saiqa, yang dibantu Suriah, menyerukan dukungan lagi PLO dan Yasser Arafat. Adakah Arafat bisa keluar dari kemelut paling parah sepanjang sejarah Al-Fatah ini? Apakah kelompok moderat yang merupakan unsur terbesar dalam tubuh PLO bisa kembali utuh? Sulit diduga. Yasser Arafat komandan yang lebih berbakat sebagai politisi dan diplomat ini, memang bukan tandingan Abu Musa dan kawan-kawan. Mencari penggantinya di kalangan PLO, juga tidak mudah. Sebab ia tokoh yang diterima di banyak negara Arab (kecuali Libya dan Suriah) dan di bawah asuhannya PLO diakui oleh lebih 100 negara di dunia. Tapi kelebihan semacam ini rupanya sedang tidak dibutuhkan -- setidaknya oleh sayap kiri Al-Fatah. Mereka yang berhaluan kiri ini menuntut kepemimpinan kolektif (bukan kepemimpinan tunggal model Arafat) dan sikap lebih tegas menghadapi Israel. Tersengat impian pada negara Palestina merdeka, yang barangkali ditiup-tiupkan lagi oleh Suriah dan Libya, para pemberontak mempertaruhkan modal mereka yang tinggal satu-satunya, yakni persatuan PLO. Impian itu belakangan ini memang digarap secara lebih praktis oleh Arafat, lewat diplomasi bertahap, dan sedikit "main mata" dengan rencana perdamaian Reagan. Main mata itu ternyata harus ditebus mahal oleh Arafat. Sebab hal itu sangat tidak berkenan di mata pemberontak. Tapi segalanya sudah telanjur. Kini tinggal bagaimana Arafat menjinakkan Abu Musa -- yang nampaknya juga bukan perkara ringan. Isu perpecahan dalam PLO sebenarnya sudah mulai menghantu sejak Januari silam. Manakala rencana perdamaian Fez yang, antara lain, memperjuangkan negara Palestina merdeka tidak mendapat sambutan di Washington, apalagi di Tel Aviv, maka rasa kecewa pun terbit. Benar, moral PLO lebih kuat sesudah penggusuran Beirut Barat, dan posisi politik lebih mantap, tapi potensi militer mereka sudah dipreteli. Tak terelakkan lagi, keputusan Araht meninggalkan Beirut dan pengiriman 15.000 PLO ke delapan negara Arab mulai dikecam. Serentak dikecam juga birokrasi dan korupsi, penyalahgunaan dana revolusi, tak terkecuali pendekatan dengan Raja Yordania Hussein. Abu Musa kabarnya paling sakit hati akan adanya pertemuan Arafat-Hussein. Dokumen hasil pertemuan itu mengesankan adanya kecenderungan ke arah kapitulasi di pihak Arafat, tanpa menjelaskan lebih terperinci. Dia juga keberatan adanya kontak Arafat-Mesir. Sebelum itu, Abu Saleh, yang juga pemberontak sudah secara terbuka mengkritik kompromi-kompromi Arafat. Dan Abu Akram, tokoh pemberontak yang lain, menghantam birokrasi dan korupsi dalam Al-Fatah. Tentang pemberontakan itu sendiri, seorang pejabat PLO berkomentar: "Itu semacam katarsis yang tak dapat dihindarkan sesudah guncangan besar-besaran akibat serbuan Israel ke Libanon." Tapi, Musa, jelas tidak berpikir tentang katarsis. Di balik itu semua, yang membuat mereka naik pitam ialah keputusan Arafat menunjuk orang-orang tak bertanggung jawab untuk membawahkan pos-pos penting. Abu Hajem, semula komandan pos Sidon, dipercaya jadi komandan seluruh pasukan PLO di Libanon. Hajj Ismail dari pos selatan dipindahkan ke pos utara (di Libanon) yang kini lebih aktif. Kedua pemimpin itu, menurut pemberontak, berbakat pengecut. Bahkan Abu Hajem senang bermewah-mewah. Mengapa Arafat memilih mereka? Tentang ini ada spekulasi paling berani. Arafat, katanya, menunjuk Hajem dan Ismail semata-mata untuk memancing terjadinya sebuah pemberontakan. Lewat ini, ia akan lebih mudah memisahkan siapa kawan siapa lawan di antara kelompok yang santer mengkritiknya di Al-Fatah. Spekulasi itu sulit untuk diterima. Karena jelas terlalu riskan bagi Arafat ataupun PLO. Tapi melihat sikap Arafat yang rada lamban menjawab gertakan pemberontak, bukan tidak mungkin ia sudah bersiap-siap untuk kemungkinan paling buruk sekalipun. Lagi pula tokoh-tokoh pemberontak mewakili suara kiri dalam Al-Fatah (lihat: Malaikat Sekalipun Akan Dilawan). Kritik terhadap korupsi dan salah urus bukan "kecap" baru di kalangan PLO yang bangga dengan tradisi demokrasi dan gaya konsultasi mereka. "Cuma sedikit yang tidak setuju dengan tuntutan kaum pemberontak," ucap seorang tokoh Al-Fatah. "Tapi kami keberatan akan cara mereka, yang merugikan persatuan dan membuka peluang bagi para penguasa Arab ikut campur dalam proses pengambilan keputusan." Soal "orang luar" ikut campur itu, juga bukan barang baru dalam sejarah PLO. Terbentuk tahun 1964, PLO mulanya hanya perpanjangan dari kegiatan Liga Arab. Dalam pertempuran al-Karameh (1968) di tepi timur Sungai Yordan, gerilyawan Palestina dengan gemilang berhasil menahan serangan tentara Israel. Sejak itu mereka memenangkan kehormatan dan prestise politis. Setahun kemudian, gerilyawan sepenuhnya menguasai PLO. Tahun 1970, sesudah penumpasan Black September yang dilancarkan Raja Hussein, PLO tampil sebagai organisasi merdeka di kawasan Arab. Pada pertemuan puncak di Rabbat (1974), pemimpin dinasti Hashemite itu terpaksa mengakui PLO sebagai satu-satunya wakil sah rakyat Palestina. Padahal Hussein sebelumnya merasa berhak untuk berperan sebagai wakil yang sah itu. Ia juga terpaksa merelakan Tepi Barat dan rencananya membentuk Kerajaan Persatuan Arab (1972) berupa federasi Palestina (Tepi Barat) dan Yordania (Tepi Timur). Di Rabbat juga berkumandang Janii negara-negara Arab untuk bersama-sama mendukung perjuangan Palestina selanjutnya. Janji ini terasa hampa kelak. Dalam pengepungan Beirut Barat, PLO dibiarkan sendiri oleh rekan-rekan Arabnya, hingga Arafat berkata, "Untuk ini mereka berutang dan kelak harus membayarnya pada PLO." Dalam perkembangan selanjutnya PLO tampil sebagai satu-satunya organisasi gerilyawan pejuang kemerdekaan yang diakui oleh 100 lebih negara di dunia, anggota Majelis Umum PBB, dan tak ubahnya sebuah negara meski tanpa wilayah. Keberhasilannya yang lain ialah dalam upaya politisasi penduduk Arab Palestina di Tepi Barat, Jalur Gaza, bahkan Israel. Akibatnya dalam pemilihan pertama yang diselenggarakan Israel sesudah mereka menyerbu ke wilayah itu, yang menang justru tokoh-tokoh Palestina yang pro-PLO. Tak heran bila warga Tepi Barat mendukung PLO dan Arafat. Waktu mendengar kemelut Al-Fatah ini mereka konon prihatin sekali, khawatir jangan-jangan PLO pecah dan perjuangan ke sebuah negara Palestina mereka kandas di tengah jalan. Akibatnya, mereka, berjumlah empat juta orang, harus mulai dari awal lagi. Di kalangan negara Arab, Mesir dan Suriah paling menonjol dalam usaha membantu perjuangan PLO. Tapi tahun 1978 Mesir terbentur persetujuan Camp David dengan Israel dan AS. Hingga mereka tidak bisa bicara banyak. Tinggal Suriah, dalam pertempuran lawan Israel kehilangan Dataran Tinggi Golan, yang mendukung. Tidak heran jika dalam tiap perundingan yang menyangkut PLO dan Israel, Presiden Suriah Hafez Assad, tidak mau diabaikan. Utusan khusus AS Philip Habib bukan tidak menyadari hal ini. Buktinya, ia sampai perlu mengingatkan Perdana Menteri Israel Menachem Begin agar tidak bertindak sembarangan. Tapi tatkala mereka merundingkan penarikan mundur tentara Israel dari Libanon, sayang sekali Assad sama sekali tidak mendapat bisikan, konon pula ditanyakan pendapatnya. Sekalipun Assad punya 40.000 tentara di Lembah Bekaa. Mengapa? Banyak yang menduga Washington ingin cepat-cepat mengamankan Libanon yang porak poranda itu. Tapi tidak mengira bahwa kalau Israel mundur, Suriah belum tentu mau mundur. Dan memang itulah yang terjadi. Akibatnya perjanjian yang prosesnya berbelit-belit tidak sepenuhnya terwujud. Libanon kini masih berupa daerah pendudukan tentara asing. Situasi yang tidak menentu ini segera dimanfaatkan Suriah untuk memperkuat tentaranya dengan puluhan rudal, pasukan tank yang baru lengkap dengan penasihat militer Uni Soviet. Dan, sebelum AS dapat melakukan sesuatu yang berarti untuk perjuangan Palestina, Suriah memanfaatkan barisan tank mereka membantu pemberontak Al-Fatah. Keadaan sudah telanjur runyam. Padahal sebelum Menlu AS Alexander Haig mengundurkan diri, dalam agendanya sudah tercantum upaya mengamankan Tepi Barat dan Jalur Gaza untuk tanah air Palestina. Washington yang di satu pihak bersikeras tidak mengakui PLO, di pihak lain juga konon tidak sedia melihat organisasi itu hancur. Dan PLO bukan pula tidak punya niat tersembunyi. Menurut sumber Israel, mereka sedia meletakkan senjata jika saja AS mengakui eksistensi PLO. Inilah barangkali yang disinyalir Abu Musa sebagai kapitulasi Arafat. Konon untuk pengakuan seperti itu PLO secara sepihak, juga sedia mengakui Israel. Pengakuan semacam ini memang tersirat dalam rencana perdamaian Fahd, tapi sama sekali tidak bergema dalam rencana perdamaian Fez. Ini ditafsirkan orang sebagai mewakili sikap kelompok garis keras PLO plus Suriah dengan Libya di baliknya. Dengan demikian cara perjuangan Arab semakin tidak realistis, PLO semakin kehilangan peluang, dan Arafat sibuk sendiri dengan lobi-lobinya. Sekarang PLO benar-benar sendiri. Menolak kerja sama dengan Hussein untuk perundingan bersama AS dan Israel, Arafat tak ayal menggalang dukungan sampai-sampai ke New Delhi, Bukares, dan Moskow. Dia mengantungi pesan Andropov untuk Assad, tapi tiba-tiba "Assad menusuk dari belakang." Sebenarnya kesetiakawanan Suriah sudah bisa ditakar PLO, sejak perang Libanon. Kalah dalam pertarungan udara melawan Israel, Suriah kemudian menarik diri. Ketika PLO dikepung habis-habisan di Beirut Barat, Damaskus adem ayem. Kepada sayap kiri Al-Fatah, kini diberinya kebebasan bergerak dan bantuan militer. Arafat yang sebelumnya menjual senyum persahabatan dengan Assad, sadar sudah akan adanya musuh lain, di samping Israel. Mengenai dana untuk PLO ataupun para pengungsi Palestina tampak masih akan terus mengalir -- khususnya dari Arab Saudi, Kuwait, negara-negara Emirat Arab, dan Bahrain. Tahun 1978, dalam semangat menentang perjanjian Camp David, beberapa negara Arab kaya itu bertekad menyumbang sejumlah besar uang untuk meningkatkan jihad membendung perjanjian Camp David yang samar-samar bicara tentang otonomi Tepi Barat untuk warga Palestina. Israel menafsirkan ini sebagai otonomi administratif saja, sedangkan Mesir bersikap menunggu, tergantung perundingan selanjutnya tentang pasal tersebut. Menlu AS George Shultz, yang menggantikan Haig, sesudah mempelajari persetujuan tersebut, mengakui Camp David mengandung banyak peluang untuk penafsiran berbeda. Apa yang harus dilakukan sekarang, kata seorang pejabat AS, yakni menggerakkan kepemimpinan AS, kemudian berunding dengan pihak Arab, sesudah itu baru bicara dengan Menachem Begin. Sebelum itu terlaksana, lagu orang usiran tampak masih berkumandang untuk empat juta warga Palestina. Apa yang sebaiknya dilakukan Arafat ke luar ialah membendung ambisi dan campur tangan Suriah, sedang ke dalam membatasi pemberontakan Musa dan kawan-kawan supaya tidak menjalar lebih luas. Sejak penggusuran dari Beirut Barat, makin jelas bagi para gerilyawan bahwa persatuan adalah satu-satunya modal dan alat perjuangan yang mereka miliki. Sekarang persatuan itu terancam. "Sengketa perpecahan terlalu mewah untuk kami," ucap seorang tokoh PLO. "Pintu masih terbuka bagi Abu Musa dan kawan-kawan, tapi harus lewat saluran demokratis," kata Arafat menjawab pertanyaan majalah Newsweek terbitan 4 Juli 1983. Dia juga yakin para pemberontak itu cuma alat Suriah. Kalau benar begitu, keutuhan Al-Fatah dan kelangsungan PLO akan ditentukan kelak dalam percaturan antara Damaskus dan Musa di Lembah Bekaa serta Arafat di Tunisia. Apakah kepemimpinan Arafat akan lolos ujian? Itu juga agaknya akan ditentukan dari Tunisia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus