Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengujung Maret lalu mungkin akhir karier seorang komedian yang juga kritikus politik asal Mesir, Bassem Youssef. Acara televisi El Bernameg yang ia gawangi pada setiap malam akhir pekan berbuah masalah. Sebuah aksi parodi yang semula mengundang gelak tawa berbalik mengancamnya.
Lelaki kelahiran 22 Maret 1974 yang namanya melambung setelah gerakan revolusi di Lapangan Tahrir itu didera empat dakwaan: menghina Islam, menghina presiden dan pemerintah, serta menghasut sehingga memicu terjadinya kekerasan. Sekarang, bagi pemerintah Presiden Muhammad Mursi, panggung yang tepat bagi Youssef hanyalah bui. "Ia terang-terangan melakukan penghinaan," kata Misr, jurnalis stasiun televisi dari kelompok Al-Ikhwan al-Muslimun, seperti dikutip Jerusalem Post.
Pada malam saat El Bernameg disiarkan, sang kritikus naik pentas dengan sindiran pedas. Youssef mengenakan jubah dan topi toga khas wisudawan. Dengan topi yang kebesaran, ia mulai duduk dan berlagak limbung lantaran keberatan. Pakaian itu persis seperti yang dikenakan Mursi ketika menerima gelar kehormatan di Pakistan, awal Maret lalu. Lawakan yang diselingi sindiran terhadap pemerintah dan golongan Islam pun ia ceritakan.
Tepuk tangan juga gelak tawa berderai sepanjang acara. Youssef, yang tampil solo malam itu, tak cuma menjaili Mursi. Ia juga membuat lelucon soal lain, termasuk mengejek tokoh oposisi ternama, Mohamed ElBaradei. Saat itu, Youssef menamai Baradei dengan sebutan Barbie lantaran berpakaian serba pink dalam sebuah acara penobatan akademis.
Tapi sekarang tak ada lagi tawa penonton. "Akhir pekan kini terasa sepi," ujar Abdel, pemuda asal Kota Kairo penggemar berat Bassem Youssef, seperti dilansir kantor berita MENA.
Menurut Heba Morayef, Direktur Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Mesir, penangkapan pelawak Bassem Youssef merupakan pertanda terjadinya eskalasi pembungkaman kebebasan berekspresi di negeri Sphinx itu. Cara-cara yang digunakan, kata dia, tak ubahnya seperti di zaman kegelapan Mesir di bawah tirani Husni Mubarak. "Revolusi sepertinya mengalami kemunduran ketika banyak pengkritik dibungkam mulutnya," ujarnya kepada AFP.
Korban lain dari represifnya pemerintah Mursi, kata Heba, adalah saat seorang penulis blog dan aktivis revolusi, Alaa Abdel Fattah, ditahan selama dua bulan dengan tuduhan serupa dengan Youssef, awal tahun ini. Ia dianggap menghina Presiden dan kelompok Al-Ikhwan al-Muslimun lewat tulisan-tulisan protesnya.
Menurut sumber yang enggan disebutkan namanya, saat ini ada empat pengkritik lain yang masih dalam daftar investigasi jaksa. Nama mereka dirahasiakan, tapi aroma ketakutan sudah menyebar. "Kondisi menebar ancaman seperti sekarang tak ada bedanya seperti zaman tirani sebelum revolusi," katanya.
Kondisi politik Mesir memang terus bergejolak. Rivalitas antara kubu pemenang pemilihan umum, yakni Mursi bersama Al-Ikhwan al-Muslimun, dan kelompok protes jalanan yang dibekingi pihak oposisi dari Gerakan Penyelamat Bangsa kian hari kian panas. Masing-masing menginginkan revolusi berjalan sesuai dengan kehendak mereka. Mursi ingin stabilitas keamanan nasional terjaga seusai kecabuhan yang gaduh di Tahrir. Pihak oposisi mencoba terus menggerus kekuatan kelompok Mursi yang dirasa terus meluas. Kesejahteraan adalah isu utama yang lebih mereka pentingkan dibanding keamanan.
Puncaknya, bentrokan fisik pecah dua pekan lalu di dua kota ternama, Kairo dan Alexandria. Ratusan penentang dan pendukung Mursi saling lempar bom molotov dan batu. Walhasil, sembilan orang terluka. Polisi terpaksa menggunakan kekerasan untuk menghentikan bentrokan. "Semua tindakan represi ini saya duga bermula dari gagalnya dekrit yang Mursi usulkan sendiri," ujar juru bicara kelompok oposisi Mesir, Sameh Ashour, kepada stasiun televisi Al-Arabiya.
Sejak Mursi menjadi presiden pada akhir Juni 2012 melalui pemilihan demokratis pertama setelah 30 tahun masa pemerintahan Mubarak, politik Mesir tak lepas dari gonjang-ganjing. Apalagi kondisi ekonomi memburuk—tingkat pengangguran hingga 20 persen dan seperempat dari 38 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Kondisinya juga diperburuk oleh merosotnya sektor-sektor produktif, yang membuat hidup di Mesir makin sulit. Menurut The Economist, salah satu yang membuat perekonomian Mesir terjun bebas adalah keluarnya para pengusaha brilian dari negara itu karena khawatir dituduh sebagai antek Mubarak.
Cap sebagai antek Mubarak menjadi musuh nomor wahid negara. Dengan pembenar ingin menyelamatkan revolusi di Mesir dari para antek Mubarak itulah Mursi menghapus salah satu isi dekrit 22 November, yang menjadi acuan pemerintah baru. Desember tahun lalu, dia mencabut poin yang memungkinkan kebijakan-kebijakannya diajukan ke pengadilan untuk diuji para hakim yang notabene orang yang diangkat Mubarak. Mursi ingin menutup kemungkinan kebijakannya diadili hakim yang mungkin masih setia kepada Mubarak. Namun, dengan pencabutan ini, kekuasaan Mursi menjadi terlalu besar, yang oleh para tokoh oposisi disebut tak berbeda dengan Mubarak.
Semua hal yang dianggap menghalangi kelangsungan revolusi versi Mursi dan sekutunya wajib diberangus. Caranya melalui mandat kepada otoritas hukum dan keamanan untuk tegas menangkap warga sipil yang dinilai mengganggu keamanan nasional. Sebuah pasal karet yang bisa melar sesuai dengan interpretasi para penguasa. Ditunjuknya Talaat Ibrahim sebagai Jaksa Agung Mesir menjadikan perintah itu bak pisau tajam yang memotong lidah-lidah pengkritik pemerintah. "Sebuah amanat yang berbahaya dan jelas bisa disalahgunakan untuk menghilangkan lawan politik pemerintah Mursi," kata Ashour.
Pandangan yang sama dilontarkan peneliti politik Mesir Brooking Doha Center, Shadi Hamid. Menurut dia, kini pemerintah Mesir terbelit dilema. Mursi, yang sekarang ditinggalkan pendukungnya dari kaum liberal, mau tak mau harus merapat dengan Al-Ikhwan al-Muslimun sebagai penyokong utamanya. Namun, konsekuensinya, nilai-nilai yang dianut kelompok Ikhwan kerap bertabrakan dengan oposisi Mursi. Mandat yang ia keluarkan pada awalnya bertujuan membersihkan Mesir dari pengaruh para pendukung Mubarak yang masih tersisa. "Tapi, apa boleh buat, mandat tersebut kini berbalik menghantam kebebasan berpolitik yang baru tumbuh di negara itu," ujar Ashour kepada Al-Jazeera.
Jaksa Agung Ibrahim pun menangkis. Ia mengatakan tak ada sedikit pun peran Mursi dalam penangkapan para perusuh—istilah bagi pengkritik pemerintah Mursi. Semua bukti, kata dia, bisa dipertanggungjawabkan secara hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan. "Jadi tak perlu mengaitkan kriminalitas semacam itu dengan politik," ucap orang kepercayaan Mursi itu.
Menurut Ibrahim, semua tokoh yang ditangkap, termasuk pelawak Youssef dan blogger Fattah, pernah diberi peringatan agar tidak melakukan tindakan penghinaan. Itu artinya pemerintah, dalam hal ini kejaksaan, tidak asal berangus. Mereka mengklaim sudah mengikuti prosedur hukum yang ditetapkan konstitusinya. "Persoalannya, mereka masih saja membandel dan malah membuat onar dengan mengeluarkan penghinaan lain," katanya.
Sandy Indra Pratama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo