Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Terjepit di Tanah yang Dijanjikan

Pemerintah baru Israel dikuasai politikus pendukung pembangunan permukiman. Nasib bangsa Palestina bakal makin runyam.

7 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hani Awad masih mengingat dengan gamblang tragedi yang menimpa kampung halamannya delapan tahun silam. Para pemukim Yahudi merebut separuh tanah di desa mereka di Mas-ha, Provinsi Salfit, Palestina. Awad dan penduduk desa lainnya hanya bengong melihat pencaplokan itu.

Dalam semalam, Awad kehilangan tanah seluas lebih dari 32 ribu meter persegi. Total tanah warga Mas-ha yang direbut Israel mencapai lima juta meter persegi, lebih dari separuh luas desa yang dihuni 2.000-an jiwa itu. Tak lama kemudian, tiga permukiman Yahudi berdiri angkuh di atas tanah mereka, yakni El Kana, Etz Efraim, dan Sha'arei Tikvah.

Suatu hari pada 2005, sepulang kerja, Awad melihat buldoser sudah merobohkan sebagian bangunan rumahnya. "Saya berdiri di depan buldoser. Saya bilang mereka tidak bisa meneruskan penggusuran kecuali melewati dulu mayat saya," ujarnya kepada Al-Monitor, Selasa pekan lalu.

Kini Awad tinggal di rumah tembok yang berdiri di tanah seribu meter persegi yang masih tersisa. Tapi dia tak bisa bergerak bebas. Rumahnya terjepit di antara pagar pembatas permukiman El Kana. Para pemukim Yahudi meneror Awad setiap hari agar dia dan keluarganya segera angkat kaki dari rumahnya.

Setiap malam, para pemukim itu berkumpul di dekat rumahnya dan membuat gaduh dengan menembakkan senapan ke udara. Terkadang mereka melempari jendela rumah Awad dengan batu sembari meneriakkan umpatan rasis.

Penderitaan Hani Awad dan warga Palestina lainnya, baik yang tinggal di Tepi Barat maupun di Gaza, belum akan berakhir. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang baru dilantik pertengahan Maret lalu, akan meneruskan kebijakannya periode lalu untuk mengembangkan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan.

Kebijakan itu didukung partai-partai ultranasionalis yang bergabung dalam kabinet koalisi, yakni Likud, partai nasionalis Yisrael Beiteinu, partai sayap tengah Yesh Atid, dan partai sayap kanan Rumah Yahudi. Masa depan warga Palestina makin terancam karena sebagian besar dari 21 menteri di kabinet mendukung permukiman (settlements), seperti Menteri Perdagangan Naftali Bennett, Menteri Perumahan Uri Ariel (Rumah Yahudi), dan Menteri Pertahanan Moshe Yaalon (Likud).

Utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk proses perdamaian Timur Tengah, Robert Serry, mengatakan penunjukan Ariel sebagai Menteri Perumahan akan meningkatkan gelombang pembangunan permukiman. Langkah itu bakal merusak peluang tercapainya perdamaian antara Palestina dan Israel.

Uri Ariel mengatakan permukiman akan terus dibangun di Yudea dan Samaria. Ia meng­utip nama dua tempat di Alkitab itu un­tuk merujuk pada dua wilayah di Tepi Barat yang direbut Israel dalam perang 1967. "Sa­ya lihat tidak ada alasan mengubahnya,"­ kata Ariel, pemukim Yahudi dan anggota­ partai Rumah Yahudi yang propermukiman.

Ariel, yang beraliran ultranasionalis, sangat mendukung permukiman dan akan melipatgandakan pemukim karena dia tak pernah mengakui negara Palestina. "Hanya ada satu negara di antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania, yaitu Israel," tutur Ariel seperti dikutip Daily Star, pertengahan Maret lalu.

Menurut dia, pembangunan permukim­an itu bagian dari program pembangunan perumahan di sepanjang wilayah perbatasan dari Gurun Negev di selatan hingga Galilea di utara. "Jadi, inti rencana pembangunan perumahan bukan cuma di Tepi Barat."

Penggusuran desa-desa dan pembangunan permukiman Israel kian mencemaskan warga Palestina, seperti terjadi di Mas-ha. Para pekerja di desa itu mengatakan mendapat perintah membangun pagar persis di lokasi rumah Hani Awad. Tanpa banyak kata, Awad melawan. Ia mengambil sebongkah batu dan mengancam akan memecahkan kepala pekerja bila tak segera enyah dari tanahnya.

Sekelompok penggiat hak asasi manusia membantu Awad dengan membentuk pagar manusia di sekitar rumahnya. Sejak itu, para pekerja menghentikan pembangunan pagar.

Tapi, setahun kemudian, para pekerja itu kembali lagi meratakan kebun pertanian dan peternakan ayam senilai US$ 500 ribu atau setara dengan Rp 4,8 miliar di depan rumah Awad. Tanpa halangan, mereka membangun pagar beton setinggi delapan meter. Namun, baru setengah jalan, pembangunan terhenti karena kembali ditentang aktivis hak asasi manusia internasional.

Sebagai gantinya, Israel membangun pagar besi, menara penjaga, dan pintu gerbang di bagian lain. Setelah berjuang bertahun-tahun, kini Awad memenangi haknya memegang kunci pintu gerbang itu. Meningkatnya serbuan para pemukim menginspirasi anak Awad untuk menulis ejekan di pagar tembok itu: "Selamat datang di negara Hani Awad".

Tapi sampai kapan Awad bisa bertahan? Perlawanan kecil seperti ini tidak akan mampu menghentikan pemerintah Israel. Awal tahun lalu, mereka mengumumkan rencana pembangunan lebih dari sebelas ribu rumah baru di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Jumlah itu nyaris dua kali lipat dari pembangunan dalam tiga tahun terakhir.

Februari lalu, Israel menyetujui pembangunan 90 rumah baru di permukiman Beit El di dekat Ramallah, Tepi Barat. Hagit Ofran dari Peace Now—lembaga swadaya masyarakat antipermukiman—mengatakan persetujuan itu merupakan syarat administrasi tahap akhir. "Artinya, konstruksi akan dimulai dalam beberapa hari," ujar Ofran.

Ia mengatakan Ariel berwenang memberikan anggaran untuk pembangunan permukiman, baik di Yerusalem Timur maupun Tepi Barat. Menurut Ofran, Ariel pasti propermukiman karena dia memang berasal dari sana dan mayoritas konstituennya juga para pemukim.

Selain Ariel, Moshe Yaalon menyetujui pembangunan 346 rumah baru di Tepi Barat. Sejumlah 200 rumah dibangun di Tekoa dan 146 rumah di Nokdim, dua permukiman kecil di blok Gush Etzion di selatan Yerusalem. Israel tak mau melepaskan dua wilayah itu dalam setiap perundingan damai dengan Palestina. Perundingan mandek pada 2010 karena Palestina tak mau Israel terus membangun rumah di wilayahnya.

Di Israel, ada dua kementerian yang berwenang mengizinkan pembangunan permukiman di wilayah Palestina, yakni Kementerian Perumahan dan Kementerian Pertahanan.

Permukiman Yahudi di Palestina melanggar hukum internasional. Menurut Konvensi Jenewa, setiap negara tak boleh mengusir atau memindahkan sebagian penduduk sipilnya ke sebuah teritori yang mereka duduki. Namun banyak orang Israel berpandangan, secara historis dan sesuai dengan Alkitab, wilayah Tepi Barat dan Yerusalem Timur—rumah bagi lebih dari 500 ribu pemukim Yahudi—merupakan bagian dari negara mereka.

Namun Netanyahu tak menggubris segala aturan itu. Ia justru menggegas pembangunan permukiman setelah Majelis Umum PBB mengakui Palestina sebagai negara peninjau nonanggota pada 29 November 2012.

Ia mengatakan akan mengupayakan kompromi dengan Palestina untuk mencapai perdamaian. Namun Palestina tak yakin dengan iktikad Netanyahu karena dalam periode sebelumnya kebijakannya tak menguntungkan Palestina, seperti melanjutkan pembangunan permukiman serta menghentikan pengiriman uang pajak dan cukai.

"Retorika tentang perdamaian adalah satu hal dan melaksanakan perdamaian adalah hal lain. Melaksanakan perdamaian butuh perbuatan," ucap kepala juru runding Palestina, Saeb Erekat.

Soal perluasan permukiman bukan satu-satunya fokus pemerintah Netanyahu. Ia mengatakan pemerintahnya punya tugas penting lain dalam tiga tahun ke depan, yakni memastikan Iran tidak bisa mengembangkan senjata nuklirnya.

Di depan parlemen beberapa waktu lalu, Netanyahu mengatakan Iran dan Suriah serta kelompok Hamas dan Hizbullah merupakan ancaman besar bagi Israel. Ia menyebutkan dua kelompok itu sedang menghimpun persenjataan untuk mengancam Israel.

Prioritas utama pemerintah baru, kata dia, adalah mempertahankan keamanan negara dan warganya. "Kami menghadapi ancaman besar. Iran melanjutkan pembuatan bom atom dan memperkaya uranium untuk memproduksi bom."

Sapto Yunus (Al-Monitor, Reuters, AP)


Paria di Rumah Sendiri

Charlie Bisharat disergap rasa haru ketika untuk pertama kali menginjakkan kaki di Palestina. Pria kelahiran Los Angeles, Amerika Serikat, itu akhirnya dapat berkunjung ke tanah leluhurnya setelah sang ayah terusir akibat penjajahan Israel enam dekade silam.

Keputusan penggesek biola itu menerima undangan Orkestra Nasional Palestina pada 2011 memberinya kesempatan tak terlupakan sepanjang hidup. Ia mengunjungi rumah masa kecil ayahnya tak jauh dari Kota Haifa di tepi Laut Mediterania, yang terletak sekitar 90 kilometer di sebelah utara Tel Aviv. Kota itu kini masuk wilayah Israel.

¡±Kini rumah besar itu dibagi menjadi empat flat. Sayangnya, saya tidak dapat masuk ke rumah itu,¡± kata musikus peraih Grammy Awards tersebut kepada Tempo, Kamis dua pekan lalu. Orkestra Nasional Palestina menggelar konser selama dua hari di Aula Simfonia Jakarta pada akhir Maret lalu.

Dua tahun silam, orkestra yang berisi musikus asal Palestina dan keturunan Palestina yang berdiaspora ke seluruh dunia itu berhasil masuk ke kawasan yang selama ini terlarang bagi mereka. Hukum Kembali—aturan yang diterapkan pemerintah Zionis sejak pendudukan Palestina—membuka ruang seluas-luasnya bagi warga Yahudi di seluruh dunia untuk bermukim di Israel.

Namun aturan itu tak berlaku bagi warga Palestina dan keturunannya. Berkat konser di Ramallah, Yerusalem, dan Haifa, Bisharat dan rekan-rekannya akhirnya dapat mengunjungi Palestina. Berbekal paspor Amerika, ia bisa bebas melenggang masuk ke wilayah Israel. Tapi kawan-kawannya yang berasal dari Palestina tak seberuntung itu.

Saat bus mereka hendak masuk ke wilayah Haifa dari Ramallah, polisi Israel menyuruh musikus asal Palestina turun. Mereka diperiksa dengan kasar. "Menyakitkan melihat diskriminasi di sana. Saya bisa bebas ke sana-kemari, tapi saudara dari Palestina tak bisa ke mana-mana di tanah mereka," ujarnya.

Muhammad Nazeem, pemain biola lainnya, membenarkan kisah Bisharat. Ia mendapat perlakuan diskriminatif saat hendak bertolak ke Jakarta dua pekan lalu. Sebagai warga Palestina, Nazeem, yang bermukim di dekat Ramallah, tak bisa berangkat melalui Bandar Udara Internasional Ben Gurion di Lud, Israel.

Ia pun harus berangkat dari Amman, Yordania. Menjelang perbatasan dengan Yordania, yang hanya berjarak lima kilometer, polisi perbatasan Israel menghentikan kendaraannya. Ia diperiksa dan harus menunggu tanpa kepastian selama lima jam, sebelum akhirnya dapat meneruskan perjalanan ke Amman. "Mereka memperlakukan kami seperti binatang," tutur pria yang sehari-hari berprofesi sebagai guru musik itu.

Diskriminasi dan penjajahan terhadap rakyat Palestina terjadi hingga kini. Sejak 1967, pemerintah Israel mendorong dan memfasilitasi 450 ribu imigran Yahudi menguasai wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sebaliknya, 70 ribu warga Palestina terusir dari kedua wilayah itu karena mereka tidak terdaftar dalam sensus Israel.

Bahkan orang Palestina yang kini menjadi bagian dari 20 persen dari total penduduk Israel diperlakukan sebagai warga kelas dua. Seperti dilansir harian The National, tingkat kemiskinan kelompok Arab-Israel ini mencapai tiga kali lipat dibanding orang Yahudi.

Mereka miskin bukan karena malas. Data Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pada 2010 menunjukkan 15 ribu sarjana Palestina di Israel tak bekerja atau terpaksa bekerja di luar kompetensinya. Sebagian besar terpaksa bekerja sebagai guru karena pemerintah dan pengusaha Yahudi menolak mempekerjakan mereka.

Morad Lashin, pria berdarah Palestina lulusan teknik komputer, merasakan sulitnya mencari pekerjaan di Israel. Pria 30 tahun asal Kota Nazareth itu beberapa kali hanya berhasil memperoleh pekerjaan sebagai karyawan kontrak di perusahaan swasta.

"Ke mana pun saya melamar kerja, pertanyaan mereka hanya satu: apakah kamu pernah ikut wajib militer?" ujarnya. Sebagai keturunan Arab, Lashin dilarang ikut wajib militer.

Padahal, seperti dilansir The Nation, penelitian Bank Israel pada 2010 menunjukkan negara itu merugi karena mengabaikan penduduk etnis Arab. Kerugian akibat kehilangan produktivitas mencapai 31 miliar shekel atau sekitar Rp 82 triliun per tahun.

Tapi pemerintah dan parlemen Israel masa bodoh terhadap laporan itu. Anggota parlemen dari partai Likud, Yariv Levin, membantah anggapan bahwa masalah ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diskriminatif dan apartheid. "Semua masalah ini disebabkan oleh warga Arab sendiri karena sebagian besar dari mereka tidak loyal kepada negara," kata Levin.

Sita Planasari Aquadini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus