Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Masyarakat Baru Di Tahun Nol

Nicolas Vitorovitch, wartawan Yugoslavia berhasil merekam keadaan di Kamboja yang disiarkan TV Prancis. Hak-hak asasi penduduk telah lenyap, mereka harus kerja paksa termasuk anak-anak umur 12 tahun. (ln)

3 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOTA itu penuh belukar dan jalan-jalannya lengang. Di sana-sini kelihatan rumah-rumah tak terurus dan toko-toko yang ditinggalkan para pemiliknya. Di ibu kota Kamboja itu tinggal 2 juta manusia. Tapi itu 3 tahun yang lalu. Sekarang paling banyak cuma 20.000 orang saja, sebagian besar sudah diusir ke pedalaman buat mengerjakan sawah. Hanya kelihatan empat buah mobil dan itulah rupanya yang disisakan oleh para penguasa baru setelah revolusi berlangsung dengan penuh pertumpahan darah. Kuil-kuil Budha dan tempat-tempat peribadatan lainnya sunyi-sunyi saja dan jelas tak terpelihara. Itulah gambaran pertama tentang kota Pnompenh 3 tahun setelah "pembebasan". Dan gambaran itu muncul di layar televisi lewat kamera Nicolas Vitorovitch, orang Yugoslavia yang merupakan wartawan Barat pertama yang masuk ke negeri tertutup itu buat pertama kalinya. Hasil karya Vitorovitch itu dipertunjukkan kepada dunia Barat untuk pertama kalinya pada tanggal 19 bulan silam lewat tv Perancis pada saluran Antene 2. Peti-Peti Kosong Film itu juga menggambarkan keadaan di luar kota. Alamnya hijau dan seolah diselimuti kedamaian. Di tanah yang menghijau itu terlihat ribuan manusia Kamboja sibuk bekerja. Mereka mencangkul, menggali, atau memikuli keranjang yang penuh dengan tanah. Diperlihatkan pula beribu-ribu manusia bekerja di tepi pantai membuat garam. Tapi yang mengesankan dari semuanya adalah pemandangan ketika diperlihatkan anak-anak belasan tahun bekerja di pabrik. Karena masih kecilnya mereka, alat pengontrol mesin hanya bisa dicapai dengan berdiri di atas peti-peti kosong. Laporan tv mengenai keadaan di Kamboja itu telah mendapat komentar cukup keras dari pers Perancis, bahkan dari pers yang ada di sisi kiri sekali pun. L'Humanite, itu organ Partai Komunis Perancis, misalnya, memuat sebuah artikel yang ditulis oleh J.E. Vidal di bawah judul "Kamboja di Antena 2: Pembantaian". Vidal menulis: "Atas nama masyarakat baru yang bagaimanakah kita melihat anak-anak umur 12 tahun bekerja di pabrik hanya dengan bantuan peti kosong supaya bisa mencapai mesin? Atas nama dunia baru yang bagaimanakah kita menyaksikan 5000 wanita dipisahkan dari suami mereka dan menyuruh mereka bekerja di pegaraman sepanjang hari? Atas nama dunia baru yang bagaimanakah anak-anak itu harus membayar 'kesalahan' yang diperbuat orang tua mereka?" Sementara itu harian berhaluan kiri Liberation dengan sangat terkejut akan pertunjukan film itu menulis: "Bagi mereka yang tertarik atas transformasi radikal manusia, tentu akan sangat mengesankan apabila mereka melihat bagaimana sebuah negara secara kilat menjadi sosialis. Kamboja adalah 'laboratorium sosialis paling integral' dalam sejarah. Kita menyaksikannya dengan takjub, tapi dicampuri pula dengan kengerian." Harian itu kemudian bertanya: "Ke mana itu penduduk Pnom Penh yang "lenyap"? Jumlah mereka tak tanggung-tanggung, 1,98 juta." Agen-Agen Imperialis Penulis dalam Liberation yang bernama Dominique Frot sebaliknya memuji impian lama kamu sosialis yang kini dengan mendadak telah jadi kenyataan di Kamboja. Yaitu penghapusan uang, pembagian kerja sampai pada batas minimum dan menciptakan persatuan nasional sehingga tak ada istilah "minoritas" dan "mayoritas". Ia pun tak menyembunyikan pujiannya atas pengikut sertaan anak-anak dalam tanggung jawab pembangunan. Namun, pujian tersebut disertai pula dengan kritik: "Pemandangan Kamboja yang kita lihat melalui film itu mengingatkan kita akan gambaran buruk anak-anak di Eropa pa da akhir abad ke-19." Keadaan di Kamboja meman telah menggugah golongan yang disebut intelektuil, termasuk mereka yang berada di kiri. Di Oslo, ibu kota Norwegia pada tanggal 20 April bulan silam telah berlangsung diskusi mengenai keadaan di Kamboja. Dalam pertemuan itu disebut-sebut bahwa sejak Pnompenh dibebaskan pada tanggal 17 April 1975, diperkirakan sekitar 500.000 orang Kamboja telah terbunuh. Sebagian besar mereka yang jadi korban adalah penduduk Pnompenh. "Karena di Pnompenhlah sebagian besar agen-agen imperialis Amerika bersembunyi," demikian ujar Perdana Menteri Pol Pot kepada Nicolas Vltorovitch. Banyak sekali kesimpang-siuran tentang berapa jumlah sebenarnya orang Kamboja yang jadi korban pembersihan pemerintah baru. Dalam diskusi Oslo itu wartawan Australia yang bernama Anthony Paul mengatakan, bahwa kurang dari 500.000. Sedangkan bekas misionaris Perancis Francois, Ponchaud yang menulis buku "Kamboja Tahun Nol," melaporkan justru di atas angka tersebut. Tokoh-tokoh lain seperti wartawan Amerika John Barron dan dua penulis Perancis, Charles Meyer dan Jean Lacouture, menganjurkan agar laporan-laporan yang dibawa para pengungsi tentang jumlah manusia yang jadi korban itu diteliti kembali. Charles Meyer seterusnya mengatakan bahwa apa yang sekarang sedang populer di dunia internasional dengan nama "pelanggaran atas hak-hak asasi manusia", di Kamboja benar-benar terjadi. Tapi katanya pula, ini tak berarti cuma terjadi di Kamboja saja. Di Vietnam, Thailand dan negeri-negeri lain, pelanggaran itu telah terjadi. Perlakuan buruk pemerintah Thailand atas para pengungsi Kamboja negeri itu pun bisa dikategorikan sebagai pelanggaran atas hak-hak asasi manusia. Mungkin opini internasional itu atau kecaman beberapa negara sarat yang selalu merasa 'paling berkemanusiaan' itu atau cerita para pengungsi yang diungkapkan dengan penuh rasa dendam dan jengkel itu, agak berlebih-lebihan nadanya. Tapi setelah melihat reportase televisi yang dibuat oleh Nicolas itu, orang bisa merasakan sesuatu: sesuatu yang menakutkan, yang terus terbayang di balik wajah para pekerja, para wanita dan anak-anak yang tegang itu. Sebuah gambaran gelap di balik keindahan alam pedesaan dan 'ketertiban' rakyat jelata serta di balik senyum dan ha ha he he perdana menteri Pol Pot yang kelihatan begitu bersahaja dan tanpa dosa. Tapi Pol Pot tidak cuma tertawa, tapi ia juga berkomentar mengenai nasib korban-korban revolusi Kamboja itu. Katanya: "Mereka harus dienyahkan dengan cara yang betapa pun mahalnya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus