KOTA itu penuh belukar dan jalan-jalannya lengang. Di sana-sini
kelihatan rumah-rumah tak terurus dan toko-toko yang
ditinggalkan para pemiliknya. Di ibu kota Kamboja itu tinggal 2
juta manusia. Tapi itu 3 tahun yang lalu. Sekarang paling banyak
cuma 20.000 orang saja, sebagian besar sudah diusir ke pedalaman
buat mengerjakan sawah.
Hanya kelihatan empat buah mobil dan itulah rupanya yang
disisakan oleh para penguasa baru setelah revolusi berlangsung
dengan penuh pertumpahan darah. Kuil-kuil Budha dan
tempat-tempat peribadatan lainnya sunyi-sunyi saja dan jelas tak
terpelihara.
Itulah gambaran pertama tentang kota Pnompenh 3 tahun setelah
"pembebasan". Dan gambaran itu muncul di layar televisi lewat
kamera Nicolas Vitorovitch, orang Yugoslavia yang merupakan
wartawan Barat pertama yang masuk ke negeri tertutup itu buat
pertama kalinya. Hasil karya Vitorovitch itu dipertunjukkan
kepada dunia Barat untuk pertama kalinya pada tanggal 19 bulan
silam lewat tv Perancis pada saluran Antene 2.
Peti-Peti Kosong
Film itu juga menggambarkan keadaan di luar kota. Alamnya hijau
dan seolah diselimuti kedamaian. Di tanah yang menghijau itu
terlihat ribuan manusia Kamboja sibuk bekerja. Mereka
mencangkul, menggali, atau memikuli keranjang yang penuh dengan
tanah. Diperlihatkan pula beribu-ribu manusia bekerja di tepi
pantai membuat garam. Tapi yang mengesankan dari semuanya adalah
pemandangan ketika diperlihatkan anak-anak belasan tahun bekerja
di pabrik. Karena masih kecilnya mereka, alat pengontrol mesin
hanya bisa dicapai dengan berdiri di atas peti-peti kosong.
Laporan tv mengenai keadaan di Kamboja itu telah mendapat
komentar cukup keras dari pers Perancis, bahkan dari pers yang
ada di sisi kiri sekali pun. L'Humanite, itu organ Partai
Komunis Perancis, misalnya, memuat sebuah artikel yang ditulis
oleh J.E. Vidal di bawah judul "Kamboja di Antena 2:
Pembantaian". Vidal menulis: "Atas nama masyarakat baru yang
bagaimanakah kita melihat anak-anak umur 12 tahun bekerja di
pabrik hanya dengan bantuan peti kosong supaya bisa mencapai
mesin? Atas nama dunia baru yang bagaimanakah kita menyaksikan
5000 wanita dipisahkan dari suami mereka dan menyuruh mereka
bekerja di pegaraman sepanjang hari? Atas nama dunia baru yang
bagaimanakah anak-anak itu harus membayar 'kesalahan' yang
diperbuat orang tua mereka?"
Sementara itu harian berhaluan kiri Liberation dengan sangat
terkejut akan pertunjukan film itu menulis: "Bagi mereka yang
tertarik atas transformasi radikal manusia, tentu akan sangat
mengesankan apabila mereka melihat bagaimana sebuah negara
secara kilat menjadi sosialis. Kamboja adalah 'laboratorium
sosialis paling integral' dalam sejarah. Kita menyaksikannya
dengan takjub, tapi dicampuri pula dengan kengerian." Harian itu
kemudian bertanya: "Ke mana itu penduduk Pnom Penh yang
"lenyap"? Jumlah mereka tak tanggung-tanggung, 1,98 juta."
Agen-Agen Imperialis
Penulis dalam Liberation yang bernama Dominique Frot sebaliknya
memuji impian lama kamu sosialis yang kini dengan mendadak telah
jadi kenyataan di Kamboja. Yaitu penghapusan uang, pembagian
kerja sampai pada batas minimum dan menciptakan persatuan
nasional sehingga tak ada istilah "minoritas" dan "mayoritas".
Ia pun tak menyembunyikan pujiannya atas pengikut sertaan
anak-anak dalam tanggung jawab pembangunan. Namun, pujian
tersebut disertai pula dengan kritik: "Pemandangan Kamboja yang
kita lihat melalui film itu mengingatkan kita akan gambaran
buruk anak-anak di Eropa pa da akhir abad ke-19."
Keadaan di Kamboja meman telah menggugah golongan yang disebut
intelektuil, termasuk mereka yang berada di kiri. Di Oslo, ibu
kota Norwegia pada tanggal 20 April bulan silam telah
berlangsung diskusi mengenai keadaan di Kamboja. Dalam pertemuan
itu disebut-sebut bahwa sejak Pnompenh dibebaskan pada tanggal
17 April 1975, diperkirakan sekitar 500.000 orang Kamboja telah
terbunuh. Sebagian besar mereka yang jadi korban adalah penduduk
Pnompenh. "Karena di Pnompenhlah sebagian besar agen-agen
imperialis Amerika bersembunyi," demikian ujar Perdana Menteri
Pol Pot kepada Nicolas Vltorovitch.
Banyak sekali kesimpang-siuran tentang berapa jumlah sebenarnya
orang Kamboja yang jadi korban pembersihan pemerintah baru.
Dalam diskusi Oslo itu wartawan Australia yang bernama Anthony
Paul mengatakan, bahwa kurang dari 500.000. Sedangkan bekas
misionaris Perancis Francois, Ponchaud yang menulis buku
"Kamboja Tahun Nol," melaporkan justru di atas angka tersebut.
Tokoh-tokoh lain seperti wartawan Amerika John Barron dan dua
penulis Perancis, Charles Meyer dan Jean Lacouture, menganjurkan
agar laporan-laporan yang dibawa para pengungsi tentang jumlah
manusia yang jadi korban itu diteliti kembali.
Charles Meyer seterusnya mengatakan bahwa apa yang sekarang
sedang populer di dunia internasional dengan nama "pelanggaran
atas hak-hak asasi manusia", di Kamboja benar-benar terjadi.
Tapi katanya pula, ini tak berarti cuma terjadi di Kamboja saja.
Di Vietnam, Thailand dan negeri-negeri lain, pelanggaran itu
telah terjadi. Perlakuan buruk pemerintah Thailand atas para
pengungsi Kamboja negeri itu pun bisa dikategorikan sebagai
pelanggaran atas hak-hak asasi manusia.
Mungkin opini internasional itu atau kecaman beberapa negara
sarat yang selalu merasa 'paling berkemanusiaan' itu atau cerita
para pengungsi yang diungkapkan dengan penuh rasa dendam dan
jengkel itu, agak berlebih-lebihan nadanya. Tapi setelah melihat
reportase televisi yang dibuat oleh Nicolas itu, orang bisa
merasakan sesuatu: sesuatu yang menakutkan, yang terus terbayang
di balik wajah para pekerja, para wanita dan anak-anak yang
tegang itu. Sebuah gambaran gelap di balik keindahan alam
pedesaan dan 'ketertiban' rakyat jelata serta di balik senyum
dan ha ha he he perdana menteri Pol Pot yang kelihatan begitu
bersahaja dan tanpa dosa. Tapi Pol Pot tidak cuma tertawa, tapi
ia juga berkomentar mengenai nasib korban-korban revolusi
Kamboja itu. Katanya: "Mereka harus dienyahkan dengan cara yang
betapa pun mahalnya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini