JAUH sebelum pemerintah melancarkan program keluarga berencana,
di lingkungan suku Dayak sudah dikenal methode menjarangkan
kelahiran. Sudah sulit diketahui siapa penemunya dan kapan mulai
dipraktekkan. Yang jelas teknik yang oleh suku Dayak Bahau
disebut uat alun ini sudah berlangsung secara turun temurun.
Sejak beberapa tahun terakhir ini, ada kecenderungan untuk
meninggalkannya. Bukan lantaran persaingan IUD atau spiral, tapi
karena cara itu dianggap tidak praktis lagi.
Uat alun ini harus dilaksanakan selama beberapa hari dengan
perlengkapan yang cukup rumit. Saatnya pun bukan sembarangan
tapi harus beriringan dengan masa melahirkan. Dan memang, uat
alun ini juga berfungsi sebagai perawatan setelah melahirkan.
Makanya sejak pengabaran Injil diterima penduduk pedalaman
Kalimantan ini lengkap dengan sarana pendidikan dan
kesehatannya, "gerakan" meninggalkan uat alun semakin terasa.
Sebab tanpa uat alun pun mereka sudah bisa melahirkan dengan
mudah dan selamat di balai kesehatan.
Boleh dikata kini tinggal generasi tua yang masih menyimpan
resep uat alun. Sebenarnya sudah sejak lama orang luar mendengar
adanya methode KB tradisionil suku Dayak Bahau ini. Tapi selama
itu pula tidak ada yang tahu bahan apa dan bagaimana cara
mempraktekkannya. "Sangat dirahasiakan," begitu kabar dari mulut
ke mulut yang terdengar.
Kabar itu ternyata dibenarkan oleh Dom Long, nenek berusia 65
tahun, penduduk Tering Lama, Kecamatan Muara Ancalong (Kutai).
"Bisa hilang khasiatnya," begitu tutur Dom Long lewat
penterjemahnya Krisensia Bulan Lawing, anaknya sendiri. Dan
memang, biar orang Dayak tidak semuanya mengetahui resep ini.
"Orang-orang tertentu saja," ujar Krisensia yang kini menetap di
komplek Pasturan Samarinda.
Uat alun, menurut Dom Long, merupakan serangkaian aturan yang
harus dilaksanakan setelah melahirkan. Misalnya aturan makan,
minum, mandi yang dilengkapi dengan kewajiban-kewajiban dan
larangan-larangan. Begitu orang melahirkan, perutnya segera
ditapal dengan lendir yang ada di antara kulit dan pohon durian
yang dicampur dengan jahe Kedua bahan ini kemudian dipanggang
untuk seterusnya ditempelkan di perut. Setiap hari selama tiga
hari tapal ini harus diganti.
Makannya juga tidak boleh lain kecuali telaang (bubur beras yang
dicampur dengan jahe). Sebagai lauknya adalah garam yang direbus
dulu sampai kental. Ikan memang boleh, tapi yang kecil-kecil dan
harus dipanggang. Minumnya juga hanya boleh satu macam. Yakni
air jahe tanpa gula yang diramu dengan lung belaa (tumbuhan
sejenis talas).
Yang lebih rumit lagi adalah ramuan yang dirnasukkan dalam air
mandi. Ada 9 macam jenis tumbuhan yang harus direbus dan airnya
dimandikan. Antara lain hubo, pegang, huang, uruk-it, ee,
uruk-bung, kela-bina-i, lelaban. Dan lagi, mandi harus hati-hati
karena mulut tak boleh kena air.
Itu baru untuk mandi badan. Kalau mau mandi basah (menyiram
kepala), ada air khusus yang bernama lupuk. Ada tiga macam jenis
tumbuhan yang harus direbus untuk memperoleh air mandi untuk
kepala. Yaitu uruk barak silau, pako burak (sejenis pakis) dan
uruk-it yang belum berbuah. Tidak hanya diambil airnya, tapi
daun tersebut juga harus diikutkan diremas-remas di kepala.
Khusus untuk tiga macam daun ini, harus diambilkan dari daun
yang sedang menghadap matahari. Kegunaan lupuk ini menurut Dom
Long agar rambut tidak rontok dan tidak beruban. Dom sendiri,
biar umurnya sudah 65 tahun rambutnya masih hitam. "Kalau orang
Dayak rambutnya sudah beruban itu tandanya segera meninggal,"
ujarnya.
Di Atas Lututÿ20
Sebagai puncak dari uat alun ini, yang menurut Dom merupakan
inti dari penjarangan kelahiran, adalah penempelan daun tufaq
medah di perut setelah tapal yang pertama tadi selesai. Daun
sejenis perdu ini harus dilembutkan dulu untuk kemudian
ditapalkan di perut ketika matahari terbenam. Pagi harinya
baru dibuang.
Membuangnya tidak boleh sembarangan. Ia harus membelakangi
rumah dan dengan posisi begitu ramuan tadi dilemparkanlah ke
atas atap. Hari pertama terdiri dari 7 daun tufaq medah, hari
kedua terdiri 5 daun dan hari ketiga 3 daun.
Yang harus dijauhi menurut Dom adalah larangan ini: selama 40
hari lututnya tidak boleh tersentuh lelaki. "Yah, yang dimaksud
sebenarnya bukan lutut sesungguhnya, tapi barang yang di atas
lutut itu tentunya. Orang tua memang biasa menggunakan bahasa
tak langsung, " ujar Krisensia sambil senyum.
Kris si penterjemah kemudian mengambil kesimpulan bahwa
bahan-bahan yang disebutkan ibunya, kebanyakan mengandung
"panas". Misalnya penggunaan jahe yang hampir pada semua
kesempatan. "Mungkin dengan bahan-bahan yang serba panas itu
peranakan bisa kering" ia duga. "Tapi itu hanya dugaan saya. Dan
untuk kepastiannya tentu perlu penelitian," katanya pula. Nah,
para peneliti, kalau berminat mulailah sekarang sebelum keburu
punah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini