Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

KB, Gaya Dayak

Suku Dayak Bahau secara turun temurun telah mengenal methode menjarangkan kelahiran yang disebut uat alun. Methode ini sudah mulai ditinggalkan karena dianggap tidak praktis. (ksh)

3 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAUH sebelum pemerintah melancarkan program keluarga berencana, di lingkungan suku Dayak sudah dikenal methode menjarangkan kelahiran. Sudah sulit diketahui siapa penemunya dan kapan mulai dipraktekkan. Yang jelas teknik yang oleh suku Dayak Bahau disebut uat alun ini sudah berlangsung secara turun temurun. Sejak beberapa tahun terakhir ini, ada kecenderungan untuk meninggalkannya. Bukan lantaran persaingan IUD atau spiral, tapi karena cara itu dianggap tidak praktis lagi. Uat alun ini harus dilaksanakan selama beberapa hari dengan perlengkapan yang cukup rumit. Saatnya pun bukan sembarangan tapi harus beriringan dengan masa melahirkan. Dan memang, uat alun ini juga berfungsi sebagai perawatan setelah melahirkan. Makanya sejak pengabaran Injil diterima penduduk pedalaman Kalimantan ini lengkap dengan sarana pendidikan dan kesehatannya, "gerakan" meninggalkan uat alun semakin terasa. Sebab tanpa uat alun pun mereka sudah bisa melahirkan dengan mudah dan selamat di balai kesehatan. Boleh dikata kini tinggal generasi tua yang masih menyimpan resep uat alun. Sebenarnya sudah sejak lama orang luar mendengar adanya methode KB tradisionil suku Dayak Bahau ini. Tapi selama itu pula tidak ada yang tahu bahan apa dan bagaimana cara mempraktekkannya. "Sangat dirahasiakan," begitu kabar dari mulut ke mulut yang terdengar. Kabar itu ternyata dibenarkan oleh Dom Long, nenek berusia 65 tahun, penduduk Tering Lama, Kecamatan Muara Ancalong (Kutai). "Bisa hilang khasiatnya," begitu tutur Dom Long lewat penterjemahnya Krisensia Bulan Lawing, anaknya sendiri. Dan memang, biar orang Dayak tidak semuanya mengetahui resep ini. "Orang-orang tertentu saja," ujar Krisensia yang kini menetap di komplek Pasturan Samarinda. Uat alun, menurut Dom Long, merupakan serangkaian aturan yang harus dilaksanakan setelah melahirkan. Misalnya aturan makan, minum, mandi yang dilengkapi dengan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan. Begitu orang melahirkan, perutnya segera ditapal dengan lendir yang ada di antara kulit dan pohon durian yang dicampur dengan jahe Kedua bahan ini kemudian dipanggang untuk seterusnya ditempelkan di perut. Setiap hari selama tiga hari tapal ini harus diganti. Makannya juga tidak boleh lain kecuali telaang (bubur beras yang dicampur dengan jahe). Sebagai lauknya adalah garam yang direbus dulu sampai kental. Ikan memang boleh, tapi yang kecil-kecil dan harus dipanggang. Minumnya juga hanya boleh satu macam. Yakni air jahe tanpa gula yang diramu dengan lung belaa (tumbuhan sejenis talas). Yang lebih rumit lagi adalah ramuan yang dirnasukkan dalam air mandi. Ada 9 macam jenis tumbuhan yang harus direbus dan airnya dimandikan. Antara lain hubo, pegang, huang, uruk-it, ee, uruk-bung, kela-bina-i, lelaban. Dan lagi, mandi harus hati-hati karena mulut tak boleh kena air. Itu baru untuk mandi badan. Kalau mau mandi basah (menyiram kepala), ada air khusus yang bernama lupuk. Ada tiga macam jenis tumbuhan yang harus direbus untuk memperoleh air mandi untuk kepala. Yaitu uruk barak silau, pako burak (sejenis pakis) dan uruk-it yang belum berbuah. Tidak hanya diambil airnya, tapi daun tersebut juga harus diikutkan diremas-remas di kepala. Khusus untuk tiga macam daun ini, harus diambilkan dari daun yang sedang menghadap matahari. Kegunaan lupuk ini menurut Dom Long agar rambut tidak rontok dan tidak beruban. Dom sendiri, biar umurnya sudah 65 tahun rambutnya masih hitam. "Kalau orang Dayak rambutnya sudah beruban itu tandanya segera meninggal," ujarnya. Di Atas Lututÿ20 Sebagai puncak dari uat alun ini, yang menurut Dom merupakan inti dari penjarangan kelahiran, adalah penempelan daun tufaq medah di perut setelah tapal yang pertama tadi selesai. Daun sejenis perdu ini harus dilembutkan dulu untuk kemudian ditapalkan di perut ketika matahari terbenam. Pagi harinya baru dibuang. Membuangnya tidak boleh sembarangan. Ia harus membelakangi rumah dan dengan posisi begitu ramuan tadi dilemparkanlah ke atas atap. Hari pertama terdiri dari 7 daun tufaq medah, hari kedua terdiri 5 daun dan hari ketiga 3 daun. Yang harus dijauhi menurut Dom adalah larangan ini: selama 40 hari lututnya tidak boleh tersentuh lelaki. "Yah, yang dimaksud sebenarnya bukan lutut sesungguhnya, tapi barang yang di atas lutut itu tentunya. Orang tua memang biasa menggunakan bahasa tak langsung, " ujar Krisensia sambil senyum. Kris si penterjemah kemudian mengambil kesimpulan bahwa bahan-bahan yang disebutkan ibunya, kebanyakan mengandung "panas". Misalnya penggunaan jahe yang hampir pada semua kesempatan. "Mungkin dengan bahan-bahan yang serba panas itu peranakan bisa kering" ia duga. "Tapi itu hanya dugaan saya. Dan untuk kepastiannya tentu perlu penelitian," katanya pula. Nah, para peneliti, kalau berminat mulailah sekarang sebelum keburu punah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus