DALAM sebuah forum ceramah dan diskusi mengenai makanan olahan
di Arena Promosi dan Hiburan Jakarta, akhir April yang lalu,
Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen, Permadi SH mengungkapkan
sebuah kabar yang kedengaran menjijikkan. "Hampir semua tahu di
Jakarta menggunakan formalin sebagai bahan pengawet," katanya.
Sarjana hukum berusia 46 dan sering mengenakan pakaian
hitam-hitam itu juga menceritakan tentang sudah dilaporkannya
masalah tersebut kepada Direktorat Jenderal Pengawasan Obat &
Makanan. "Tetapi lembaga pengawasan tersebut belum juga
memberikan tanggapan," ia menambahkan.
Kabar tentang tahu berformalin sebenarnya sudah tersimpan dalam
laci Permadi sejak pertengahan 1977. Terutama setelah datangnya
seorang tamu. Ia pengusaha tahu yang cukup besar dari Grogol,
yang mengeluh tentang tahunya yang cepat membusuk. Dalam
pertemuan itu disinggung-singgung pula tentang kemungkinan
formalin sebagai bahan pengawet. Pembicaraan tadi mengajak
Permadi untuk mencari keterangan lebih seksama mengenai
kebenaran cerita tentang digunakannya zat pengawet mayat itu
untuk tahu. "Karena kekurangan biaya, info tersebut tak bisa
kami buktikan melalui pemeriksaan laboratorium," kata ir Diah
Maulida salah seorang staf ahli Lembaga Konsumen.
Ketika keterangan Permadi tersiar luas di berbagai koran,
datanglah reaksi sengit dari Kepala Dinas Perindustrian DKI, ir
Martono Sumodinoto. "Itu berita sensasi murahan yang tak dapat
dipertanggungjawabkan. Keterlaluan dan sangat merugikan para
pengusaha tahu," geramnya.
Seperti apa yang digambarkan ir Martono, selama seminggu setelah
berita tersebut, pasaran tahu memang menurun banyak. "Hampir
50%," menurut pengakuan seorang pengusaha tahu di Jalan Daan
Mogot. Penurunan yang drastis itu banyak berhubungan dengan
perasaan jijik dan kecemasan orang terhadap pengaruh formalin
untuk kesehatan.
Kasip
Apakah anda semua sudah memakan tahu berformalin Manalah kita
tahu. Sebab Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan,
Depkes, baru saja melakukan penelitian. Dan cerita Permadi SH
tadi ternyata benar. Menurut press release yang dikeluarkan
Depkes tanggal 20 Mei 1978, "dari 25 contoh yang telah
diperiksa hingga 18 Mei hasilnya menunjukkan bahwa hanya ada dua
contoh yang memberikan reaksi positif terhadap formalin, dengan
kadar rata-rata 5,5 ppm (bagian persejuta) dalam tahu 1,8 ppm
dalam airnya."
Dari hasil penelitian yang singkat, cepat tapi kasip itu tentu
sulit untuk mendapatkan gambaran keadaan tahu sebelum kabar dari
Permadi tersiar.
Ir Martono Sumodinoto juga memperoleh sebuah salinan dari
keterangan Departemen Kesehatan tersebut. "Keterangan itu bagus.
Bagus," ujarnya kalem mengomentari hasil penelitian tadi.
"Ketika memberikan keterangan dulu saya lagi panas. Tiap orang
yang ketemu menanyakan tahu. Telepon sepanjang hari berdering,
menanyakan tahu. Di nite club orang bertanya mengenai tahu,
bagaimana kepala saya tidak panas," katanya. "Dan yang sangat
saya sesalkan dari Lembaga Konsumen bahwa dia telah meruntuhkan
semua usaha dan pekerjaan kita hanya karena adanya beberapa
pengusaha yang pakai formalin," sambungnya pula.
Tetapi dengan kadar formalin seperti yang telah ditemukan
Departemen Kesehatan melalui penelitiannya, apa yang bakal
terjadi terhadap kesehatan? "Kita belum tahu dan kalau mau
melakukan penelitian mengenai pengaruh formalin terhadap tubuh
memerlukan waktu yang lama," jawab dr Iwan Darmansjah, kepala
bagian farmakologi Universitas Indonesia.
Tahan 4 Hari
Sementara itu ahli gizi dan pangan Hermana dan FG Winarno dalam
sebuah tulisan mereka di Kompas menyebutkan formalin sebagai zat
yang bersifat racun. Jika termakan, mulut dan kerongkongan bisa
sakit, sukar menelan, mual dan muntah. Bisa sakit perut dan
menceret berdarah. Dalam penelitian yang mereka berdua lakukan
ternyata formalin tidak hilang biarpun tahu yang diberi
formalin telah digoreng atau direbus. Memang begitulah sifat
semua racun.
Penggunaan formalin sebagai bahan pengawet tidak dilarang. Tapi
dalam daftar zat pengawet yang diizinkan Departemen Kesehatan
tidak disebutkan formalin. "Melarang penggunaan formalin, dengan
anggapan kadar yang ditemukan dalam penelitian tersebut sebagai
berbahaya, tidaklah tepat, sebab kita belum tahu apa
pengaruhnya. Jika ada alternatif pembuatan tahu supaya awet maka
pelarangan tersebut bisa disetujui," kata Iwan Darmansjah.
Menurut Iwan, tahu sebagai sumber protein perlu diperhatikan
cara pembuatannya. Pemerintah, katanya harus memberikan
bimbingan kepada para produsen tahu. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hermana dan FG Winarno perlu diperhatikan,
katanya. Dalam penelitian mereka tahu yang pembuatannya
menggunakan air bersih apalagi kalau disimpan dalam air yang
sudah dididihkan lebih dulu bisa disimpan sampai 4 hari. Kalau
begitu ditunggu usaha pemerintah untuk menyebarkan cara
pembuatan tahu tahan lama ini kepada 200 pengusaha yang
terdaftar. Dengan begitu larangan terhadap formalin menjadi
kuat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini