GREGORY Peck kabarnya muncul di sebuah bioskop di Peking. Apa
nama film yang dibintanginya belum jelas. Tapi jelas bahwa itu
terjadi di Cina di musim gugur 1978.
Bukan musim gugur yang biasa. Dalam kata-kata wartawan Perancis
Georges Suffert yang baru-baru ini berkunjung ke RRC dan menulis
untuk majalah Le Point, inilah "musim gugurnya sebuah revolusi".
Film Amerika dengan bintang Gregory Peck hanyalah salah satu
petunjuk perubahan yang tengah terjadi di negeri luas itu.
Di sebuah toko serba ada Peking, sesosok boneka wanita muda kini
dipasang untuk memamerkan pakaian. Puluhan penduduk seperti
terpukau memandanginya bahu boneka mannequin itu terlindung oleh
mantel bulu.
Bergerakkah Cina ke arah kehidupan dengan konsumsi mewah? Mewah
sekali belum. Hanya nampaknya "kenikmatan" hidup mulai
diperkenankan. Pakaian warna-warni (tak cuma celana biru dan
baju putih) mulai dijual, dan lipstik mulai dipakai. Resminya
untuk membeli sepeda seorang pekerja masih harus minta ijin,
tapi kini makin banyak pejabat tinggi berani membeli motor buat
ditempelkan ke sepeda mereka.
Bahkan seorang pengusaha Barat yang kesana pernah pernah
mencatat TV hitam-putih dan berwarna di toko-toko sudah laku.
Dan sementara nyonya-nyonya pejabat tinggi mulai tampil di depan
publik -- seperti terlihat waktu Wakil Perdana Menteri Teng
Hsiao-p'ing dan rombongan berkunjung ke Jepang disertai para
isteri -- pasangan pacar di taman-taman mulai nampak berpegangan
tangan.
Bersamaan dengan itu, Cina pun lebih terbuka. Dua pekan yang
lalu misalnya apa yang belum pernah terjadi sejak 12 tahun
gara-gara Repolusi kebudayaan tiba-tiba jadi berita penting:
sebuah acara dansa dibuka di klub internasional Peking.
Dengan karcis masuk AS$ 3, orang-orang asing boleh berdansa
malam Minggu itu. Tak heran bila tamu Amerika, Jepang, Eropa,
Arab, Afrika, Australia dan Rusia berjejal datang. Dituntun oleh
musik walsa kuno dan blues tahun 30-an yang malu-malu, malam itu
kemudian menyeret diri hingga jam 24.30 -- setelah diselingi
nyanyian Elvis Presley serta musik rock dari Saurday Night
Fever yang pitanya disumbangkan oleh seorang diplomat Perancis.
Malam itu memang tidak dipakai orkes, "buat sementara ini," kata
penyelenggara. Dan para pelayan wanita yang menyajikan bir,
wishki dan fu-te-ka alias vodka Cina menolak untuk diajak
berdansa. Tapi petugas Cina di klub itu menyatakan bersedia
menerima kritik. Nampaknya para tamu sudah lebih dari bersukur.
Satu-satunya keluhan datang dari seorang Argentina: malam itu ia
belum mendengar irama tango.
Tapi bagi turis yang kini membanjir datang, (dari AS saja akhir
tahun ini akan mencapai 15.000), mereka sudah dengarkan suara
sambutan yang benarbenar hangat. Meskipun mereka harus
menghadapi keadaan tanpa AC, air es dan es batu di banyak hotel,
para turis tahu mereka bukan orang asing yang aneh dan
dicurigai. Bahkan pemerintah Peking bersama Intercontinental
Hotel Corp. akan mendirikan hotel di kota-kota besar. Bila
selesai nanti tahun 1981, RRC akan mengalahkan Jerman Barat
sebagai pasaran Intercontinental. Semuanya ini buat turis. RRC
sedang memerlukan devisa, dari mereka. Juga, di kalangan
penduduk, orang nampak menginginkan kontak dengan orang luar,
setelah sekian lama tertutup.
Ini misalnya terlihat dalam mulut mereka yang mencoba bahasa
asing. Orang-orang Cina kini bertambah banyak yang tak
takut-takut bercakap-cakap dengan para tamu. Mereka menyapa
dalam bahasa Inggeris. Mereka, agaknya, melatih diri. Hasrat
belajar tercetus meluas. Seorang ahli bahasa dari Inggeris yang
diminta berceramah di Wuhan di depan 400 orang, ternyata harus
menghadapi lebih banyak peminat, hingga ia terpaksa berbicara
lewat televisi untuk 1000 orang. Buku pelajaran bahasa Inggeris
Radio Peking, terjual lebih sejuta kopi di Peking saja dalam
tempo singkat.
Pemerintah sendiri punya rencana besar di bidang ini. Ribuan
mahasiswa ilmu dan teknologi akan dikirim ke negeri industri
Barat. Mereka rata-rata belum siap karena faktor bahasa. Mungkin
karena itu, seperti misalnya rencana untuk Jerman Barat, Peking
menghendaki mahasiswanya dapat tinggal bersama keluarga
setempat.
Yang pasti kini Cina memerlukan kurang lebih 500.000 guru
bahasa asing, untuk sekolah dasar. Menurut Liag Cheng-cheh,
wakil ketua Kongres Nasional, pelajaran bahasa itu sebaiknya tak
dimulai di sekolah menengah, sebab "akan terlambat". Semangat
seperti ini disertai saran pula: setiap orang Cina yang punya
pengetahuan bahasa asing supaya dikerahkan. Orang luar atau
keturunan Cina yang tinggal di luar negeri juga dipersilakan
datang. Untuk mengajar.
Tak ayal lagi, pertengahan pertama tahun ini saja sudah ada 90
ahli luar negeri yang datang ke Cina, buat mengajar macam-macam
dari ilmu fisika sampai dengan bahasa Arab. RRC memang dalam
keadaan butuh ahli dan sarjana. Tenaga ilmu pengetahuan mereka
sendiri masih terbatas: oleh sumber Barat diperkirakan jumlahnya
hanya 1,2 juta, suatu kelompok kecil buat penduduk yang 950
juta. Bahkan menurut Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan RRC
sendiri, Prof. Chou Pei-yuan, RRC kini cuma punya 60.000
ilmiawan dan ahli mesin. Baru di tahun 1985 jumlah itu diharap
mencapai 800.000.
Ciutnya jumlah itu tambah dipepet oleh Revolusi Kebudayaan yang
dilancarkan almarhum Mao Tse-tung di tahun 1966. Dalam sebuah
studi yang dilakukan di seluruh RRC dan dikomentari harian
Kwangming yang terbit di Peking baru-baru ini, dapat diketahui
telah terjadi suatu "kemubaziran besar" di bidang tenaga ilmiah.
Dalam masa Revolusi Kebudayaan, kaum ilmiawan dan cendekiawan
lain banyak yang dituduh "kanan" dan menyeleweng dari ideologi
negara. Mereka pun dikirim untuk "diperbaiki" ke pabrik atau
sawah-ladang sebagai pekerja. Dan sesuai dengan semangat Mao
yang mengecam keahlian spesialis, pernah misalnya para ahli
radar dipekerjakan di bidang pembelian babi. Keahlian mereka
semula tentu saja macet.
Pemerintah Peking yang kini praktis ditokohi Teng Hsiao-p'ing --
ia sendiri korban utama Revolusi Kebudayaan -- mencoba
mengoreksi "kemubaziran" itu. Untuk menggiatkan penelitian
ilmiah, pemerintah selama beberapa bulan terakhir menyatakan
bahwa Partai Komunis akan mengendorkan kontrolnya atas
lembaga-lembaga ilmu pengetahuan.
Hasilnya belum nampak. Yang sudah nampak baru pengendoran
kontrol di sektor lain kalangan cendekiawan: di bidang seni, dan
terutama sastra. Bukubuku asing, karya Hans Christian Andersen
atau Shakespeare, luas dijual. Karya para sastrawan RRC sendiri,
yang semula dianggap "kontra-revolusi" oleh para tokoh Revolusi
Kebudayaan, mulai diterbitkan kembali.
Tapi yang paling menarik tentu saja lima jilid novel sejarah Yao
Hsueh-yin, Li Tzu-ch'eng. Yao mulai mengerjakan novel besarnya
ini di tahun 1958. Bagian pertamanya terbit di tahun 1963.
Bagian keduanya tak jadi diselesaikan. "Gerombolan Berempat",
para penguasa Revolusi Kebudayaan, menghendaki agar propaganda
anti-Konfusianisme yang gampangan dimasukkan dalam novel. Yao
menolak. Setelah "Gerombolan Berempat" dimakzulkan, barulah
keseluruhan novel tentang pemberontakan petani di masa dinasti
Ming ini bisa terbit.
Dan ternyata, seakan rakyat sudah merindukan bacaan yang bukan
slogan, novel itu laris. Tercatat laris juga ialah lukisan
tradisional, yang tiba-tiba kembali subur. Para pelukis yang
selama Revolusi Kebudayaan dilarang menggambar apa saja selain
gambar yang "revolusioner", kini dengan senang menjual lukisan
adegan novel klasik Impian Ruang Merab atau lukisan makam
dinasti Ming -- suatu pembaharuan yang segar setelah lukisan
poster yang itu-itu juga bertahun-tahun .
Lebih segar lagi ialah gejala surat pembaca di koran resmi
Partai Komunis, Harian Rakyat. Orang kini kian banyak menyatakan
fikiran serta keluhannya di sana. Koran nasional atau pun daerah
bahkan kini menyatakan surat-surat yang mereka terima merupakan
petunjuk penting opini rakyat. Dan jumlahnya menggelombang di
Harian Rakyat saja, dari 1.500 di bulan Maret 1977 mencapai
40.000 Juni 1978. Kini 30 anggota staf redaksi dikerahkan buat
membaca dan memilih surat-surat masuk. Dan konon kalau ada yang
tak layak diterbitkan, staf itu ikut meneruskan keluhan yang
dikemukakan ke alamat yang dituju. Ini berbeda dari dua tahun
sebelumnya: Maret 1976, Komite Revolusioner yang waktu itu
mengawasi Harian Rakyat menyerahkan lebih 50 surat dari pembaca
. . . kepada polisi. Para penulisnya kemudian ditankap.
Sementara perubahan itu berjalan pembersihan terhadap sisa-sisa
pengikut "Gerombolan Berempat" di kalangan atas rupanya masih
belum selesai. Bahkan pengganyangan terhadap almarhum Lm Piao
--orang yang pernah disebut Mao sebagai calon penggantinya tapi
kemudian dikutuknya sendiri -- belum berhenti. Yang menarik
ialah, bahwa Lin Piao kini dipukul dengan tongkat baru.
Kampanye "ganyang Lin" dimulai 1972. Pada mulanya adalah malam
12 September 1971, ketika sebuah pesawat jet Trident milik
Angkatan Udara RRC dikabarkan jatuh di wilayah tetangga,
Republik Mongolia. Kesembilan penumpangnya (dua di antaranya
wanita) diketemukan mati, hancur dan tak dikenal. Di saat yang
sama sebuah helikopter yang mencoba berangkat dari kampus
Universitas Tsinghua di Peking, menuju ke perbatasan Mongolia,
dipaksa mendarat kembali. Kecuali satu orang, semua penumpangnya
bunuh diri.
Cerita resmi yang kemudian diedarkan kepada para pejabat Partai
ialah: Menteri Pertahanan Marsekal Lin Piao bersama isteri dan
anaknya, seoran perwira Angkatan Udara, disertai sejumlah
pengikut, tewas dalam kecelakaan pesawat Trident itu. Mereka
mencoba mela rikan diri, setelah diketahui tiga kali gagal
mencoba membunuh Ketua Mao Betulkah? Banyak hal yang belum
tersingkap, dan cerita yang disiarkan masih meragukan
kebenarannya. Tapi nampaknya jelas: Lin Piao dan para pengikut
dekatnya telah mati, setelah kalah dalam suatu pergulatan
politik di tingkat atas.
Ada dugaan, bahwa pergulatan itu terjadi antara Lin yang
memimpin kalangan militer dengan Perdana Menteri Chou En-lai
yang mempunyai dukungan di kalangan Partai serta birokrasi. Yang
menang dengan demikian Chou. Tapi lebih tragis lagi bagi Lin
Piao ialah bahwa ia sendiri seakan dikhianati sang Ketua, dan
dibiarkan oleh kawan-kawannya yang lima tahun sebelumnya
bersama-sama menggerakkan Revolusi Kebudayaan.
Lin Piao-lah yang mengobarkan pemujaan kepada pribadi Mao
Tse-tung kalangan Pengawal Merah, pada saat sang Ketua
membutuhkannya untuk menghadapi musuh-musuh politiknya yang kuat
bertahan dalam Partai, antara lain Presiden Liu Shao-chi dan
Teng Hsiao-ping. Lin Piao-lah, melalui aparat tentara, yang
mencetak "Buku Merah Kecil" berisikan kutipan-kutipan ucapan
Ketua Mao, yang dibawa para pemuda Pengawal Merah bagaikan kitab
suci. Dia juga yang mengumandangkan bahwa "sang Ketua adalah
jenius revolusi dunia". Dan Lin pula yang mula-mula
mempersilakan isteri Mao, Chiang Ching, untuk tampil sebagai
juru bicara sang Ketua di bidang kebudayaan.
Tapi lima tahun setelah disebut Mao sebagai "calon
pengganti"nya, ia rupanya jatuh merk. Awal Juni 1971 namanya tak
boleh disebut-sebut lagi dalam ucapan selamat yang disampaikan
ke pimpinan RRC. Sebelumnya bahkan Chiang Ch'ing sengaja
mengedarkan potret Lin Piao dalam keadaan tanpa topi -- dan
dengan demikian tampak kepala botaknya, suatu rahasia yang konon
dicoba sembunyikan oleh orangnya sendiri. Dan setahun setelah ia
dikabarkan tewas dalam pesawat Trident itu, Chiang Ch'ing dan
teman-temannya dan juga Mao sendiri, menggerakkan kampanye
menghabisi sisa-sisa reputasinya: Lin Piao, pemimpin Tentara
Merah yang termashur semasa perang gerilya itu, dikutuk
berbareng dengan Kong Hu-cu.
Apa dasar kutukan tersebut belum jelas benar. Nampaknya, ia
hanya dijadikan "setan" bersama oleh pelbagai kelompok dalam
lapisan penguasa. Tapi kini, setelah Chiang Ch'ing dan
"Gerombolan Berempat"nya tersingkir dan diganyang, kutukan
kepada almarhum Lin Piao nampak mencerminkan suatu perubahan
pemikiran yang lebih mendasar. Lin Piao dianggap sebagai pelopor
pemujaan buta kepada kata-kata Mao Tse percaya kepada tiap
perubahan terakhir garis resmi.
Ucapan yang serupa bergema juga di harian K1Dangmin. Lin Piao
dan kaum radikal, kata koran ini, telah memperlakukan
Marxisme-Leninisme dan pemikiran Mao dengan sikap ketaatan
agama. Itu berarti mengubah ilmu menjadi theologi. Akibatnya
adalah kebrutalan, kegelapan dan teror seperti di zaman lampau.
De-Mao-isasi? Mungkin tidak sekeras itu. Tapi dewasa ini jelas
RRC sedang mencoba mengakhiri sikap yang disebut oleh seorang
jenderal di Kanton sebagai pen-pen-chu-i -- yang kurang-lebih
berarti ketaatan secara harfiah kepada tiap kata dan kalimat
Mao. Bahkan suatu koreksi terhadap pemikiran sang Ketua secara
setengah tersembunyi ditampilkan. Seorang tokoh partai di
wilayah Liaoning, Jen Chung-yi, baru-baru ini misalnya
mengatakan: "Seandainya Ketua Mao masih hidup sekarang, kami
yakin ia tak akan mengulangi ucapan yang pernah dikatakannya
sebelumnya."
Andaikata Mao masih hidup sekarang, mungkin ia tetap akan
melabrak jalan yang kini ditempuh Teng Hsiaoping -- musuh
lamanya itu -- sebagai "jalan kapitalis". Tapi jika 12 tahun
yang lalu ia masih bisa melancarkan Revolusi Kebudayaan untuk
mencegah "jalan kapitalis" itu, kini, dalam kubur, tak banyak
yang dapat dilakukannya. Orang yang kemudian ia pilih sebagai
pengganti, Ketua Hua Kuo-feng, belum jelas pendirian serta
kekuatannya dalam menghadapi Teng. Jandanya yang bersemangat,
Chiang Ch'ing, kini mungkin berada dalam tahanan, dan kabarnya
menderita kanker dada. Para pengikutnya yang doktriner dari masa
Revolusi Kebudayaan di mana-mana dicopot.
Tapi siapa tahu. Hasrat modernisasi dan sikap pragmatis, yang
kini sedang dipraktekkan di daratan Cina -- seperti di mana juga
-- bisa menimbulkan ekses atau dianggap berlebihan. Pengaruh
asing, ketergantungan kepada bantuan luar, perbedaan
sosial-ekonomi yang akan terlihat, bisa saja menimbulkan
radikalisme baru. Sejarah Cina modern penuh dengan contoh.
Maoisme bisa kembali. Pasang surutnya siapa bisa menduga?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini