"Jalan kapitalis" pernah dikutuk hanya karena orang bersikap
pragmatis. Kini sikap pragmatis itu berkembang kumat di RRC.
Kenapa? Di sini M. Dawam Rahardjo, kontributor khusus TEMPO,
menguraikan latarbelakangnya:
ADA kesadaran di RRC terhadap keterbatasan sendiri dalam
mengalokasikan sumber ekonominya. Ini pernah terjadi pada
masa lampau. Dan masalahnya lahir lagi ketika RRC menggariskan
Rencana Pembangunan Ekonomi 10 tahunnya (untuk periode 1976-1980
dan 1981-1985 pada Kongres Rakyat Nasional ke V, 26 Pebruari -
5 Maret 1978.
Pragmatisme ini paling menyolok di mata dunia luar pada sikap
dan langkah RRC -- yang dipelopori oleh Wakil PM Teng Hsiao-ping
-- dalam memperluas hubungan perdagangan luar negerinya. Kini
perluasan itu sudah meliputi tak kurang dari 75 negara di 10
kawasan Asia Selatan-Tenggara-Utara Timur, Timur Tengah, Afrika,
Amerika Latin, Amerika Utara, Eropa Barat, Eropa Timur dan
Australia, walaupun nilai totalnya per tahun baru berkisar
antara US$ 10 sampai US$ 15 milyar, sejak 1973.
Sebenarnya, arah dan strategi perdagangan internasional RRC
tidak dirumuskan secara jelas dalam naskah Repelita V dan
VI-nya. Yang disebut hanyalah keharusan untuk melipat-gandakan
ekspornya, baik dalam partai besar maupun kecil-kecilan. Juga
soal ekspansi ekspor hasil pokok dan sampingan pertanian serta
peningkatan rasio ekspor barang-barang industri dan tambang.
Kebijaksanaan impor malah tak dijelaskan sama sekali. Mungkin
itu semua dinilai terlalu sensitif bila dieksplisitkan bisa
mengundang tuduhan "penempuh jalan kapitalis."
Suatu kenyataan yang perlu diketahui adalah bahwa kini, pada
tahun 1974-1977, sekitar 80-90% perdagangan ekspor-impornya,
telah dilakukan dengan negara-negara non- iosialis. Malah 4775%
di antaranya dengan negara-negara kapitalis maju. Sebaliknya
perdagangan total dengan blok Sosialis pada tahun 1976-1977
hanya meliputi 10% saja. Padahal pada tahun 1955 masih sebesar
74%, serta 61% pada tahun 1970.
Perubahan pola perdagangan itu sebenarnya merupakan refleksi
belaka dari strategi pembangunan ekonomi yang dipilihnya. RRC
kini menjumpai dirinya lebih membutuhkan berhubungan dagang
dengan blok Kapitalis maju. Di satu segi ia ingin membeli
teknologi modern, dan segi lain ingin menjual minyak dan
batu-baranya untuk memperoleh devisa dalam jumlah besar.
Ternyata Butuh pertumbuhan yang Tinggi
Strategi dan model pembangunan Cina, ternyata -- walaupun
sangat memperhatikan segi pemerataan tingkat pertumbuhan yang
tinggi. Dalam periode 1960-1970, pertumbuhan GDP telah mencapai
6,2 % per tahun, dan malah meningkat menjadi 6,6% untuk masa
1970-1976. Tak dijelaskan, berapa tingkat pertumbuhan yang
ingin dicapai hingga tahun 1985, tapi jelas akan lebih tinggi.
RRC ingin menumbuhkan industrinya, rata-rata 10% selama 10 tahun
mendatang serta 4-5% di bidang pertanian. Targetnya di bidang
industri mungkin saja bisa dicapai mengingat pencapaiannya di
masa lampau, yaitu rata-rata 13,5% selama 28 tahun ini. Tapi
masih diragukan akan bisakah target pertaniannya dicapai. Selama
20 tahun hingga 1970, rata-rata pertumbuhannya hanya mencapai 3%
saja, walaupun Ketua RRC Hua Kuo-feng, dalam laporannya didepan
Kongres Rakyat Nasional, mengatakan bahwa sepertiga wilayah
propinsinya telah berhasil mencapai kenaikan 4,3% hingga 5,5%
selama periode 1966-1976.
Bayang-bayang Malthus, diakui atau tidak, tetap menghantui RRC
yang berpenduduk 836 juta jiwa itu (1976). Sebab itu produksi
bahan pangan harus bisa mencapai 400 juta ton pada tahun 1985.
Jalan yang dipilih untuk ditempuh adalah peningkatan taraf
mekanisasi hingga mencapai 85% pada akhir Repelita VI. Ini
dimungkinkan oleh sistim pertanian kolektifnya yang berbasis
pada satuan-satuan komune. Dengan itu sumber tenaga manusia
dapat secara lebih rasionil dialokasikan dalam berbagai
kegiatan, sejak dari bercocok tanam, berindustri kecil dan
menengah hingga ke pembangunan dan pemeliharaan prasarana.
Dengan model komune ini yang dibutuhkan adalah pemasukan
teknologi biologis, kimiawi maupun mekanis secara besar-besaran.
Tapi RRC hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhannya akan
pupuk, apalagi alat-alat pertanian modern sekalipun segala upaya
telah dikerahkan untuk membuat barang-barang itu sendiri --
sampai kotoran manusiapun telah diolah menjadi pupuk.
Ini menyebabkan RRC boleh dikatakan sukses dalam industri pupuk
dan alat-alat pertanian. Tapi industri alat pertanian
sederhananya malah diarahkan untuk ekspor. Sebagai ganti, RRC
mengimpor peralatan dan mesin modern untuk mekanisasi, termasuk
barang-barang modal untuk pabrik yang membuat peralatan itu
sendiri.
Dewasa ini, sekitar 41,4% impornya terdiri dari mesin dan
peralatan modern, berikut bahan mentah besi dan baja (28, 2%),
dan 9% berupa pupuk. Dalam periode 1972-1977, ia telah mengimpor
sejumlah US$ 3.148,2 juta industrial-plant, 58,5 % di antaranya
berasal dari 5 negara Eropa Barat, 32,3 % dari Jepang dan 9,2 %
dari AS.
Pertolongan: Justru Dari Negara Kapitalis Maju
Rencana RRC selama 8 tahun mendatang adalah membangun 120 proyek
skala besar, terdiri dari 10 kompleks industri baja, 9 kompleks
industri logam non-ferrous, 8 tambang batubara, 10 ladang minyak
bumi dan gas, 30 stasiun tenaga, 6 jaringan kereta api dan 5
pelabuhan kunci.
Impian raksasa ini mustahil dapat dikerjakannya sendiri. RRC
perlu pertolongan luar, tidak terutama dari negaranegara
Sosialis, apalagi Rusia, melainkan justru dari negara kapitalis
maju.
Jepang adalah tetangga terdekat untuk dimintai bantuan. Dengan
negara Sakura, RRC merencanakan kontrak impor teknologi,
sekaligus dengan pembangunan pabriknya, bernilai tak kurang dari
US$ 30 milyar selama 10 tahun mendatang. Diantaranya, Desember
1978 nanti, akan ditanda-tangani kontrak pembangunan ladang
minyak Pohai yang bernilai US$ 2 milyar.
Nampaknya RRC memang tidak ingin bergantung pada bantuan luar
negeri, walaupun kerdit perdagangan mungkin akan dilakukannya.
Ia ingin membiayai pembangunannya melalui impor teknologi
modern, yang akan dibayar dari hasil ekspor, terutama minyak
bumi dan batubara.
Strategi industrialisasi yang dipilih untuk ditempuhnya adalah
-- dan ini nampaknya mirip dengan pola Rusia - membangun
industri dasar-berat, untuk bisa memperoleh barang modal sebagai
basis untuk membangun industri ringan dan manufacturing dan juga
untuk bisa memproduksi input teknologi modern yang menunjang
mekanisasi pertanian. Khususnya pupuk serta mesin dan alat
pertanian mekanis, yang selama ini masih diimpor.
Untuk mengatasi kekurangan pangannya, RRC mengimpor gandum,
jagung dan kedelai. Ini dibayar terutama dengan devisa hasil
ekspor beras. Dengan cara ini -- disinilah kita melihat
kecerdikan RRC -- yaitu dengan mengekspor 1,3 juta ton beras
umpamanya (data 1973), ia bisa membayar impor 6 juta ton gandum
dan jagung. "Cina tidak mau menggantungkan diri pada impor untuk
memberi makan rakyatnya" kata Wakil Menteri Pertanian dan
Kehutanan Hua Chung-shih's dalam suatu Konperensi FAO di Roma.
"Maksud utama import kami hanyalah sekedar mengubah variasi
makanan."
Dalam Kongres Rakyat Nasional ke IV tahun 1975, PM Chou En-lai
mengatakan bahwa "Sementara penduduk Cina berkembang 60% sejak
kemerdekaan, hasil pangan telah dapat ditingkatKan 140%." Namun
itu semua tidak melenyapkan bayang-bayang Malthus dan impian
Cina untuk meningkatkan taraf kolektivikasi dan mekanisasi.
Defisit Ke Barat, Surplus Ke Sini
Dengan latar belakang ini semua, RRC sangat membutuhkan hubungan
ekonomi dengan Negara-negara Maju, khususnya Jepang. Tapi tentu
saja juga Eropa Barat, AS dan Australia. Pertama-tama ia ingin
menjual minyak dan batubara yang menghasilkan sebagian besar
pendapatan devisanya.
Disamping gandum dan jagung, RRC ingin dan hanya bisa membeli
teknologi modern dari negara-negara industri maju. Ini ia
lakukan, walaupun dengan negara industri maju tersebut RRC
menderita defisit dalam neraca perdagangannya hingga mencapai
US$ 2.552 juta (1976) dan bahkan US$ 2.600 juta (1977).
Tapi dengan negara-negara sedang berkembang RRC justru
memperoleh surplus sebesar US$ 1.154 juta (1976) dan US$ 269
juta (1977). Kepada mereka RRC terutama menjual barang industri
ringan dan kerajinan, barang konsumsi, termasuk juga berbagai
hasil pertanian, sejak dari beras, buah-buahan hingga ke makanan
dalam kaleng. Pola serupa dilakukan juga terhadap negara-negara
sosialis. Di sini RRC mendapatkan surplus sebesar US$ 420 juta
(1974) dan US$ 390 juta (1975).
Negara-negara Asean hanya bisa mengambil manfaat berdagang
dengan RRC jika mampu membantu pembangunan ekonomi negeri itu
dengan input teknologi modern. Atau jika bisa menyediakan
bahan-bahan mentah untuk membantu perkembangan industri
manufacturing, seperti karet, kapas, atau gula.
Thailand atau Pilipina bisa membeli minyak dan gas bumi. Dan
Indonesia atau Singapura bisa membeli beras. Dan tentu saja
semua negara Asean adalah pasaran yang baik bagi barang-barang
industri manufacturing RRC yang terkenal murah itu.
Tapi mereka tentu saja tak akan bisa memasukkan barang konsumsi
ke RRC, yang sebenarnya memiliki tingkat pendapatan per kapita
yang cukup lumayan itu, yaitu US$ 410 (menurut Bank Dunia). RRC
berprinsip untuk bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, baik bahan
pertanian maupun barang-barang industri. Malah sebagian barang
manufacturing yang diproduksi di RRC, tidak dijual di negeri
sendiri (ini berarti menekan pola konsumsi sesederhana mungkin),
melainkan khusus untuk diekspor, baik langsung maupun melalui
Hongkong atau Singapura. Pasarannya adalah kawasan Asean dan
negara sedang berkembang di seluruh dunia, yang menginginkan
barang berkwalitas relatif tinggi tapi harganya murah.
Jadi, strateginya ialah mencapai neraca perdagangan surplus
dengan negara berkembang, termasuk Asean, serta blok sosialis,
khususnya kawasan Eropa Timur yang relatif tinggi daya belinya.
Di pihak lain RRC berani mengambil risiko defisit dalam neraca
perdagangannya dengan negara industri maju. Kesimpulannya: RRC
ingin membangun pertanian, industri dan prasarana umumnya,
melalui. persekutuan dengan blok Kapitalis maju terutama Jepang.
Kawasan Asean boleh membantu menjadi ajang pasaran.
Tentu saja negara maju bisa dan sudah mendapatkan pasaran yang
sangat menguntungkan dengan menjual barang-barang modal. Tapi
tidak demikian halnya negara-negara yang hanya bisa menjual
bahan pangan atau industri ringan. Itulah antara lain makna
"pragmatisme" dilihat dari sudut Asean.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini