Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perkembangan ekonomi rrc: apa ...

Dipelopori wakil pm teng hsiao-ping, cina memperluas hubungan perdagangan luar negerinya. dalam negeri, cina giat membangun proyek-proyek skala besar. hasil industrinya yang murah bermanfaat bagi asean. (ln)

18 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Jalan kapitalis" pernah dikutuk hanya karena orang bersikap pragmatis. Kini sikap pragmatis itu berkembang kumat di RRC. Kenapa? Di sini M. Dawam Rahardjo, kontributor khusus TEMPO, menguraikan latarbelakangnya: ADA kesadaran di RRC terhadap keterbatasan sendiri dalam mengalokasikan sumber ekonominya. Ini pernah terjadi pada masa lampau. Dan masalahnya lahir lagi ketika RRC menggariskan Rencana Pembangunan Ekonomi 10 tahunnya (untuk periode 1976-1980 dan 1981-1985 pada Kongres Rakyat Nasional ke V, 26 Pebruari - 5 Maret 1978. Pragmatisme ini paling menyolok di mata dunia luar pada sikap dan langkah RRC -- yang dipelopori oleh Wakil PM Teng Hsiao-ping -- dalam memperluas hubungan perdagangan luar negerinya. Kini perluasan itu sudah meliputi tak kurang dari 75 negara di 10 kawasan Asia Selatan-Tenggara-Utara Timur, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, Amerika Utara, Eropa Barat, Eropa Timur dan Australia, walaupun nilai totalnya per tahun baru berkisar antara US$ 10 sampai US$ 15 milyar, sejak 1973. Sebenarnya, arah dan strategi perdagangan internasional RRC tidak dirumuskan secara jelas dalam naskah Repelita V dan VI-nya. Yang disebut hanyalah keharusan untuk melipat-gandakan ekspornya, baik dalam partai besar maupun kecil-kecilan. Juga soal ekspansi ekspor hasil pokok dan sampingan pertanian serta peningkatan rasio ekspor barang-barang industri dan tambang. Kebijaksanaan impor malah tak dijelaskan sama sekali. Mungkin itu semua dinilai terlalu sensitif bila dieksplisitkan bisa mengundang tuduhan "penempuh jalan kapitalis." Suatu kenyataan yang perlu diketahui adalah bahwa kini, pada tahun 1974-1977, sekitar 80-90% perdagangan ekspor-impornya, telah dilakukan dengan negara-negara non- iosialis. Malah 4775% di antaranya dengan negara-negara kapitalis maju. Sebaliknya perdagangan total dengan blok Sosialis pada tahun 1976-1977 hanya meliputi 10% saja. Padahal pada tahun 1955 masih sebesar 74%, serta 61% pada tahun 1970. Perubahan pola perdagangan itu sebenarnya merupakan refleksi belaka dari strategi pembangunan ekonomi yang dipilihnya. RRC kini menjumpai dirinya lebih membutuhkan berhubungan dagang dengan blok Kapitalis maju. Di satu segi ia ingin membeli teknologi modern, dan segi lain ingin menjual minyak dan batu-baranya untuk memperoleh devisa dalam jumlah besar. Ternyata Butuh pertumbuhan yang Tinggi Strategi dan model pembangunan Cina, ternyata -- walaupun sangat memperhatikan segi pemerataan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Dalam periode 1960-1970, pertumbuhan GDP telah mencapai 6,2 % per tahun, dan malah meningkat menjadi 6,6% untuk masa 1970-1976. Tak dijelaskan, berapa tingkat pertumbuhan yang ingin dicapai hingga tahun 1985, tapi jelas akan lebih tinggi. RRC ingin menumbuhkan industrinya, rata-rata 10% selama 10 tahun mendatang serta 4-5% di bidang pertanian. Targetnya di bidang industri mungkin saja bisa dicapai mengingat pencapaiannya di masa lampau, yaitu rata-rata 13,5% selama 28 tahun ini. Tapi masih diragukan akan bisakah target pertaniannya dicapai. Selama 20 tahun hingga 1970, rata-rata pertumbuhannya hanya mencapai 3% saja, walaupun Ketua RRC Hua Kuo-feng, dalam laporannya didepan Kongres Rakyat Nasional, mengatakan bahwa sepertiga wilayah propinsinya telah berhasil mencapai kenaikan 4,3% hingga 5,5% selama periode 1966-1976. Bayang-bayang Malthus, diakui atau tidak, tetap menghantui RRC yang berpenduduk 836 juta jiwa itu (1976). Sebab itu produksi bahan pangan harus bisa mencapai 400 juta ton pada tahun 1985. Jalan yang dipilih untuk ditempuh adalah peningkatan taraf mekanisasi hingga mencapai 85% pada akhir Repelita VI. Ini dimungkinkan oleh sistim pertanian kolektifnya yang berbasis pada satuan-satuan komune. Dengan itu sumber tenaga manusia dapat secara lebih rasionil dialokasikan dalam berbagai kegiatan, sejak dari bercocok tanam, berindustri kecil dan menengah hingga ke pembangunan dan pemeliharaan prasarana. Dengan model komune ini yang dibutuhkan adalah pemasukan teknologi biologis, kimiawi maupun mekanis secara besar-besaran. Tapi RRC hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhannya akan pupuk, apalagi alat-alat pertanian modern sekalipun segala upaya telah dikerahkan untuk membuat barang-barang itu sendiri -- sampai kotoran manusiapun telah diolah menjadi pupuk. Ini menyebabkan RRC boleh dikatakan sukses dalam industri pupuk dan alat-alat pertanian. Tapi industri alat pertanian sederhananya malah diarahkan untuk ekspor. Sebagai ganti, RRC mengimpor peralatan dan mesin modern untuk mekanisasi, termasuk barang-barang modal untuk pabrik yang membuat peralatan itu sendiri. Dewasa ini, sekitar 41,4% impornya terdiri dari mesin dan peralatan modern, berikut bahan mentah besi dan baja (28, 2%), dan 9% berupa pupuk. Dalam periode 1972-1977, ia telah mengimpor sejumlah US$ 3.148,2 juta industrial-plant, 58,5 % di antaranya berasal dari 5 negara Eropa Barat, 32,3 % dari Jepang dan 9,2 % dari AS. Pertolongan: Justru Dari Negara Kapitalis Maju Rencana RRC selama 8 tahun mendatang adalah membangun 120 proyek skala besar, terdiri dari 10 kompleks industri baja, 9 kompleks industri logam non-ferrous, 8 tambang batubara, 10 ladang minyak bumi dan gas, 30 stasiun tenaga, 6 jaringan kereta api dan 5 pelabuhan kunci. Impian raksasa ini mustahil dapat dikerjakannya sendiri. RRC perlu pertolongan luar, tidak terutama dari negaranegara Sosialis, apalagi Rusia, melainkan justru dari negara kapitalis maju. Jepang adalah tetangga terdekat untuk dimintai bantuan. Dengan negara Sakura, RRC merencanakan kontrak impor teknologi, sekaligus dengan pembangunan pabriknya, bernilai tak kurang dari US$ 30 milyar selama 10 tahun mendatang. Diantaranya, Desember 1978 nanti, akan ditanda-tangani kontrak pembangunan ladang minyak Pohai yang bernilai US$ 2 milyar. Nampaknya RRC memang tidak ingin bergantung pada bantuan luar negeri, walaupun kerdit perdagangan mungkin akan dilakukannya. Ia ingin membiayai pembangunannya melalui impor teknologi modern, yang akan dibayar dari hasil ekspor, terutama minyak bumi dan batubara. Strategi industrialisasi yang dipilih untuk ditempuhnya adalah -- dan ini nampaknya mirip dengan pola Rusia - membangun industri dasar-berat, untuk bisa memperoleh barang modal sebagai basis untuk membangun industri ringan dan manufacturing dan juga untuk bisa memproduksi input teknologi modern yang menunjang mekanisasi pertanian. Khususnya pupuk serta mesin dan alat pertanian mekanis, yang selama ini masih diimpor. Untuk mengatasi kekurangan pangannya, RRC mengimpor gandum, jagung dan kedelai. Ini dibayar terutama dengan devisa hasil ekspor beras. Dengan cara ini -- disinilah kita melihat kecerdikan RRC -- yaitu dengan mengekspor 1,3 juta ton beras umpamanya (data 1973), ia bisa membayar impor 6 juta ton gandum dan jagung. "Cina tidak mau menggantungkan diri pada impor untuk memberi makan rakyatnya" kata Wakil Menteri Pertanian dan Kehutanan Hua Chung-shih's dalam suatu Konperensi FAO di Roma. "Maksud utama import kami hanyalah sekedar mengubah variasi makanan." Dalam Kongres Rakyat Nasional ke IV tahun 1975, PM Chou En-lai mengatakan bahwa "Sementara penduduk Cina berkembang 60% sejak kemerdekaan, hasil pangan telah dapat ditingkatKan 140%." Namun itu semua tidak melenyapkan bayang-bayang Malthus dan impian Cina untuk meningkatkan taraf kolektivikasi dan mekanisasi. Defisit Ke Barat, Surplus Ke Sini Dengan latar belakang ini semua, RRC sangat membutuhkan hubungan ekonomi dengan Negara-negara Maju, khususnya Jepang. Tapi tentu saja juga Eropa Barat, AS dan Australia. Pertama-tama ia ingin menjual minyak dan batubara yang menghasilkan sebagian besar pendapatan devisanya. Disamping gandum dan jagung, RRC ingin dan hanya bisa membeli teknologi modern dari negara-negara industri maju. Ini ia lakukan, walaupun dengan negara industri maju tersebut RRC menderita defisit dalam neraca perdagangannya hingga mencapai US$ 2.552 juta (1976) dan bahkan US$ 2.600 juta (1977). Tapi dengan negara-negara sedang berkembang RRC justru memperoleh surplus sebesar US$ 1.154 juta (1976) dan US$ 269 juta (1977). Kepada mereka RRC terutama menjual barang industri ringan dan kerajinan, barang konsumsi, termasuk juga berbagai hasil pertanian, sejak dari beras, buah-buahan hingga ke makanan dalam kaleng. Pola serupa dilakukan juga terhadap negara-negara sosialis. Di sini RRC mendapatkan surplus sebesar US$ 420 juta (1974) dan US$ 390 juta (1975). Negara-negara Asean hanya bisa mengambil manfaat berdagang dengan RRC jika mampu membantu pembangunan ekonomi negeri itu dengan input teknologi modern. Atau jika bisa menyediakan bahan-bahan mentah untuk membantu perkembangan industri manufacturing, seperti karet, kapas, atau gula. Thailand atau Pilipina bisa membeli minyak dan gas bumi. Dan Indonesia atau Singapura bisa membeli beras. Dan tentu saja semua negara Asean adalah pasaran yang baik bagi barang-barang industri manufacturing RRC yang terkenal murah itu. Tapi mereka tentu saja tak akan bisa memasukkan barang konsumsi ke RRC, yang sebenarnya memiliki tingkat pendapatan per kapita yang cukup lumayan itu, yaitu US$ 410 (menurut Bank Dunia). RRC berprinsip untuk bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, baik bahan pertanian maupun barang-barang industri. Malah sebagian barang manufacturing yang diproduksi di RRC, tidak dijual di negeri sendiri (ini berarti menekan pola konsumsi sesederhana mungkin), melainkan khusus untuk diekspor, baik langsung maupun melalui Hongkong atau Singapura. Pasarannya adalah kawasan Asean dan negara sedang berkembang di seluruh dunia, yang menginginkan barang berkwalitas relatif tinggi tapi harganya murah. Jadi, strateginya ialah mencapai neraca perdagangan surplus dengan negara berkembang, termasuk Asean, serta blok sosialis, khususnya kawasan Eropa Timur yang relatif tinggi daya belinya. Di pihak lain RRC berani mengambil risiko defisit dalam neraca perdagangannya dengan negara industri maju. Kesimpulannya: RRC ingin membangun pertanian, industri dan prasarana umumnya, melalui. persekutuan dengan blok Kapitalis maju terutama Jepang. Kawasan Asean boleh membantu menjadi ajang pasaran. Tentu saja negara maju bisa dan sudah mendapatkan pasaran yang sangat menguntungkan dengan menjual barang-barang modal. Tapi tidak demikian halnya negara-negara yang hanya bisa menjual bahan pangan atau industri ringan. Itulah antara lain makna "pragmatisme" dilihat dari sudut Asean.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus